Dulu dan Sekarang



 miskin bagiku bukan sebuah aib
miski bagiku bukan harus menyerah
karena miskin bukan sebuah dosa
lalu kenapa aku harus pragmatis?

idealis merupakan pilihan
bukan untuk mempertahankan ego
dan bukan juga letupan kata
aku masih punya iman
yang akan membantukku pada jalan kebenaran

pragmatis atau idealis
silahkan kau pilih
 ...
Tulisan diatas saya tulis pada 10 Januari 2009. Saat seorang teman menawarkan untuk menjadi tim sukses partai politik (parpol) tertentu untuk keperluan Pemilukada. Dan jika berhasil akan dilanjutkan untuk persiapan Pemilu tahun 2009 yang akan dilaksanakan pertengahan tahun. Awalnya, saya berpikir meng”iya”kan, apalagi nominal dari proyek tim ini—cukup besar bagi seorang mahasiswa semester akhir. Yang mulai memikirkan mau kemana jika sudah lulus: menjadi manusia yang patuh bekerja—atau pengangguran.
Tiga hari, saya berada dalam kebimbangan. Apakah saya harus mengikuti pikiran saya untuk mengiyakan—ataukah bergabung dengan dalam barisan rahim perjuangan yang mengambil jarak dengan kehidupan politik praktis. Dalam kebimbangan tersebut saya menulis tulisan diatas. Saya pun sisipkan disebelah foto saya yang sudah disamarkan menjadi hitam putih. Kemudian saya jadikan background dalam laptop—dan laptop saya selalu saya biarkan terbuka waktu sedang rapat, sembari menunggu respon sahabat yang tak sengaja melihat gambar dan tulisan tersebut. Namun, ternyata baru pada permuan kedua, foto dan tulisan tersebut mendapat respon tanpa sengaja.
“Gaya bettul fotomu itu?” ledek Leni, sahabat saya,.
“Gaya kenapa e?”
“Ngeri!” Leni makin ketus.
“Belum tau di realitas politik ternyata sampean ini” tambah Cesar, sahabat kami. Yang juga ikut mengintip.
“Ah, Cuma gitu-gitu aja”
Kami pun saling ledek satu sama lain. Tanpa menyadari bahwa apa yang saya lakukan itu merupakan kesengajaan. Mereka menjelaskan kepada saya bahwa: bagaimanapun alasannya, dalam dunia politik selalu menyisakan ruang instrik dan kepentingan diri atau kelompok. Semua berjalan atas kehendak yang tak bisa dipahami secara sederhana dan indah. Sebab, tak selamanya kehidupan politik itu selalu menghadirkan suasana keindahakan dalam ruang teori, yang kadang alam praktik mengalirkan darah, permusuhan, pertikaian—dan ketidakjujuran. Saya pun terheran-heran. Sebab dalam tulisan (diatas) disebelah foto saya tersebut: tidak satupun kata “politik”.
Barangkali, mereka berdua terpaku pada dua kata: pragmatis dan idealis. Yang erat kaitan dengan realitas kehidupan politik. Kedua kata tersebut seakan melekat kuat pada kehidupan mereka yang menyatakan diri sebagai aktivis (mahasiswa). Karena, pada gilirannya: akan tiba sebuah masa dimana dari kedua kata tersebut terjadi godaan dan perselingkuhan. Dan, bukan hendak dianggap sebagai orang yang idealis, saya pun menolak: ajakan teman saya tersebut untuk terlibat sebagai tim sukses Pemilukada—sekaligus (termasuk) untuk Pemilu nasional. Saya menuruti naluri saya: bahwa tindakan semacam ini terlalu dini untuk saya lakukan. Selain, tentu saja masih minim pengalaman. Jadi, semata-mata bukan hanya persoalan uang sebagai “tim sukses” yang selalu sukses.
...
Seakan ada gayung bersambut. Kami dalam rahim perjuangan melakukan aksi demontrasi tolak Pemilu 2009. Sekalipun, tidak sedikit diantara teman kami ada yang menjadi tim sukses—atau tim loyalis “lebih cepat lebih baik”. Bahkan ada kader yang marah dan kurang sepakat—dengan meninggalkan aksi demontrasi, karena tak sesuai dengan pilihannya pribadinya. Tapi, entah mengapa dalam tiap pemilu: semua pro-pasar. Dan cukup sulit mencari calon presiden yang tidak pro-pasar ditengah dunia global yang kapitalistik. Sampai pada tahap yang lebih organisatoris—keluarlah, titah himbauan bahwa rahim perjuangan tidak terlibat dalam politik praktis. Dan tetap konsisten dengan khittah payung besar.
Ah, terlepas dari semua itu. Kini, setelah semua berlalu lima tahun. Ternyata, tak satupun diantara saya dan kelima sahabat terbaik saya, terlibat dalam politik praktis. Secara emosional, kami masih hidup, tanpa harus menjadi tim sukses—atau loyalis parpol yang selalu sukses. Dan mungkin tidak tahu sampai kapan waktunya mendapat giliran: pragmatis atau idealis. Yang tidak saja hadir dalam kehidupan politik—tapi secara luas dalam sendi-sendi kehidupan. Barangkali, kami masih nyenyak dan nyaman sebagai bagian golongan yang dianggap“sok idealis”.
Atas nama apapun. Tindakan kita menganggap diri paling: benar, baik, sempurna, menang, unggul, suci, bersih, idealis, untung, pintar, cakap—dan semua rentetan alibi pembenaran atas diri dan juga golongan, hanya menjadi sampah peradaban dan beban sejarah dimasa yang akan datang. Termasuk atas apa yang saya dan sahabat saya pilih dan dilakukan. Jimat kata “paling” cenderung membenamkan perbedaan, keseimbangan dan keberagaman—yang pada tahap lebih jauh, mengingkari kehendak Tuhan yang Maha Pemberi pada semesta alam.
Semoga, saya—kita, semakin banyak belajar atas atas perjalanan yang telah dilalui..

0 comments: