Tak Sekadar Sejenak


Aku menulis tentang cinta
namun kata-kata tak pernah habis
untuk melukiskannya
Dan tak satupun kata sangggup
untuk benar-benar menerangkannya.

Dan kepada orang-orang yang menganggap cinta
hanya omong kosong belaka
Aku mulai ingin bertanya
Tentang cinta
Beberapa waktu Muji Suseso (M.S.) pernah mengetag kumpulan tulisan puisinya yang telah ia tulis selama kurang lebih satu tahun lamanya lewat media jejaring sosial Facebook. Ia memberi judul notesnya dengan “Mu dan mu”. Terasa agak janggal memang dua kata judul itu. Satu tulisan kata tapi memiliki beda makna dan maksud. Saya pun membaca satu persatu ciutan M.S. yang sebenarnya merupakan ciutan ‘rindu, dan, cinta’ terhadap sosok yang ia cintai. Rindu kepada Tuhan dan perempuan yang menggelayut erat dalam bathin seorang M.S. 

Petikan puisi diatas saya ambil dari bagian notes M.S. tersebut. Agaknya, M.S. sedang mengalami perjalanan dinamika cinta yang tidak bisa ia hindari. Ia hendak memulainya dengan bertanya tentang kepalsuan cinta yang oleh sebagian orang hanya relasi perpaduan dua raga, bukan dua jiwa untuk bisa saling mengenal lebih dalam, memberi ragam ketulusan, sejauh jauhnya ketundukan dan sekuat-kuatnya komitmen. Memulai mencintainya dengan bertanya adalah satu daya kritis seseorang terhadap apa yang ia cintai. Dari rentetan puisi berseri itu, nampaknya M.S. sudah mulai sampai pada maqam yang dimana Kahlil Djibran menyebut cinta sebagai Tuhan, alam dan kemanusiaan.
Jika aku merindu karena apa adanya padanya
Maka mendekatlah lebih dekat darinya
sebab cintamu tumbuh dari sesuatu
yang ada dan wajar darinya

Jika aku merindu karena ada apanya padanya
Maka menjauhlah lebih jauh darinya
sebab bencimu tumbuh dari sesuatu
yang hilang dan tiada darinya

Bukankah apa adanya dan ada apanya dua hal yang berbeda?
Entahlah,
banyak hal yang tak bisa disangka
banyak hal yang tak bisa diduga
banyak hal yang tak bisa diterka
engkau hidup bukan karenaku

Maka janganlah melakukan hidup dengan perkataanku
Karena lakumu adalah hidup dengan caramu
Barangkali, bukan sebuah kebetulan apabila M.S. kini semakin matang dengan rangkai puisinya. Memiliki kebiasaan penyakit insomnia dengan menjadikan malam seperti siang, siang menjadi malam. Semacam ia ia menemukan dunia baru dari apa yang oleh sebagian orang disebut ‘bakat’. Dereran puisinya sebagian besar lahir dari ruang-ruang sunyi dan dinding kamar kokoh yang ia huni tiap malam yang penuh dengan refleksi. Sehingga apabila kita membaca rangkaian puisi M.S. seperti membawa kita pada alam imajiner. Alam dimana kita akan menemukan muara refleksi dan gugatan yang tidak biasa. Refleksi puisinya sebagian besar merupakan pembacaan M.S. terhadap kondisi, situasi, waktu serta keadaan yang kadang disembunyikan oleh kebanyakan orang. Sedangkan gugatan yang tidak biasa lebih pada kesoktidaktahuan tentang beragam keadaan yang justru menjauhkan diri sikap reflektif. 

Tebaran puisinya dengan menggunakan hashtag #Sejenak seakan memberi jeda pada kita untuk bisa mengeyam sendiri refleksi dan gugatan bersama. Bahkan bisa dibilang M.S. lewat puisi yang kadang bernada surrealis—merupakan cerminan dirinya yang begitu gelisah dengan alam sekitarnya yang penuh dengan ketidakseimbangan dan ketidakadilan. Barangkali, rasa gelisah inilah yang tidak banyak dimiliki oleh sebagian orang, sehingga mengganggap dirinya telah puas dengan capaian, orientasi dan mimpi yang membelenggu. Maka, #sejenak merupakan suasana dimana kita harus melakukan banyak refleksi dan gugatan tidak biasa yang kemudian mengantarkan  kesadaran yang bisa dimulai dari alam bawah sadar—bahwa kita harus melejitkan diri kembali. Entah, melejitkan diri dengan gerakan lebih besar, impinan yang lebih bermakna, solidaritas yang lebih radikal dan sebagainya.

Bagi saya,  M.S.begitu sengaja hendak ingin mendekatkan dan mengajak kita mengenal mha Ainun Najib, Wiji Tukul,  Pramoedya Ananta Toer, ataupun HAMKA. Sekalipun, jika kita membaca lembaran puisinya lebih banyak dipengaruhi Emha Ainun Najib. Kadang disitulah saya merasa bangga mengenal seorang M.S. bukan sekadar relasi sesama ikatan organisasi, melainkan sudut pandang karya-karya yang ia miliki. Ia begitu jenaka dalam menulis tiap landai puisinya yang khas aroma tulisan orang melayu. Bisa dibilang M.S. merupakan generasi baru penggelut sastra muda yang harus menerus menemukan muara kebersamaan dan apresiasi oleh mereka yang pernah mengenalnya. Sekalipun, apa yang kini sedang ia geluti, sama sekali tidak saling berkelindan dengan jurusan kuliah yang ia ambil. Barangkali, inilah dunia bakat yang selalu diasah. Tak selalu berbanding lurus dengan ritual akademik yang kadang terasa menjemukan. Mungkin tidak ada salahnya jika beberapa waktu kedepan M.S. merangkum karyanya dalam satu naskah buku yang apik. Teruslah berkarya M.S. hingga dunia tidak lagi mengenal ragamu. Tapi, karyamu selalu hidup dalam tiap relung sanubari banyak orang. 

Percayalah, tidur malam hari itu jauh lebih nikmat meski hanya sejenak :))
Jika bagimu aku berbahaya
Maka buatlah aku lupa
yang sampai berujung pada
sakitnya raga dan gilanya jiwa

Barangkali saat itulah
aku menjadi tak berbahaya

0 comments: