Semacam My Name is Khan


Apa kabarmu, Mandira? 

Sebelumnya mohon maaf. Jika aku memulai tulisan ini dengan menanyakan kabarmu, Mandira—seperti yang biasa dilakukan oleh Rizwan Khan selama ini untukmu. Bagaimana dengan kabarnya Khan? Aku yakin ia selalu ingin disampingimu, Mandira. Membalas guguran waktu yang pernah terbuang secara bertubi-tubi. Semoga kalian selalu dalam keadaan baik dan tetap mesra. 

Barangkali, aku tidak ingin menulis catatan ini untuk Khan. Melainkan untukmu, Mandira. Hal itu aku lakukan karena aku begitu sangat terinspirasi dengan apa yang telah dilakukan oleh Khan selama ini. Terinspirasi dengan rentetan perjalanan kalian berdua. Percaya atau tidak. Perjalanan kalian seperti memberikan banyak letupan memori bagi banyak orang untuk bisa bekerja dan berbuat untuk sesamanya. Apa yang kalian alami beberapa waktu lalu itu. Kini, juga dialami oleh banyak orang yang dibeberapa belahan dunia lainnya. Termasuk disini, Mandira. Ya, disini. Indonesia..

Apa yang kalian alami pasca kejadian 11 September itu begitu sangat memilukan. Timbul ketakutan terlebihan terhadap Islam—yang kemudian lebih dikenal dengan Islamophobia. Buntut dari semua itu, kamu harus kehilangan Sameer, yang akibatnya kamu bersama Khan mengalami pertengkaran. Tentu, kamu masih ingat dengan ucapanmu: Sameer mati karena bernama Khan. Karena ia beragama Islam. Aku juga bukan hendak ingin menguliti luka perasaanmu, Mandira. Tapi, apa yang dulu pernah kamu rasakan, nyaris hampir sama dengan apa yang kami alami di negeri ini, Mandira.

Mandira. Barangkali, kamu sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di negeri kami dari berbagai media. Beragam aksi ketakutan tidak saja muncul dari mereka yang tak paham, melainkan dari mereka yang shalih tentang Islam itu sendiri. Ini semacam tarik menarik mencari dukungan—bahwa apa yang mereka yakini dan pahami adalah kebenaran mutlak. Seseorang atau kelompok dengan mudah melebeli: liberal, radikal, konservatif, komunis bahkan bukan dari Islam—yang sebenarnya masih satu keyakinan, satu syahadat, satu kitab suci, satu Nabi, satu agama dan bahkan satu keluarga. Akhirnya, kekerasan menjadi tolak ukur dimana sebuah keyakinan dan pemahaman diekspresikan, Mandira.  Sama seperti ulahnya Faisal Rahman yang mengajarkan tentang kehalalan kekerasan sebagai jalan kebenaran. Orang yang pernah ditemui Khan disebuah masjid tempo hari itu. Mungkin, itu sebabnya ada benarnya Khan melempar Faisal Rahman dengan batu sembari meneriakkan bahwa Faisal Rahman lah yang setan. Sungguh,  ini adalah masa-masa sulit bagi kami saat ini.

Kasus yang terbaru, Mandira. Pemerintah berkeinginan untuk menutup situs tertentu yang dianggap menyebarkan paham (radikal). Entah, hal ini sebagai cara mengalihkan kasus tertentu yang seperti biasanya terjadi. Ataukah adanya upaya baru memancing wacana dan reaksi masyarakat bahwa telah ada ancaman media tertentu terhadap negara yang tidak bisa ditolerir. Mungkin, lebih tepatnya, pemerintah hendak melakukan kekerasan secara sistemik terhadap media massa agar bungkam tanpa perlu banyak mengkritisi apa saja yang diperbuatnya. Ataukah yang lebih celaka, pemahaman tentang radikal hendak dipaksakan terparadigma bahwa ‘radikal itu Islam’. Dan jika perlu dibuat aturan khusus tertentu untuk mencurigai, seperti melarang atau mempersulit urusan seseorang bernama ‘Muhammad ataupun Ali’ dan berbagai atribut Islam lainnya. Nampaknya, propaganda murahan seperti ini tidak perlu dilakukan oleh negara yang meletakkan ketuhanan yang  maha Esa sebagai bagian pertama dasar negara. Begitupula, dengan media yang cap (radikal) itu. Tidak sedikit diantaranya memuat kontens dan isi berita yang tidak proporsional. Baik tidak sesuai fakta, tidak objektif, tidak lengkap, tidak berimbang dan tidak akurat—sebagaimana telah menjadi pakem jurnalistik sebuah berita. Sebab yang terjadi, Mandira. Beragam media itu malah lebih mengedepankan aspek pemahamanan diri dan kelompoknya ketiman kedalaman beritanya itu sendiri. Yang tentu saja, kepentingan mencari pendukung dan pengaruh sebesar-besarnya.  

Mandira,

Barangkali, kami perlu merefleksi bersama. Agar kebencian dan rasa saling mencurigai kami ini bisa dieliminir. Kami perlu berkaca pada Khan yang tetap berpikir positif dan berbuat baik, sekalipun ia disakiti secara tragis. Berkaca pada perbuatan Khan yang ikhlas membantu Mama Jenni, Joe dan  masyarakat Wilhelmina harusnya mampu membuat kami malu. Sebab posisi kami saat ini masih berada dalam ruang perdebatan ego masing-masing. Bukan pada tindakan yang lebih nyata dan berdampak sistemik kebaikannya. Pintu keyakinan kami masih berkungkung oleh tirai perbedaan mazhab. Dan perbuatan kami masih ingin menjadi parade liputan diberbagai media. Bukan keikhlasan seperti yang dicontohkan oleh Khan. Negara dalam hal ini pemerintah juga demikian. Masih sibuk dengan urusan pribadi saling berebut kekuasaan. Sehingga tindakan gagap dan reaksioner sudah biasa kami hadapi dalam tiap kebijakan yang dikeluarkan. 

Mandira, Khan telah membuktikan bahwa perbuatan kebaikan yang nyata, itu jauh lebih diterima semua golongan tanpa batas ras, agama (keyakinan) dan daerah manapun. Itulah yang belum kami miliki. Kami masih sibuk dengan urusan kami masing-masing. Kami juga masih khusyuk dengan pemahaman keyakinan masing-masing. Dan kami juga masih bahagia dengan perdebatan dan jurang pemisah kami masing-masing. Inilah dunia kami.  Inilah kami yang idiot itu..

Mandira. Sampaikan salam kami pada Rizwan Khan. Sungguh kami malu padanya..


0 comments: