IMM seringkali menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan eksistensi, kiprah dan sumbangsihnya dalam konteks pengkaderan di Muhammadiyah. Selain itu, dalam banyak hal IMM juga seringkali mengalami problem yang berhubungan dengan eksistensi kelembagaannya di perguruan tinggi-perguruan tinggi Muhammadiyah. Kenyataan itu telah membawa IMM kepada suatu situasi yang tidak gampang, bahkan IMM seringkali menjadi sasaran kecurigaan pihak-pihak tertentu di Muhammadiyah, khususnya pengelola PTM. IMM bahkan dicurigai ingin menguasai PTM... terhadap kenyataan ini, tak jarang aktivis-aktivis IMM secara emosional meminta hak untuk diperhatikan sebagaimana yang seharusnya ia terima sebagai Ortom Muhammadiyah. Di sinilah salah satu problem itu bermula. IMM membaca posisinya di PTM dalam kerangka hubungan Muhammadiyah sebagai organisasi induk dan IMM sebagai Organisasi Otonom. Sementara, tidak jarang para pengelola kampus (meskipun berlatar belakang Muhammadiyah, tetapi dibesarkan dalam tradisi organisasi mahasiswa selain IMM ataupun mereka yang sama sekali tidak memiliki pemahaman tentang hierarkhi pengkaderan di Muhammadiyah) menempatkan IMM sebagai organisasi ekstra kampus murni... Sementara bagi IMM, kritik maupun stigma, betapapun pedasnya hendaknya menjadi sebuah momentum untuk membangun kembali daya kritis dan daya saing IMM. Sehingga pada akhirnya, kita bisa membuktikan bahwa jika suatu ketika kader IMM menduduki kedudukan-kedudukan penting bukan karena politisasi atau kronisme atau karena dasar like and dislike, melainkan benar-benar karena prestasi. Mari buktikan!
Petikan tulisan panjang diatas
merupakan rangkaian kegelisahan Pradana Boy ZTF yang pernah dimuat Suara
Muhammadiyah edisi 03/96 1-15 Februari 2011, sekaligus sebagai resistensi dan
refleksi milad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ke-47. Apa yang disampaikan
oleh Pradana Boy ZTF tersebut semacam menjadi salah satu jawaban terhadap
permasalahan kader yang ada di Purguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dalam
memandang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Bahkan bisa dibilang tulisan
tersebut merupakan bongkahan air es dan alarm terhadap seluruh Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM) yang cenderung mengabaikan keberadaan IMM sebagaimana
tercantung dalam Qaidah PTM. Maka,
menyadari pentingnya IMM sebagai bagian ‘pelopor, penggerak dan penyempurna’
AUM menjadi sebuah keharusan bagi para pengabdinya.
Kasus yang menimpa Dimas YulianSaputra dan Fajar Purnomo, yang bermula dari percakapan tertutup media sosial
Facebook yang kemudian berujung pada pelaporan dan upaya peradilan oleh Mawardi
selaku dosen yang merasa tercemarkan nama baiknya oleh percakapan mahasiswanya
tersebut adalah salah satu bukti dimana masih adanya ruang terpisah para
pengabdi dengan pegiat ortom. Serta kian menguatnya pandangan merasa telah
mengabdi hanya karena telah bekerja shalih di AUM, bukan bagaimana membangun
relasi ikhlas antara bekerja dan proses perkaderan dalam persyarikatan dan
ortom. Sehingga apabila terjadi
perbedaan pendapat—yang kadang-kadang agak frontal oleh para pegiat ortom,
tidak bisa dipahami sebagai bagian dari “proses menjadi” kader persyarikatan. Melainkan
justru dianggap sebuah ancaman yang akan mengganggu persoalan dan eksistensi
dirinya, yang akhirnya bukan dianggap sebagai ladang berkontribusi untuk bisa
menjadi bagian “proses menjadi” kader persyarikatan tersebut. Apalagi, mereka
yang aktif di ortom tidak sedikit bukan berasal dari lingkungan persyarikatan
Muhammadiyah—sebut saja: muallaf Muhammadiyah.
Kasus Dimas dan Fajar ini
semestinya membuka mata semua pihak. Lebih-lebih kader IMM dan ortom lain,
pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan pengelola AUM. Setidaknya hal tersebut
terlihat oleh dua hal. Pertama, sudah
saatnya pengelola AUM memperioritaskan para kader ortom, tidak terkecuali kader
IMM diprioritaskan sebagai bagian dari tim pengelola ortom. Hal ini untuk
menjaga bagaimana marwah proses perkaderan dan kepemimpinan agar dapat berjalan
secara baik. Apalagi, kini kapasitas kader ortom tidak kalah bersaingan dengan
mereka yang kadang dianggap memiliki kapasitas tertentu oleh pengelola AUM.
Maka, disinilah pertaruhan kepercayaan terhadap keluarga sendiri sesama kader dan
warga persyarikatan akan diuji, sehingga bukan sekadar persoalan suka dan tidak
yang cenderung mengedepankan ego relasi kuasa sebagai pengelola AUM. Kedua, mendorong pimpinan Muhammadiyah
untuk bisa membersihkan pengelola AUM dari pihak yang tidak hanya sekadar
bekerja. Orang yang hanya mencari penghidupan di Muhammadiyah, namun secara
perlahan membangun jejaring berbahaya yang menggerogoti keberadaan Muhammadiyah
dari dalam. Maka, mereka yang menjadi pengelola AUM ‘wajibnya’ bukan sekadar
bekerja, melainkan mengabdi. Artinya, apa yang ia lakukan merupakan salah satu
bagian dalam mendorong dakwah Muhammadiyah secara praksis secara ikhlas melalui
AUM. Jika ada perbedaan pandangan yang berbeda sesama pengelola AUM, ortom dan
persyariakatan dapat dikomunikasikans secara baik dengan cara kekeluargaan.
Sehingga tidak perlu mempertontonkan kekonyolan diri, sebagaimana terjadi pada
kasus Dimas dan Fajar ini.
Inilah pekerjaan bersama para
pegiat dan warga Muhammadiyah kedepan. Bagaimana menjaga aset, potensi dan
ritme gerakan Muhammadiyah melalui perkaderan dan kepemimpinan melalui berbagai
sisi, tidak terkecuali dari AUM itu sendiri. Dengan meminjam pandangan Moeslim
Abdurrahman bahwa kini dalam Muhammadiyah telah banyak orang yang larut untuk
beramal shalih dan menggunakan Muhammadiyah sebagai media beramal. Namun, ada
satu hal yang tidak lazim ditemukan di Muhammadiyah yakni menjadikan Muhammadiyah
sebagai rumah intelektual. Ya! dengan
menjadikan Muhammadiyah sebagai rumah intelektual, mereka yang mengabdikan diri
di AUM bukan sekadar bekerja belaka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Melainkan mengorbankan tenaga dan pikirannya untuk kemajuan Muhammadiyah.
Barangkali, disinilah mengapa para pengelola AUM disebut sebagai pengabdi dan
bukan pekerja, yang harapannya dapat berkontribusi positif terhadap gerakan
Muhammadiyah secara kolektif.
Bentuk “proses menjadi” yang
dilakukan oleh ortom, khususnya IMM. Semestinya dipandang sebagai bagian dari
membangun gerakan kolektif Muhammadiyah oleh mereka yang menjadi pengabdi dan
pimpinan AUM, Muhammadiyah serta warga Muhammadiyah. Lebih-lebih bagi mereka
yang menjadi bagian dari Muhammadiyah, tanpa proses perkaderan hierarki
Muhammadiyah atau perkaderan dari ortom, sehingga tidak jarang merasa
terkaget-kaget dengan apa yang dilakukan ortom, baik dari sisi perkaderan
maupun kepemimpinannya. Akibatnya, pada titik tertentu, khususnya saat menjadi
pimpinan AUM atau Muhammadiyah menimbulkan jarak terpisah dengan ortom. Bahkan
yang lebih mengerikan seperti yang disampaikan Pradana Boy ZTF diatas berbagai
bentuk keputusan bukan didasarkan pada politisasi
atau kronisme atau karena dasar like and dislike, melainkan karena prestasi. Artinya, “proses menjadi” dalam
Muhammadiyah ini harus dipahami sebagai bagian dari dinamika, dialektika dan
gerakan yang terjadi secara alamiah dalam tubuh ortom dan Muhammadiyah. Biarlah
proses menjadi ini menemukan bentuk kolektif yang pada akhirnya sama-sama
memberikan kontribusi postif dalam gerakan Muhammadiyah kedepan.
Melalui kasus yang menimpa Dimas
dan Fajar ini yang penuh dengan rekayasa ego, ketidakadilan dan mempermalukan
Muhammadiyah dari dalam. Bahwa memang ada hal yang harus dibina dalam proses
menjadi tersebut adalah menjadi keharusan secara kolektif dalam tubuh gerakan
persyarikatan ini. Tentu saja, dengan cara kekeluargaan sebagaimana yang selama
ini ditradisikan para pendahulu oleh Muhammadiyah. Selain itu, kasus tersebut
harus dapat menjadikan kader IMM lebih solid dan saling bergandengan membangun
gerakan kolektif dari berbagai sisi. Semoga!
0 comments:
Posting Komentar