Republik Pengamen



Penak’e dhaddi penumpang
Ngombi wedhang ndak ono sing larang
Susahe dhaddi penumpang
BBM mundhak bayare larang
Bayare larang ora ole utang
Penak’e maneng dhaddi wong ayu
Mrena mrene akeh sing rayu
Susahe dadhi wong ora ayu
Bedak’e luntur pacare mlayu
Pacare mlayu kasihan deh kamu
Penak’e maneng dhaddi pak supir
Saban terminal dia pasti mampir
Susahe dhaddi pak supir
Saban dhino nyekele setir

Enaknya jadi penumpang
Minum air tidak ada yang larang
Susahnya jadi penumpang
BBM naik bayarnya mahal
Bayarnya mahal tidak boleh hutang
Enaknya lagi jadi orang cantik
Kesana kemari banyak yang menggoda
Susahnya jadi orang tidak cantik
Bedaknya luntur pacarnya kabur
Pacanya kabur kasihan deh kamu
Enaknya lagi pak supir
Tiap terminal dia pasti mampir
Susahnya jadi pak supir
Tiap hari megangnya setir

Petikan lagu diatas biasanya akan kita temui—jika kita naik bus mini dari terminal Bulu Pitu Purwokerto menuju Banjar atau Tasik. Lagu ini seakan semacam kaset yang diputar secara berulang bagi penumpang yang hendak perjalanan. Saya—sebagai bismania yang terbiasa naik bis untuk pulang atau kembali ke Purwokerto tiap minggu juga terbiasa mendengar lagu ini. Hanya saja, pada hari-hari tertentu seperti hari Jum’at, para pengamen yang rata-rata anak itu mengganti dengan lagu bernada rohani—seperti lagu Opick.

Jika hendak dihitung jumlah pengamen—sejak dari terminal sampai dengan perempatan Tanjung yang jaraknya kurang lebih 6 KM, biasanya sudah ada lima orang pengamen yang telah naik turun bus. Tentu, lagu yang banyak dinyanyikan lagu diatas—yang saya sendiri juga tidak tahu apa judulnya. Apalagi menyanyikannya karena saya sendiri belum fasih berbahasa Jawa Banyumasan yang ngapak tebal itu. Namun, sepemahaman saya menjadi busmania selama delapan bulan terakhir—para pengamen sepanjang perjalanan bus ini hingga Majenang, agak jarang menyanyikan lagu yang bertema percintaan bersyair menye-menye. Mereka lebih sering menyanyikan lagu bertema realitas sosial disekitar mereka, meski terkadang ada pula yang menyanyikan lagu Iwan Fals.

Barangkali, apa yang dilakukan oleh para pengamen khas Purwokerto ini. Nampaknya, tidak sedikit berbeda dengan beberapa pengamen yang pernah saya kenal selama di Jogja—yang sebagian besar bergabung dalam Serikat Pengamen Indonesia (SPI). Meski kini berubah nama menjadi Sebumi. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan cukup apik—bahkan sudah ada bentuk kaset ataupun CD yang biasa kita dengar dengan rileks. Tema lagu pun nyaris bervariasi mulai dunia mereka sendiri sebagai pengamen, politik—hingga sindiran terhadap kaum penguasa. Pada titik ini, tidak ada salahnya memberikan apresiasi terhadap para pengamen. Bahwa apa yang mereka lakukan bukan sekadar mencari uang untuk sebungkus nasi. Melainkan juga berupaya membangunkan kesadaran kita yang nyenyak tertidur, hingga menghilangkan rasa kritis terhadap alam sekitar yang cenderung menimpang.

Nah! Mengubah persepsi negatif terhadap kaum pengamen, yang kadang diidentik dengan dunia preman juga tidak kalah penting. Sebab kini, tidak semua pengamen dalam meminta derma tiap penumpang dilakukan dengan cara memaksa ataupun kekerasan. Artinya, semangat berkarya dikalangan para pengamen jauh lebih dikedepan—sebagaimana terjadi pada Aris Idol, ST12, Tegar Septian yang tiba-tiba mendadak tenar dengan karya-karya mereka. Bisa jadi, profesi sebagai pengamen jalanan adalah proses awal untuk menampilkan karya mereka terhadap semua khalayak luas. Sekalipun tidak semua pengamen berujung dunia tenar keartisan. Selain mengubah persepsi—kehidupan pengamen yang sebagian besar di Jalan dan terminal. Tentu saja, juga keras sebagaimana kerasnya deru knalpot bus kota.

Teruslah berkarya pengamen Indonesia: republik pengamen..


0 comments: