Tahun 2004 waktu masih kelas 2
SMA. Pacar saya memberikan coklat kepada saya. Awalnya saya sempat bingung
kenapa dengan tiba-tiba pacar saya tersebut memberikan coklat. Sebab bukan
kebiasaannya memberikan coklat. Apalagi, coklatnya yang gede..
“Kan sekarang Valentines Day,
Yang” ujar pacar saya.
“Apaan tuh?” jawab saya dengan
lugu.
“Ah, Ayang nggak gaul” ucapnya
sambil memanyunkan kedua bibirnya.
Ia pun menjalaskan mengenai apa
itu Valentines Day. Yang intinya adalah hari kasih sayang. Saya pun menerima
coklat pemberian pacar saya tersebut sebagai pemberian ikhlasnya.
Waktu saya ke warnet iseng-iseng
saya searching asal muasal Valentines Day tersebut. Ada banyak berita dan atikel
yang menjelaskan Valentines Day mulai dari sejarah, perayaan, cokelat, sikap
pro-kontra dan ragam ekspresi merayakannya. Dari situlah saya memahami bahwa Valentines
Day tidak lebih merupakan momentum dan fenomina belaka—dimana seseorang ingin
mengekpresikan perasaan cintanya pada sebuah bentuk dan suasana tertentu.
Kini, setelah 10 tahun berlalu. Valentines Day masih tetap saja menjadi dua
kutub yang saling mencari bentuk. Maksudnya, Valentines Day tetap saja menjadi
wacana usang untuk dirayakan ataupun ditolak. Bagi mereka yang merayakanya
tanggal 14 Februari hanya adalah hari dimana orang ingin lebih khusyuk mengekpresikan
perasaan mereka sebagai bagian fenomina. Sedang mereka yang menolak dikarenakan
hal tersebut lebih bukan pada akar budaya lokal—dan yang lebih ekstream bukan
berasal ajaran agama, jadi tidak perlu dirayakan. Hem! Agak melelahkan memposisikan diri sebagai bagian dari kedua
kutub itu. Dari satu dekade yang lalu itu, hubungan saya dengan pacar saya
tersebut masih terjaga dengan baik sebagai sahabat. Sebab kami sudah memiliki
pasangan masing-masing. Takdir lebih memilih kami sebagai rekan ketimbang
pasangan, sekalipun pernah merayakan.
Bagi saya, Valentines Day masih
tetap sebagai fenomina. Ingin dirayakan atau tidak, bukan persoalan yang harus ributkan.
Apalagi, mengklaim diri sebagai paling shalih memahami sesuatu. Sebab bisa jadi,
secara diam-diam kita sendiri tidak pernah merayakan. Dan bahkan salah satu klaim tersebut
sejujurnya lebih karena tidak adanya pasangan sebagai luapan perasaan cinta
kita sendiri. Begitulah fenomina—selalu agak liar dan menuntut keadaan sebagai
ruang. Masih perlukah kita habiskan pikiran dan tenaga untuk menciptakan ruang:
aku dan kamu. Dan mengeyampingkan bahwa cinta sebagaimana menurut Kahlil Gibran
tidak lain adalah tuhan, alam dan kemanusiaan. Biarkanlah cinta menemukan diri, ekspresi
dan memontumnya sendiri. Toh, untuk apa diintervensi..
“Ayah, besok kalau pulangnya
bunda dibelikan cokelat ya. Lagi kepengin banget ini” pesan istri saya pagi
tadi diujung telpon. Kebetulan ia suka cokelat dan kini sedang hamil muda—dan sudah
tiga minggu ini saya melarangnya memakan cokelat.
Selamat berkasih sayang..
0 comments:
Posting Komentar