Tua Bergaya


Beberapa waktu lalu saya pernah diminta oleh seorang dosen untuk mengajarkannya membuka Email. Awalnya, saya sempat shock. Kok bisa beliau belum bisa membuka Email yang sudah menjadi keseharian para dosen dalam bertukar informasi. Atas semua itu, saya memaklumi karena usia beliau kuliah tidak sama dengan saat ini yang apa-apa dikirim via Emailda ini. Bahkan yang membuatkan emailnya beliau minta minta tolong tetangganya. Jadilah password ‘tua bergaya’.

Saya sempat iseng bertanya: mengapa si tetangga menggunakan password yang agak gokil itu. Beliau pun menjelaskan kalau si tetangga mengganggap beliau sebagai orang jenaka. Saya pun memahaminya, sebab kelakuan dan pemikiranya yang ala anak muda itu memang sudah menjadi kesehariannya. Beliau bisa seharian mendampingi mahasiswa dalam persoalan kreatif khas anak muda. Sekalipun beliau tidak mengerti betul apa yang dikerjakan di mahasiswa. Ia hanya ingin mensupport bahwa apa dilakukan anak muda yang bernilai dan berdampak positif harus didorong dengan bagaimana pun caranya. 

Kadang beliau bisa marah-marah pada mahasiswa hanya karena apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan keinginannya. Seperti beliau lupa bahwa apa yang dilakukan mahasiswa saat ini dengan saat beliau masih kuliah sudah banyak bergeser. Pengetahuan, budaya, teknologi, perkembangan masyarakat, harapan masyarakat dan lainnya sudah mulai banyak bergeser. Tidak terkecuali pemanfaatkan media sosial dalam mempromosikan sisi kreativitas si mahasiswa. Makanya, tiap kali membuka akun Facebook dan melihat postingan status mahasiswanya, beliau bisa terheran-heran. Entah, bilang mahasiswanya alay, galau dan sebagainya. Ya! begitulah kondisi masyarakat saat ini. Tinggal pada sisi mana kita akan menempatkan diri menjadi bagian krativitas, kegalauan dan kealayan anak muda. 

Terlepas sikapnya yang agak paradoks itu. Tapi, setidaknya saya merasa salut. Sebab dosen ‘tua bergaya’ mau belajar dengan kondisi tersebut. Tidak sedikit orang seusia beliau hanya ingin menjadi dirinya sendiri dan memilih apa yang terjadi kini sebagai akibat ‘ikut-ikutan’, bukan bagian dari perubahan jaman yang tidak dikendalikan perubahannya sebaga keniscayaan dari sebuah perubahan. Inilah dunia yang tidak saja mengandalkan kejayaan masa lalu, yang mengungkung kenangan sebagai alat ukur tanpa cela dan kritik. Tiap dari kita harus bisa membaca jaman dimana kita hidup dan bukan apa yang telah kita lewati. Sebab dari situlah, kita akan mendapatkan banyak pengetahuan dan kesadaran diri untuk bisa selalu belajar banyak hal dari apa yang kita pikirkan, lakukan dan kita refleksikan.

Jika kita memposisikan diri seorang reflektif atau bahkan kaum intelektual, artinya mengikhlaskan diri untuk menerima segala hal sebagai bagian dari kehidupan diri yang tidak bisa ditolak atau dipilah pilih. Begitulah tugas kita yang sebenanarnya. Membuka seluas-luasnya cakrawala refleksi dan berpikir tanpa harus memasung diri dalam kebuntuan ‘ketidaksukaan’ hanya karena selera egoistik. Pada akhirnya, saya cukup banyak belajar pada kehidupan dosen ‘tua bergaya’ ini. 

Kadang-kadang. Hidup itu memang perlu kejenakaan, bukan? :))



0 komentar: