Belada Cinta Seumur Hidup



Mobil merk Kia Visto berwarna silver, yang tumpangi tiga orang anak manusia itu melesat diantara deretan kendaraan Ibu Kota Jakarta. Bunyi klakson terus menderu disana sini. Rasanya, setiap orang sibuk dengan urusannya sendiri, hingga rasa sabar menguap bersama asap knalpot yang terus membumbungi bumi Jakarta. Makanya, tidak mengherankan jika Jakarta menjadi salah satu kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia. 

Barangkali, seakan berbanding lurus dengan tingkat polusi. Masyarakat megapolitan ini, kian seru dalam jurang kompetisi yang kian padat, hingga menyebabkan tergerusnya rasa kemanusiaan dalam tiap diri. Ya! Rasa individualisme diri semakin membengkak, apalagi kompetisi itu berjalan secara tidakadil. Diluar dari dinamika kehidupan anak manusia dan ibu kota. Tanpa tahu dari mana datangnya bising kendaraan jalan padat itu, merambah kedalam mobil yang sedang tumpangi. Gaduh pertengkaran pun tak bisa dihindari.

“Maksudmu apa sih, Ra? Menghidar terus tiap kali aku hubungi” protes Harva sambil menyetir. Ia sudah sedari tadi memuntahkan isi kepalanya terhadap Rara, sejak mobil meninggalkan tempat kursus bahasa Jerman di kawasan Menteng. Seakan ada konflik bathin yang berkecamuk pada diri Harva yang belum terlampiaskan semuanya terhadap Rara—mantan kekasihnya. 

“Kok kamu tanya gitu terus sih, Har?” Jawab Rara ikut meradang. Ia pun merasa kesal dengan beragam tuduan Harva yang menurutnya cenderung mengada-ada.

“Aku tidak suka aja kamu menghindar terus dari aku. Harusnya kalau ada masalah ceritalah baik-baik” Ucap Harva terus memburu alasan Rara, yang enggan menjalin komunikasi lagi dengannya.

Namun, ditengah perdebatan sengit kedua orang tersebut. Hanya Ifa yang sedari tadi berdiam diri dari tadi. Seakan menjadi pendengar perdebatan dua orang sedari tadi bertengkar memengkakkan telinga. Sekalipun jauh di dalam bathinnya ia merasakan kesal yang amat dalam—bercampur dengan rasa cemburu yang begitu sulit untuk dipadamkan. Bagaimana ia tidak cemburu, sebab kini Ifa sudah berpacaran dengan Harva. Mereka sudah berpacaran sejak dari dua bulan yang lalu—selepas Harva dan Rara menyudahi hubungan asmara mereka.

Perempuan mana yang tidak cemburu. Jika laki-laki yang kini menjadi pacarnya, acapkali membirakan sang mantan yang kian sulit untuk dihubungi: telepon tidak diangkat, SMS dan BBM pun tidak direspon. Bukankah dalam sebuah hubungan percintaan, keberadaan orang ketiga hanya akan menjadi duri penghalang sebuah komitmen hubungan percintaan. Barangkali, hal itulah yang menyebabkan Ifa memilih berdiam diri sambil memendam gejolak bathin yang tidak bisa ia tahan sendiri. Sementara mobil kian berjalan mutar-mutar mengelilingi jalan Ibu Kota. 

“Har, tolong tepikan mobilnya” pinta Ifa. Tak berapa lama kemudian Harva pun menepikan mobil. Dan Ifa pun pundah ke kursi belakang untuk duduk bersama Rara. Dengan sigap Harva pun memacu mobilnya kembali.

Suasana dalam mobil pun makin gaduh. Pertengkaran pun tidak saja menjadi milik Harva dan Rara, melainkan juga menjadi pertengkaran Ira. Perselisihan tiga orang ini pun semakin menderu bersamaan dengan deru laju mobil. Maka, tinggallah Rara yang menjadi kucing-kucingan kedua orang yang dulu sempat menjadi teman satu sekolah mereka. Rara dihadapkan pada situasi yang begitu sulit—tak mungkin ia bisa mengalahkan dua orang—yang bisa dibilang sedang menyanderanya. Satu pihak sakit hati terhadap Rara, yang satu lagi cemburu terhadap Rara.

Saking sengitnya pertengkaran tersebut. Harva pun menghentikan mobilnya secara mendadak ditempat sepi. Ia pun membuka pintu belakang dan memukuli Rara sekuat tenaga. Tak ada sisa rasa cinta yang tersisa dalam dirinya, kecuali rasa sakit hati. Baginya, rasa cinta terhadap Rara hanya masa lalu yang tidak perlu dikenang kembali. Begitu pula dengan Rara yang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia seakan pasrah dengan perlakuan kedua orang yang sudah mereka kenal itu. Posisinya diapit ditengah kursi belakang.

Tak ada pertengkaran dan permusuhan yang tidak pernah menelan korban. Rara pun dipaksa menanggalkan seluruh baju yang dikenakannya, hingga tubuhnya pun hanya dibalut oleh selembar celana dalam. Tujuan Harva dan Ifa melakukan hal tersebut agar Rara tidak kabur dari mobil yang mereka tumpangi—sebab ia akan malu, jika Rara memaksakan diri keluar dari mobil, dengan keadaan berpakaian celana dalam saja. Mobil pun kembali berjalan—begitu pula terhadap penyiksaan terhadap Rara. Bahkan Harva ditengah perjalanan menendang leher Rara dengan menggunakan kaki kirinya dan menyetrum tubuhnya. Begitulah dengan Ifa, ia pun juga memukuli, setelah sebelumnya mulut Rara disumpal dengan menggunakan koran bekas.

Drama percintaan segitiga ini pun usai, setelah Rara menghemburkan nafas terakhir. Tepatnya saat mobil memasuki daerah Kemayoran sekitar jam 21.25 WIB. Sentak melihat kejadian tersebut, Harva dan Ifa pun menjadi panik. Hingga mereka pun merasa kebingungan untuk membuang mayat korban tragis hilangnya rasa kemanusiaan mereka itu. Celakanya, mobil yang mereka tumpangi pun harus mogok beberapa kali. Barulah keesokan hanya tepatnya jam 08.00 WIB jenazah Rara pun ditemukan tergeletak dipinggir Jalan Tol Bintara KM 49 Bekasi.

Beberapa bulan berlalu...

Belada cinta segitiga ini pun berakhir dengan penangkapan Harva dan Ira sebagai terdakwa. Bahkan pengadilan menjatuhkan hukuman terhadap keduanya dengan hukuman seumur hidup. Barangkali, mereka tidak menyangka perbuatan sepele—hubungan percintaan mereka membuahkan korban jiwa dan linangan air mata. Kini, Harva dan Ira harus menerima kenyataan: bahwa cinta bukan sekadar rasa sakit hati dan cemburu—tapi, adalah bagaimana menerima kenyataan terpahit, sekalipun tidak seindah dalam lagu dan episode sinetron.

Inilah cerita tragis belada cinta segitiga: belada cinta seumur dihidup.

*Cerpen ini terinspirasi dari kasus cinta segitiga Hafidz, Syifa dan Sara (klik)

0 comments: