Kapitalisasi Pernikahan


Hakikatnya pernikahan menjadi hal yang sakeral dan hikmat. Bahkan menikah menjadi sebuah fase menapaki perjalanan yang jauh lebih kompleks. Karenanya, agama menyebut fase ini merupakan kesempurnaan dari setengah agama. Sebab dalam ruang pernikahan—kita akan dihadapkan segala bentuk perbedaan baik secara individu, adat, budaya, kebiasaan, pemahaman, pandangan hidup—serta segala yang berbeda. Maka tak heran merupakan muara pernyatuan muara perbedaan.

Kita selalu berharap dengan adanya pernikahan. Hadirnya keluarga sakinah mawadah warahmah menjadi harapan yang terus menyala. Disamping memelihara keturunan yang shaleh dan shalehah. Artinya, pernikahan—bisa menjadi “pertaruhan pilihan” yang senantiasa harus dirawat dan dijaga agar harapan-harapan tersebut dapat terwujud. Nah, pada titik inilah pasangan yang telah menikah harus sama-sama saling belajar supaya geladak rumah selalu mengapung menuju pulau rahmat Ilahi. Sekalipun, cara bahagia dan membagiakan masing pasangan yang menikah selalu memiliki metodenya sendiri.

Namun, apa jadinya: bila sebuah niat dan harapan yang tulus dan suci ini menjadi ladang mencari keuntungan bagi sebagian oknom—dalam hal ini aparat yang memikul amanah pernikahan—KUA. Barangkali, hal ini bukan hal baru untuk bicarakan. Sebab alasan menikah di KUA memang hanya membayar Rp. 30.000—dan lain tarif jika pernikahan dilaksanakan di rumah atau diluar KUA. Biasanya, untuk bulan-bulan antara 450.000-600.000, sedangkan untuk bulan tertentu—misalnya, bulan puasa atau lebaran tarifnya membengkak menjadi 950.000-1 jutaan.

Perbedaan tarif yang berbeda antara menikah di KUA dan di rumah. Pertama, waktu pelaksanaan pernikahan. Menikah di KUA selalu dilaksanakan pada jam kerja—sebagaimana lazimnya kerja seorang PNS yakni Senin-Jumat, sedangkan menikah dirumah lebih sering dilaksanakan pada akhir pekan (weekend). Maka, alasan pelaksanaan diluar jam kerja inilah menyebabkan tarif berbeda, sekalipun selalu dikait-kaitkan dengan transportasi dan honorarium diluar jam kerja. Kedua, tidak adanya anggaran bagi penghulu. Selama ini, penghulu yang melakukan proses pernikahan tidak mendapat anggaran khusus dari pemerintah. Berdasarkan alasan ini, penentuan tarif nikah bisa jadi berubah sesuai dengan kondisi banyak-sedikitnya para mempelai yang hendak menikah (bulan ramai menikah).

Apa yang terjadi di Jawa Timur beberapa saat lalu. Dimana terjadi adanya sidang pemidanaan terhadap salah seorang pejabat KUA—dikarena dianggap menerima gratifikasi (tarif nikah). Bisa jadi benar adanya, sebab tarif yang cukup tinggi itu saja sangat memberatkan—apalagi, ada penyamaan tarif antara pelaksanaan pernikahaan yang skalanya jauh ataupun dekat. Dari sinilah terjadi adu gengsi dan tidak mau ribet—menikah dirumah atau di KUA.

Kini, setelah adanya aturan tentang tarif nikah yang Rp. 600.000 bisa berakibat pada dua faktor. Pertama, memberatkan mempelai yang kurang mampu untuk menikah. Namun, harus diberi alternatif bahwa tarif tersebut hanya bisa berlaku bagi mempelai yang hendak menikah di rumah, bukan di KUA. Kedua, konsistensi penentuan tarif harus berlaku surut. Jika ada oknom KUA yang memungut lebih dari standarasasi aturan tersebut, maka patut dianggap menerima gratifikasi—yang bisa digolongkan pada korupsi.

Barangkali, dengan cara tersebut, anggapan menikah menjadi mahal dan menggelisahkan. Sebab pada hakikatnya—pernikahan merupakan ibadah yang harus didorong sebesar mungkin, tanpa perlu adanya kapitalisasi pernikahan. Apalagi, institusi berlebel agama ini masih saja dianggap sebagai ladang basah—yang bisa jadi dimanfaatkan untuk kepentingan diri.

Tulisan ini, saya tulis karena curhat kegelisahan seorang teman yang merasa keberatan membayar tarif nikahnya kemarin yang mencapai Rp. 950.000.

Menikah itu memerdekakan :)

2 comments:

Subliyanto mengatakan...

Mantab kawan... Selamat membaca catatan harian terbaru saya...

Anonim mengatakan...

Enggi tretan. :))