Belakangan ini tidak sedikit
diantara kita yang menanyakan kemana para mahasiswa? pertanyaan ini cukup
menggelitik, bukan karena semakin sedikit jumlah mahasiswa di kampus. Melainkan
lebih pada peran mahasiswa itu sendiri. Peran
yang kemudian berubah menjadi identikan bahwa sosok mahasiswa sebagai agen
kontrol dan agen perubahan. Dengan kata lain, pertanyaan tersebut semacam
mengajak diri mahasiswa—menanyakan tentang identitasnya sendiri. Jika yang
terjadi demikian, maka seorang mahasiswa akan melakukan risistensi dan refleksi
terhadap apa yang ia lakukan selama ini. Begitu pula, sebaliknya ada pula yang
mengabaikan begitu saja pertanyaan tersebut seperti tidak ada masalah apa-apa.
Pentingnya pertanyaan ‘kemana
para mahasiswa’ dan relasi peran mahasiswa itu sendiri. Sebenarnya, lebih pada minimnya sikap
dan tanggung jawab mahasiswa terhadap persoalan yang terjadi. Misalnya,
minimnya respon cepat terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat
miskin, kenaikan BBM, kenaikan TDL, kriminalisasi penegak hukum, biaya kuliah
mahal dan kebijakan tidak berpihak lainnya. Sehingga secara praksis hal hanya
dilakukan oleh aktivis kampus dengan latar organisasi gerakannya. Tentu saja,
hal ini menjadi ironi ditengah identitas yang kadung terlampau lama melekat
sebagai sosok intelek, agen kontrol dan agen perubah. Maka, sosok mahasiswa
semacam menjadi arena ‘gaya-gayaan’ atau ‘status’ kelas menengah dalam
masyarakat. Bukan pada penanaman diri sebagai arena memupuk diri tentang
bagaimana caranya bersikap dan bertanggungjawab.
Barangkali, keadaan ini
setidaknya bisa disebabkan tiga faktor. Pertama,
tumpulnya format gerakan mahasiswa dalam menangkap perkembangan gerakan
‘hedonis’ yang banyak terjadi dikalangan mahasiswa. Sehingga menjadi seorang
aktivis gerakan mahasiswa ‘pokoknya’ kerjaanya adalah berunjuk rasa dan
berdiskusi. Diluar hal tersebut dianggap bukan bagian dari passion seorang
aktivis. Padahal, jika menengok secara lebih seksama gebrakan kaum hedon yang
tipikal ‘suka-suka’ itu jauh lebih kreatif dan cepat menemukan pola baru dalam
tiap gerakannya. Ketimbang organisasi gerakan mahasiswa yang cenderung suka
menunggu momentum tertentu. Jadi mempertentangkan ‘aku seorang aktif’ dan ‘kamu
anak hedon’ bukan lagi menjadi domain diskusi yang terus diangkat. Melainkan
dari keduanya saling mengkoreksi—atau bahkan saling diadakan elaborasi bentuk
gerakan. Kedua, pertentangan dua
generasi. Hal yang biasa terjadi dalam dunia gerakan mahasiswa pertentangan
antara senior-junior ataupula dua generasi yang berbeda. Jika dulu angkatan
60an berseberangan dengan angkatan 70, dan angkatan 80an dengan reformasi. Pada
generasi reformasi ini pun juga terjadi pententangan yakni mereka yang terlibat
aktif reformasi dengan menggulingkan orde baru. Kini, tidak sedikit yang duduk
dalam struktur kekuasaan serta malah menjadi
bagian yang menyebabkan ketidakadilan itu terjadi. Maka, generasi pasca
reformasi inilah yang kemudian menuntut bahwa peran dan idealisme mereka yang
distruktur lingkaran kekuasaan tidak lain merupakan gerombolan bandit yang
tidak ada bedanya dengan orang-orang yang pernah mereka hujad dan lengserkan.
Hadirnya, tuntuan dari generasi berbeda itulah yang kemudian tidak bisa
dihindari sebagai sebuah sebab-akibat dari sebuah pilihan politik. Jika yang
terjadi demikian dapat dipastikan gerakan mahasiswa akan terkooptasi dan
terjebak oleh kepentingan dirinya sendiri. Ketiga,
peran kampus yang tidak lagi memandang penting kepemimpinan. Hal tersebut dapat
terlihat dimana kampus lebih suka menggalakkan entrepreneur, ketimbang
mendorong mahasiswanya aktif dalam organisasi. Pentingnya entrepreneur tidak
saja menjadi kurikulum tertentu yang dibanggakan kampus. Tetapi, dengan semakin
banyaknya mahasiswa yang berjiwa entrepreneur akan menyebabkan kampus tidak
perlu ambil pusing dengan lulusannya. Sebab para mahasiswanya sudah dianggap
mapan dengan berwirausaha sehingga kepemimpinan menjadi kebutuhan nomor
kesekian. Sekalipun, dalam dunia nyata seorang entrepreneur juga ‘sangat’
dituntut memiliki jiwa kepemimpinan. Persoalan ini pun kemudian diperparah
dengan tidak dimasukkannya unsur pengalaman organisasi dalam sistem penilaian
utama dalam proses mahasiwa berprestasi (mawapres).
Deru perubahan harus terus
menerus digelorakan oleh semua unsur gerakan mahasiswa. Sebab apa yang kini
terjadi, bukanlah harapan atau ‘hope’ yang beberapa waktu lalu terus
dikampanyekan. Melainkan semacam bagi-bagi kue kekuasaan untuk kepentingan diri
dan kelompoknya, sehingga sosok harapan tersebut malah kian tersandera kian
dalam. Selain itu, terus adanya dorongan
terhadap mahasiswa yang lain untuk ikut berjuang dalam barisan juga terus
dirangkul. Setidaknya, para akademisi yang pernah lahir dari rahim aktivis
gerakan mahasiswa memberikan banyak peluang terhadap mahasiswanya mengenyam
pengembangan dan kesadaran diri terhadap masyarakat. Sebab bisa jadi, rentetan
pertemuan tatap muka kelas dan deretan nilai baik tidak bisa menjadi transfer
kematangan kepemimpinan diselesaikan dalam ruang-ruang kelas yang kaku. Dari
sinilah pentingnya wadah organisasi, hanya sebagai pengembangan minat dan bakat
kepemimpinan. Melainkan juga sebagai wadah menciptakan kesadaran kritis.
Secara pribadi, saya sebagai
seorang akademisi turut memberikan apresiasi dan bersedia memberikan nilai ‘sangat
memuaskan’ terhadap mereka yang mengembangkan diri dalam berbagai aktivitas
kemahasiswaan. Apapun jenis gerakan mahasiswanya. Apalagi, bisa berdemo dan
mengorganisir masyarakat dan mahasiswa, saya akan memberi predikat ‘istimewa’.
Percayalah, para mahasiswa itu tidak kemana-kemana, itu sebabnya kesadarannya belum
pernah kemana-mana. Sebab itu, ajaklah diri dan kesadarannya melanglang
buana kemana-mana. Teruslah berjuang gerakan mahasiswa. Abadi perjuangan.
0 comments:
Posting Komentar