Berawal dari Melawan Lupa


Kita selalu punya alasan sendiri untuk memutuskan menulis sesuatu. Entah, hanya sekadar menulis status di Facebook, memposting tulisan di Blog, ngetweet di Twitter atau bahkan untuk menulis buku. Terkai menulis buku, saya teringat mengapa saya menulis buku. Semua itu bermula sekitar rentang tahun 2008-2009. Kala itu, merupakan tahun dimana saya begitu suka menulis banyak hal. Apa saja yang saja pikirkan, lihat dan alami. Waktu itu selalu ada buku catatan kecil yang selalu saya bawa kemana-mana. Alasan yang saya pahami waktu itu adalah bagaimana saya bisa melawan kebiasaan lupa yang begitu mudah saya alami. Jadi, saya tidak punya alasan tertentu untuk apa saya menulis sesuatu.. selain melawan lupa.

Saya memang tidak paham betul mengenai teori dan cara penanganan tentang lupa. Yang saya tahu bahwa lupa merupakan bagian fitrah manusia sebagai tempat salah dan lupa. Kira-kira begitulah alasan agama yang saya pahami tentang lupa. Dari kebiasaan menulis inilah saya membuat Blog pribadi untuk menampung kumpulan tulisan reflektif saya. Naskah pertama yang saya sebut buku, saya beri judul “Melawan Lupa Sebuah Catatan dalam Dosa”. Waktu itu, dengan pedenya saya pun menemui teman yang baru saja menerbitkan buku untuk sekadar berkonsultasi bagaimana cara menerbitkan buku. Saya pun disarankan agar memberikan naskah buku yang saya tulis tersebut padanya untuk dibaca dan diedit. Ia juga menawarkan jika buku saya ingin diterbitkan bisa menggunakan penerbitan yang baru saja ia dirikan. Sebab penerbitan teman saya itu hanya baru menerbitkan buku yang ia tulis saja.. 

Selang beberapa hari kemudian, saya pun menemui teman saya tersebut. Meski dengan keadaan hujan lebat. Saya pun memberikan softcopy naskah buku yang telah saya susun. Saya pun diminta menemuinya beberapa hari kedepan—apakah naskah saya tersebut layak untuk diterbitkan atau tidak. Mendengar kata “layak” dalam batin saya waktu itu seakan ada granat yang meledak secara mendadak, yang menandakan bahwa tulisan saya tersebut jelek sekali. Yah! Maklum saja sebab waktu itu belum paham sama sekali tentang dunia penerbitan. Selain itu, saya juga memberikan softcopy naskah buku saya tersebut pada seorang teman di organisasi dimana saya bernaung. Tujuannya untuk memberikan saran dan kritik pembanding atas naskah buku yang telah saya susun. 

Seminggu pun berlalu. Waktu itu, saya sedang menghadiri rapat organisasi. Seorang teman yang membaca naskah buku saya mengatakan agar saya melihat status Facebook teman yang membaca dan mengedit buku saya tersebut. Ia menulis status seperti ini.
Tulisan yang sulit dicerna, hanya menguras tenaga. Tak bisa dipahami. Dan tak layak diterbitkan.
Begitulah teman saya tersebut menulis status di Facebooknya. Agak shock rasanya melihat status Facebook itu. Dan seketika itu juga semangat menulis saya pun seakan menguap dan hilang begitu saja. Entah, karena saya tidak siap menerima kenyataan bahwa tulisan saya memang jelek. Ataukah memang saya terlalu pede dengan naskah buku saya itu. Saya pun menanyakan kepada teman yang satu organisasi terkait tulisan saya tersebut—ia hanya memberikan saran bahwa ada banyak ketikan dan alur cerita yang perlu dibenahi. Sekalipun, apa yang saya tulis itu bukanlah novel dan cerpen. Melainkan sebuah catatan bernarasi fiksi—yang cukup ngetrend dalam dunia penulisan saat itu.

Dengan perasaan yang agak berkecamuk. Saya pun menemui teman yang mengedit naskah saya tersebut. 

“Naskahmu belum layak terbit” ujar teman saya tersebut sambil main playstation di kamar kontrakannya.

“Kenapa tidak layak terbit?” tanya saya penasaran.

“Dengan menulis buku begituan. Pasar pembaca mana yang hendak kamu sasar. Tak ada yang mau beli bukumu itu” jawab teman saya yang kian khusyuk dengan stick playstationnya. Saya pun pamit pulang. Sambil membawa asa naskah buku—yang cukup saya banggakan itu. Bangga karena inilah tulisan pertama saya.

Semenjak itulah saya bertekad akan terus menulis apa saja. Tanpa akan memperdulikan royalti dan logika pasar—yang sebenarnya saya juga tidak mengerti. Bagi saya menulis adalah cara saya melawan lupa yang cukup akut pada diri saya. Dan setiap tulisan pada hakikatnya pasti menemukan pembacanya sendiri. Saya pun mengedit sendiri tulisan saya tersebut sembari mendesign sendiri cover bukunya—sekalipun ada salah secara ornamen. Kemudian, saya kirimkan naskah buku “Melawan Lupa” ke email beberapa teman, tanpa mempedulikan akan dibaca atau tidak. Namun, responnya cukup beragam ada yang menarik ada pula yang penasaran dengan tokoh dibuku tersebut. Saya pun mengedit kembali dengan menambahkan beberapa tulisan, terutama menarasikan ulang surat cinta saya pertama pada perempuan yang saya cintai. Sekalipun, tetap menjadikan MIM Indigenous sebagai penerbit dan penampung tulisan saya.

Kini, setelah setengah dekade berlalu. Saya merasakan betul, betapa berharganya buku ‘Melawan Lupa Sebuah Catatan dalam Dosa’ dalam proses belajar menulis dan karir akademik saya. Saya bisa merampungkan S1 dan S2, menulis di jurnal, penelitian, menulis di koran, menulis buku kedua Genealogi Kaum Merah, mengedit buku: Tak Sekadar Merah, Menggugat Tuan Presiden dan beberapa buku IMM. Tanpa perlu memikirkan seberapa banyak royalti apa yang saya dapatkan—sebab nyatanya, saya memang telah menghibahkan apa yang saya tulis terhadap organisasi yang telah banyak membantu proses saya menjadi menusia yang lebih baik. Dan yang lebih penting—saya masih tetap bisa meracau di Blog saya ini. Barangkali, bersama ‘Melawan Lupa’ saya seperti menemukan magnum opus menulis dalam kehidupan saya..

... untuk mengunduh buku nggak jelas ‘Melawan Lupa Sebuah Catatan dalam Dosa’ saya tersebut. Silahkan (Kliksini). 

Ya! dikotak itu.

0 comments: