Jangan Tanya Mengapa Aku Mencintaimu




Kali ini, saya akan membincangkan tentang kehidupan pribadi keluarga mungil saya—dengan istri saya, Putri. Memang agak narzis. Tapi, biarlah bukankah narzisme telah membuat seseorang “menjadi” dan jujur sebagai dirinya sendiri. Ini hanya bagian dalam keseharian kami—kehidupan rumah tangga yang telah kami bina sejak lima bulan lalu. Bisa dibilang saat sedang dalam mesra-mesranya. He! 

Apa yang hendak saya bicarakan bukan tentang persoalan kemesraan. Tapi, lebih pada kehidupan rumah tangga kami yang “tidak seperti rumah tangga pada umumnya”—saya sering mengatakan pada istri—bahwa kehidupan rumah tangga dalam keadaan up normal. Mengapa demikian? Sebab kami hanya bisa berkumpul bersama sebagai keluarga utuh—pada weekend dan hari libur saja. Sisanya harus kami lalui dengan jarak sekitar 85 KM. Saya bekerja di Purwokerto dan istri saya bekerja di Majenang. Sebenarnya, situasi seperti ini bukan hal yang baru bagi kami berdua. Karena selama kami masih pacaran dan bertunangan, kami tetap berjauhan. Saya di Jogja merampungkan kuliah S2. Dan mantan pacar saya tersebut sudah berada di Majenang. Pulang kampung setelah merampungkan kuliahnya di Jogja.

Bagi sebagian orang, menjadi seorang bankir itu menyenangkan. Alasannya cukup beragam, sekalipun alasan umumnya terkait soal penghasilannya yang besar. Sebagai karyawan di salah satu Bank nasional, istri saya selalu berangkat lebih pagi, karena jarak antara rumah dengan tempat ia bekerja sekitar 20 menit perjalanan sepeda motor. Istri saya pun harus bisa sampai di kantor sebelum jam 07.30, sekalipun operasional bank jam 08.00. Sebab ia harus mengikuti doa pagi dan briefing bersama karyawan yang lain. Setelah itu pun ia harus melayani nasabah yang melakukan pembukaan tabungan, setoran, penarikan ataupun pinjaman. Dan dalam proses berjalannya pekerjaan itupun tidak selamanya—mulus bertemu dengan nasabah. Ada yang menyenangkan, namun tidak jarang ada yang sedikit naik pitam akibat ketidakpahamannya dengan logika operasional sebuah lembaga keuangan. 

Setelah operasional bank usai jam 15.00. Nyaris semua pegawai bank, tidak bisa serta merta langsung melenggang pulang. Ia harus harus mengecek semua transaksi yang terjadi pada hari tersebut. Sekalipun tidak jarang ada kerjaan tambahan—baik itu pekerjaan internal bank maupun program pemerintah yang disalurkan melalui bank tempat istri saya bekerja. Pernah dalam dua kali kesempatan, waktu saya habis pulang dari Purwokerto. Saya menyempatkan mampir ke tempat istri saya bekerja untuk sekalian pulang bersama. Lebih sering saya sampai di kantornya jam 17.00, lebih dikit.  Kami bisa pulang bersama dalam dua kali kesempatan tersebut, pertama jam 20.30—dan yang terakhir kali sampai 22.15. Jika dihitung rata-rata harian, sangat jarang sekali istri saya pulang sambil melihat matahari terbenam—alias ia sering pulang maghrib. 

Saya pun juga harus menyadari bahwa—jika menilainya dari sudut pandang pendapatan perbulan (take home pay). Gaji saya sebagai seorang dosen muda yang masih bergaji 80%, hanya 60 % dari gaji istri saya—tepatnya, lebih besar gaji istri saya. Meski, konon sistem penggajian yang berlaku di kampus tempat saya mengajar sudah menyesuaikan diri dengan sistem penggajian PNS. Tapi, hidup berumah tangga, memang bukan sekadar pemenuhan materi. Lebih dari itu adalah bagaimana membangun suasana keluarga harmonis dalam kebersamaan. Kami selalu percaya bahwa kebahagiaan bisa dihadirkan dalam suasana dan kesempatan apapun. Bahkan hingga detik ini, kami selalu berdoa dan berusaha agar kembali ada permata hati dalam kehidupan rumah tangga kami. Setelah sebelumnya, Tuhan lebih menghendaki memanggilnya—apa sempat kami miliki tersebut diusia enam minggu. Tentu, saat itu rasa sedih sangat menggelayut saban hari. Namun, sebagai hakikat siklus kehidupan—apapun yang terjadi, hidup harus diteruskan. Segala apa yang terjadi, harus dijadikan pelajaran untuk saling merefleksikan diri. Mohon, doakan kami agar secepatnya mendapatkan momongan kembali :))

Kami menyadari bahwa—tidak selamanya kami akan hidup seperti ini. Lebih-lebih jika kelak memiliki momongan. Saya pun tetap memperbolehkan istri saya berkarir. Saya memberikan kebebasan untuknya berkarir—sesuai dengan kemampuan yang ia miliki, dengan tetap memberikan batasan sampai kapan ia mengejar karir. Sekalipun, kami hidup bersama sebagai keluarga mungil, tentu saja saya dan istri juga memiliki impian besar—yang barangkali, sudah direncanakan sejak kami masih berbaju putih abu-abu. Makanya, saya selalu berusaha: tidak ingin terlibat membunuh tiap impian seseorang—meskipun itu orang terdekat yang berhubungan kepentingan saya sendiri—atau kami bersama.

Bagi saya, hari paling romantis dalam dimanika keluarga kami—hanyalah hari senin. Sebab istri saya akan bangun lebih pagi untuk menyiapkan “bekal” makanan, yang akan saya bawa ke Purwokerto. Kadang ia membuatkan nasi goreng, omelet, nasi ayam, nasi telor dan lainnya—yang bisa istri saya kerjakan cepat sebelum saya berangkat ke Purwokerto usai shalat subuh. Kadang-kadang, kalau istri saya tidak sempat menyiapkan bekal, ia selalu menyematkan makanan ringan diransel yang saya bawa. 

“Biar ayah tidak lapar di jalan” itulah alasan yang sering diucapkan istri saya. Jadi, tiap kali istri saya tidak sempat menyiapkan bekal dan camilan—saya juga selalu bertanya. Ia pun hanya menjawab tersenyum dan tertawa kecil—malu. Saat itu, saya pasti paham—ia butuh istirahat dari pekerjaannya. 

Kedepan, kami selalu berharap agar rumah tangga mungil yang telah kami bina. Selalu dalam keadaan tentram, bahagia, harmonis dan berkah—hingga, kami pun lupa kemapa kami saling mencintai. Toh! Seseorang jatuh cinta itu, tidak butuh alasan apa-apa. Atau mungkin penjelasan apa-apa. Jika cinta masih butuh alasan dan penjelasan—barangkali, itu semata-mata hasil kompromi dan motif: perasaan. 


0 comments: