Hilangnya Takmir Kami



Tiga hari belakangan ini. Para jamaah Musholla dekat saya tinggal, diherankan dengan perubahan sikap takmir Musholla yang tidak seperti biasanya. Takmir yang saya maksud adalah seorang mahasiswa yang tinggal di Musholla: sebut saja namanya Adul. Tugas keseharian Adul adalah mengurusi tiap kebutuhan Musholla. Mulai dari menjaga kebersihan, adzan, mengatur jadual kegiatan dan lainnya.

Awal mula keheranan para jamaah Musholla, berawal dari hilangya Adul selama seminggu. Ia pergi meninggalkan musholla tanpa pamit, bahkan tanpa ada pelimpahan komando tugas pada siapapun. Kabar yang berhembus dikalangan para jamaah. Si Adul dibawa oleh tiga orang jamaah kalong (bukan jamaah tetap) yang sempat menginap di Musholla. Tidak hanya itu, corak amalan ibadah yang dilakukan ketiganya cenderung berbeda dengan semua jamaah. Salah satunya, melaksanakan shalat jamaah kembali ketika baru dilaksanakan shalat jamaah dengan nada yang agak keras—bukan shalat untuk mengqadha’ atau mengqashar. Selain itu, ketiganya menggunakan sajadah dan mengganti pakaian berjubah acapkali ingin melaksanakan shalat. Sekalipun lantai musholla sudah beralas karpet. Intinya, gaya dan praktik ibadah ketiganya, dirasa para jamaah  aneh dan tidak seperti jamaah kebanyakan. Entah, karena mereka tidak tahu. Ataukah ini adalah bagian dari paham aliran baru. Entahlah!

Hilangnya Adul bersama ketiga orang jamaah kalong tersebut. Diperkuat oleh salah seorang teman Adul, yang pernah diajak Adul berdiskusi—dengan pimpinan sebuah jamaah. Sekalipun teman Adul ini tidak paham persis. Apakah keberadaan Adul bersama dengan kelompok barunya ini, akibat perkenalannya dengan ketiga jamaah kalong ataukah tidak. Namun, Adul kini seperti sedang memiliki petualangan spiritual baru bersama jamaah yang ia sebut Nubuwwah. Dalam diskusi yang diikuti teman Adul tersebut—sang pimpinan jamaah, salah satunya menyampaikan bahwa kini keberadaan orang Islam sudah tidak murni lagi. Seseorang yang memeluk Islam, bukan karena kesadaran. Melainkan karena faktor budaya—dimana seseorang memeluk Islam karena kedua orang tuanya seorang muslim. Andaikan kedua orang tuanya tidak seorang muslim, barangkali ia tidak akan menjadi seorang muslim. Maka, solusinya pemeluk Islam budaya tersebut harus bersyahadat kembali. Selain itu, juga disampaikan mengenai fitnah kehidupan yang dialami oleh umat Islam saat ini, seperti negara tidak menggunakan hukum Islam, terorisme, ISIS dan sebagainya. Tapi, yang agak membuat janggal teman Adul tersebut yakni keharusan mengorbankan apa yang dimiliki—untuk kepentingan perjuangan menegakkan agama: yang ia sendiri, tidak mengerti maksud perjuangan agama yang dimaksud sang pemimpin jamaah tersebut.

Lenyapnya Adul dari peredaran komando jamaah musholla menjadi sensasi dan kekhawatiran tersendiri. Sensasinya karena ia terlampau percaya dengan orang baru ia kenal. Khawatirnya karena selain tidak ijin terhadap jamaah senior, ia juga tidak ijin terhadap orang tua dan kampus yang sedang menyelenggarakan UTS. Celakanya lagi, selama ia pergi nomor handphonenya tidak aktif sama sekali. 

Seminggu setelah Adul menghilang. Ia pun pulang malam hari. Tepatnya, malam rabu kemarin. Pada saat waktu subuh, ia shalat menggunakan sajadah dan gamis. Sama khasnya jamaah kalong yang datang beberapa saat yang lalu itu. Saking terherannya pada barisan jamaah perempuan—waktu menjelang shalat subuh rabu pagi itu, terdengar bisikan ibu-ibu “sekarang sudah pakai sajadah”. Sekalipun, jamaah yang lain juga sudah menyadarinya sedari tadi. Namun, pura-pura tidak tahu.

Pagi dan siang harinya. Jamaah senior pun menanyakan langsung kepada Adul—terkait kehilangnya selama seminggu belakangan, yang tanpa pamit dan lambaian tangan itu. Dan saking penasaran atas kasak kusuk yang agak janggal tersebut—saya pun baru malam harinya menemui Adul. Ah, seperti saya menemui orang yang baru datang haji. Saya pun harus menunggu Adul agak lama, sebab ia shalat sekian rakaat setelah kami selesai shalat berjamaah beberapa menit yang lalu. Usai Adul shalat sunnah. Saya pun langsung menghampirinya. Diawal pembicaraan—saya sama seperti jamaah yang lain, yakni menanyakan terkait kehilangannya selama seminggu terakhir. Ia pun menjelaskan: selama seminggu ini mengikuti semacam halaqah di Bandung Jawa Barat. 

Awal ceritanya kepergiaannya. Ia bertemu dengan dua jamaah di Musholla, sebab memang sudah menjadi tugasnya menyapa para jamaah baru. Dalam pertemuan tanggal 12 Oktober tesebut, ia diajak berdiskusi terkait keislaman. Salah satu yang paling mencolok adalah terkait status keislaman seseorang. Seperti dijelaskan diawal, bahwa seseorang dianggap sudah muslim, manakala ia sudah menyucapkan kalimat syahadat secara sadar. Bukan karena warisan budaya orang tua. Jadi kalau sekadar warisan budaya keluarga, maka perlu syahadat ulang untuk menyukuhkannya. Sekalipun, dalam Al Qur’an sudah dijelaskan bahwa seorang anak sudah suci dan berislam sejak dari dalam kandungan. Ia bisa menjadi nasrani dan majusi tergantung pada kedua orang tuanya. Entah, karena kalah dalam arena diskusi tersebut—maka, Adul pun mengucapkan syahadat ulang pada tangga 13 Oktober dini hari. 

Ia pun menjelaskan: dalam pertemuan-pertemuan berikutnya ada materi harus ia ikuti disebuah rumah kontrakan, yang jaraknya sekitar 2 KM dari Musholla. Peserta yang hadir pun “sangat terbatas”, hanya dia sendiri. Pertemuan terbatas itu, ia mendapatkan materi yang berbeda dalam tiap kali pertemuan. Mulai dari keberadaan manusia pra nabi Adam, hakikat hidup, amanah, sistem nilai hingga pengorbanan. Jumlah materi yang harus ia ikuti berjumlah 27 materi. 24 materi ia dapatkan di kontrakan jamaah dan pertemuan terbatas itu, sedangkan 3 materi yang lain ia harus ikuti di Bandung. Namun, dari sekian materi yang disampaikan, hanya materi pengorbanan yang membuat saya sedikit mengerutkan dahi. Adul diminta mengikhlaskan barang yang ia miliki, sebagai sebuah totalitas pengobanan dan keikhlasan keyakinan terhadap Allah. Maksudnya, pimpinan jamaah yang Adul sebut “Bapak” itu, berhak mengambil barang dianggap istimewa—yang tidak bisa Adul lepaskan. Kepergian Adul ke Bandung, menurut penuturannya tidak ada kaitan dengan jamaah kalong yang dicurigai sebagian besar jamaah, termasuk saya sendiri. Sekalipun, teman Adul membenarkan. Entahlah. Untuk meyakinkan dirinya, Adul bahkan sebelum memutuskan untuk berangkat ke Bandung, ia melaksanakan shalat sebanyak 40 rakaat. Sebagai salah satu bentuk shalat pertaubatan. Dengan kemantapan hati untuk menuntut ilmu. Adul pun berangkat ke Bandung bersama satu orang peserta lain.  

Setibanya di lokasi halaqah. Terdapat 11 peserta yang akan mengikuti proses 3 materi yang akan disampaikan. Di malam pertama pertemuan—peserta dipecah menjadi dua orang kelompok, yang kemudian dimasukkan ke dalam ruang gelap yang berbeda. Mereka pun didiamkan diri, tanpa ada panitia yang mendampingi. Mereka juga tidak tahu sudah jam berapa, sebab HP, jam dan semua barang bawaan. Selain pakaian dan perlengkapan tulis, alat mandi dan pakaian semuanya disita oleh panitia halaqah. Kira-kira setelah dua jam berlalu, mereka pun disodorkan selembar kertas. Dan diperintahkan menulis dosa terbesar dan terkecil yang pernah dilakukan dalam kolom yang berbeda—Adul menyebutnya itu sebagai pengakuan dosa. Proses pun berlanjut, dimana peserta didiamkan kembali dalam ruang gelap. Hingga kira-kira sudah memasuki dini hari—seorang panitia datang duduk bersama mereka, dengan nyala satu lilin.

“Dengan dosa seperti ini. Kalian layak masuk surga Allah?” ucap panitia tersebut berulang-ulang kali. Dengan suasana kontemplatif. Lama-lama peserta yang ada dalam ruangan tersebut. Ada yang menangis, adapula yang bersujud meminta ampun atas dosa-dosa yang telah mereka tulis. Seorang panitia masuk ruangan dan memangku satu persatu peserta untuk mendekatkan pada panitia yang memvonis dosa mereka. Disana ada sebungkus kain berbentuk mayat, kemudian mereka diperintahkan melihatnya lekat-lekat, sambil didengungkan bagaimana kalau kain berbentuk mayat yang ada dihadapan mereka ada jasat mereka sendiri. Suasana pun kembali dramatis.

“Dalam proses pengakuan doa diruang gelap itu. Tiap peserta melihat hal yang bermacam-macam. Ada mayat ada pula sosok bertulis Allah” kenang Adul. Pasca pengakuan dosa mereka pun dimandikan untuk menyucikan mereka dari dosa yang telah dilakukan. Yang dirasakan Adul pada saat dimandikan dengan cara menunduk itu—ia merasakan ada aura panas yang keluar dari mulutnya. Semacam ada aura panas itu merupakan wujud dosanya yang akan keluar dari tubuhnya. Padahal, tadi saat ia melepas baju, ia sangat merasakan dinginnya Bandung di malam hari. Usai mengganti baju—jelang sahur. Mereka kembali disatukan dalam satu ruangan. Dan diharuskan mengangkat ulil amri sebagai pemimpin mereka selama halaqah. Ulil amri tidak berasal dari peserta, melainkan dari panitia. Penyebutan ulil amri sebagai bagian yang harus dipatuhi sebagaimana menurut ajaran agama Islam yakni Allah, Rasul dan ulil amri. Namun, pada akhir halaqah posisi ulil amri diambil kembali pengangkatannya sebagai pertanda proses halaqah telah selesai. Adul pun kembali bai’at sebagai bagian dari jamaah, serta diberikan amanah agar tidak menceritakan nama, proses kegiatan, panitia halaqah, tempat (kantor) dari jamaah tersebut. Termasuk harus berpuasa setiap hari—bukan puasa Daud yang selang seling itu. Bahkan yang lebih ekstrem seseorang atau golongan diluar jamaah mereka disebut—orang jahiliyah atau belum beragama Islam. Sekalipun, telah sama-sama menyandang gelar ‘muslim’. Barangkali, Adul telah terjerembab dalam sistem jamaah ekslusif dengan misi menegakkan agama—yang sebenarnya juga masih gagu Adul menjelaskannya.

Kini, Adul harus mengalami kebingungan tak bisa ia tahan. Satu sisi ia terikat amanah jamaah, disisi lain ia telah melanggar amanah seorang Takmir Musholla dan kuliah dari kedua orang tuanya. Baginya, kedua hal tersebut adalah hanya untuk kepentingan dia belaka. Bukan untuk kepentingan umat Islam yang hendak ia perjuangkan—melalui perjuangan agama seperti yang telah didoktrinkan jamaah baru ia ikuti. Kampus juga tidak mau kalah cepat—agar apa yang dipahami Adul tidak menyebar kepada mahasiswa lain. Ia pun harus menghadapi sidan bersama pimpinan fakultas. Apalagi, kampus Adul kuliah berada dalam naungan ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Begitu pula, dengan jamaah senior yang kian erat memberikan pengarahan terhadap Adul—agar tidak terlena dengan paham yang sebenarnya baru ia kenal kurang dari sebulan ini. 

Waktu shalat subuh tadi pagi. Adul masih terlihat dalam keadaan bimbang dan kebingungan...

0 comments: