Pasca partai politik usai mengumandangkan pasangan calon Presiden (Capres)-nya, yang akan diusung dalam Pilpres 2014. Dimana hasilnya hanya mempertemukan dua pasangan Capres: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Aroma persaingan antar pendukung pun semakin kian memanas: saling menjagokan pasangan masing-masing. Yang paling tampak terlihat secara bebas terjadi di media jejaring sosial.
Kehidupan politik—atau pun soal dukung Capres: selalu penuh dengan
ketidakpastian. Seorang kader partai tertentu menarik dukungan terhadap
partai—atau Capres yang diusung Partai hanya karena perbedaan pilihan. Sesama
pengguna jejaring sosial saling dukung terhadap sesama Capres—atau saling hujat
terhadap Capres lain. Masyarakat pun tak mau kalah—persoalan Capres pun tak
cukup dalam diskusi warung Kopi, tapi juga merambah kedalam persoalan domistik
rumah tangga.
Lantas, apa yang kita dapatkan dari keributan dan saling hujat
tersebut. Kalaupun kenyataannya juga tidak ada pasangan Capres yang sempurna.
Jokowi yang dikenal tradisi “blusukan” dan dianggap dekat rakyat kecil pun:
meninggalkan rakyat yang dipimpinnya di Solo atau mungkin juga kalau terpilih
juga akan meninggalkan rakyat Jakarta yang belum genap dua tahun—Ingat!
Indonesia tidak hanya Jakarta. Prabowo juga demikian, tragedi 1998 juga menjadi
salah satu kasus yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Ia juga harus
bertanggung jawab untuk itu—apapun tanggung jawab morilnya, sebab masih banyak
tuntutan dari Jamaah Payung Hitam. Lebih-lebih adanya dagelan tentang kehidupan
pribadinya—siapa istrinya saat ini?. Ataukah ragam sisi kelam kedua calon ini,
hendak disiasati oleh para calon wakil presiden? Ah, baik JK atau Hatta juga
punya sisi negatif dan positif.
Kehidupan politik kita—memang selalu penuh kegaduhan. Namun, apapun
alasannya: saling hujat dan merasa benar sendiri dengan Capres masing-masing: juga
bagian ketidakjujuran. Sebab, cara-cara seperti ini semakin memberikan lubang
besar: kalau tidak politik itu penuh kepentingan. Kepentingan siapa yang harus
diutamakan. Rakyat? Ah, tidak juga. Nyatanya, yang diributkan masih tendensius
terhadap pilihan yang berbeda. Barangkali, rakyat yang menjadi bagian
kelompoknya masing-masing.
Siapapun kita—apa dan siapa pilihan kita. Harusnya memberikan ruang
bebas terhadap perbedaan. Tanpa saling adu jotos siapa yang paling benar. Bisa
jadi, Capres yang dianggap ideal pun juga penuh ragam kekurangan—yang tentu
saja: sama dengan Capres yang dihujad. Sampah-sampah virtual dan visual,
semakin membuat ketegangan sesama pemilih—membuat jurang keharmonisan semakin
jauh. Apalagi, hajatan politik Capres dilaksanakan pada bulan suci Ramadhan. Yang harusnya, tenang dari segala macam kegaduhan: ketidakjujuran, kecurangan, kebohongan, hujatan dan sebagainya. Barangkali, Pemilihan Capres kali iniI—merupakan godaan dan cobaan ditengah bulan suci: cerminan tabiat diri di 11 bulan sebelum dan sesudahnya bulan suci. Inilah tradisi politik kita—yang katanya santun itu..
Kalah atau menang: kita sama-sama punya pilihan yang harus
dipertanggung jawabkan. Tanpa saling mengjuhad dan membuat permusuhan.
Lebih-lebih, merasa paling benar..
0 comments:
Posting Komentar