“Mas, kok aku lihat sekarang kamu
tambah kalem?” tanya salah seorang rekan dosen ditempat saya mengajar.
“Maksudnya. Kalem gimana ya,
Mbak?” tanya saya balik.
“Sekarang aku lihat. Kamu lebih
tenang dan bisa lebih mengontrol diri setelah kamu punya anak. Padahal kan
masih belum lahir kamu udah kayak gitu”
“Owalah.. Ada-ada aja sampean
ini. Biasa ajalah. Mungkin aku lagi lelah ngomong aja. Hehe”
“Eh, bener lho. Aku amati dari
kemarin-kemari kamu sudah banyak berubah. Makin tambah kalem” rekan saya terus
memburu.
“Ya. Mungkin itu karena efek
psikologis seorang calon ayah tuh, Mas” imbuh rekan dosen yang lain. Saya pun
hanya tersenyum tanpa memberi alasan lebih lanjut. Karena, saya sendiri juga
tidak bisa menilai diri saya sendiri.
“Mohon doanya aja, Mbak. Semoga
si baby dan bundanya selalu sehat dan dilancarkan nanti proses kelahirannya” saya pun menitipkan doa pada rekan saya
tersebut. Sama seperti pada orang yang selama ini menanyakan kondisi kandungan
istri saya—agar tumbuh kembang anak yang sedang berada dalam rahim istri saya
berjalan secara sempurna.
****
Pada sebuah kesempatan diakhir
pekan saya mengajak istri saya untuk makan bersama. Memang tidak ada agenda
atau acara khusus mengapa kami makan bersama. Itu kami lakukan hanya karena
kami begitu jarang makan bersama—sebab saya hanya pulang seminggu dua kali ke
Majenang, tempat istri saya tinggal. Sisanya, saya saya habis di Purwkerto.
“Ayah sekarang kok makin kalem
ya? nggak galak lagi seperti masih kuliah dan sebelum menikah?” ucap istri
saya.
“Moso’? (masa iya)” jawab saya
sambil mengerutkan dahi.
“Iya. Beneran, Yah. Sekarang
emosinya sudah agak terkontrol. Tidak kayak dulu yang gampang sekali marah. Malah
Nda rasain sekarang ayah sayang sama Nda”. Saya baru menyadari ternyata istri
saya selama ini mengamati apa yang terjadi pada diri saya. Disitu saya benar-benar
tidak bisa memahami sendiri saya sendiri. Meski kami sudah saling mengenal
sejak masih kuliah di Jogja.
“Hem! Nda ingin tahu apa alasannya
kenapa?” ujar saya sambil berpikir mencari jawaban yang tepat terhadap apa yang
sebenarnya saya tidak mengerti dan saya pahami itu.
“Iya.. Apa, Yah!” istri saya
sigap berhenti menulis menu makanan yang hendak kami pesan.
Saya tidak langsung menjawabnya
karena masih mencari jawaban yang tepat tadi. Sembari ingin melihat lebih lama ekspresi
wajah istri saya yang penasaran. Ia menatap saya lekat-lekat—sebuah ekspresi
yang menanti hal yang sangat penting.
“Karenaa... aku... sayang....
kamu” ucap saya seketika. Sembali saya memegang tangan istri saya yang sedang
memegang pulpen.
“Iihhh...” ucap istri saya sambil
mencubit perut saya. Ia pun tersenyum malu seperti kehabisan kata-kata untuk
diucapkan. Kami pun menikmati makan siang dengan berseri-seri.
Hakikatnya, saya masih belajar
untuk menjadi suami dan ayah yang baik terhadap keluarga mungil yang baru saya
jalani hampir satu tahun ini. Bahwa dengan hidup berumah tangga, semacam
memberikan banyak waktu luang bagi saya untuk bisa belajar dalam tiap rangkaian
hidup yang dilalui. Berkeluarga adalah proses membagi segala hal—senang, susah,
bahagia, sedih dan sebagainya. Yang menyebkan hidup selalu bisa menemukan muara
untuk bisa merefleksi—dalam kebersamaan. Percayalah, kadang-kadang menikah dan
berkeluarga itu seperti memberi efek sistemik yang tidak bisa kita sangka-sangka.
Selalu penuh kejutan yang penuh warna..
0 comments:
Posting Komentar