Beberapa hari
lalu, saya pernah diminta Wulan Tri Rahayu—salah seorang kader IMM Solo, untuk
menulis surat untuk muridnya. Barangkali, tepatnya mantan murid. Disebut mantan
murid karena Wulan Tri Rahayu sudah tidak mengajar dimana murid tersebut
bersekolah. Tugas program mengajarnya telah selesai.
Semua berawal,
saat Wulan Tri Rahayu yang mengikuti program “mengajar ditempat terpencil” di
daerah Flores NTT. Program yang selama ini cukup banyak dilakukan oleh beberapa
kampus. Nampaknya, perjumpaan Wulan Tri Rahayu dengan Gabriel Polsenti Gali
atau lebih sering dipanggil Andi, bukan karena pertemuan yang kebetulan. Sebab
jika mendengar perhatian Wulan Tri Rahayu terhadap mantan muridnya itu. Seakan
menautkan bathin perasaan seorang guru terhadap masa depan muridnya—yang harus
lelap dalam emosi sesaat seorang anak muda.
Barangkali,
ajakan menulis surat oleh Wulan Tri Rahayu. Bukan hanya dilakukan kepada saya.
Melainkan juga bisa pada temannya yang lain. Ia hanya ingin mengajak sebanyak
mungkin supporter surat agar bisa menjadi kekuatan—yang mampu
mengungatkan pembacanya. Yang kemudian melepaskan selimut emosi khas anak muda.
Dan secepat mungkin merengkuh impian yang henda diraihnya. Barangkali, dari
sinilah posisi jiwa seorang guru bukan sekedar seorang pengajar, melainkan
sebagai pendidik—jiwa yang mampu memahaminya perasaan, keadaan dan pribadi
seorang peserta didik.
Sengaja, saya
memposting surat saya ini, agar semakin
banyak orang yang ingin berbagi surat terhadap Wulan Tri Rahayu—yang kemudian
ia bisa kirim pada muridnya Gabriel Polsenti Gali.
—*—
: Untuk Gabriel Polsenti Gali (Andi)
Pertama kali
mendengar cerita tentang Andi. Saya mengetahuinya dari gurumu Wulan Tri Rahayu via chat Facebook dan kiriman SMS. Dua orang
yang sebenarnya tidak benar-benar saya kenal akrab. Andi hanya cerita yang saya
dengar dari seorang guru yang peduli terhadap muridnya. Wulan Tri Rahayu adalah kader Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah
(IMM) yang pernah menjadi peserta training perkaderan IMM 3 tahun lalu, yang
pernah saya kelola bersama teman-teman.
Dari sudut
inilah, kita punya cerita sendiri-sendiri. Kenangan yang barangkali tidak bisa
dilepaskan hanya dengan sekedar lambaian tangan perpisahan. Nampaknya, “ikatan
emosional” cenderung lebih menjadi pemandu agar puzzle ingatan yang berserakan untuk bisa kita kumpulkan. Dan kita
timbang-timbang, mana saja yang membuat kita tersenyum, marah, menangis atau
bahkan jatuh cinta. Ikatan emosional inilah, yang mengantarkan mengapa surat
ini saya tulis untuk Andi—saya tidak mengenalmu, kamu tidak mengenal saya: kita
sama-sama tidak saling mengenal.
Percayakah
kita, Andi. Kalau ikatan emosional itu tidak perlu saling bersalam muka. Sebab
ikatan emosional itu dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah dari Tuhan.
Ia terikat dalam bentuk perasaan, jiwa dan hati. Sama halnya, jika kita
mengidolakan Shahrukh Khan, atau bahkan Lionel Messi. Yang kemudian kita
paksakan diri untuk mengenalnya lebih dekat—meski, pada hakikatnya: kita
sama-sama tidak saling kenal. Cerita gurumu Wulan Tri Rahayu , benar-benar
membuka alam perasaan, jiwa dan hati saya untuk bisa mengenalmu. Meraba seluk
beluk sudut wajahmu, hingga saya pun berkesimpulan—bahwa saya telah mengenal
sosok Gabriel Polsenti Gali alias Andi.
Andi yang
baik,
Waktu Wulan
Tri Rahayu menceritakan bahwa Andi
pemarah, gampang tersinggung, sensitif dan jarang masuk sekolah karena malas.
Saya pun memaklumi. Karena, saya juga pernah melakukan hal sama, seperti yang
telah kamu lakukan. Saya lebih suka menyebut masa itu sebagai tahap mencari
“pengakuan”. Ntah, untuk mencari pengakuan sebagai laki-laki hebat, memikat
hati perempuan atau pelampiasan atas kejadian—yang tidak sesuai dengan harapan
dan pikiran. Tapi, jika sekarang disaat usia yang sudah menginjak 27 tahun.
Saya pun malu untuk mengingat masa-masa itu. Sebab telah banyak waktu dan kesempatan
telah saya buang dengan percuma. Tentu, saya berharap tidak mengalami hal yang
sama dengan apa yang saya rasakan. Sungguh, itu hanya menyebakan penyelesalan
dikemudian hari.
Andi masih
punya banyak waktu dan kesempatan. Untuk merancang dan mewujudkan cita-cita
menjadi seorang polisi. Impian yang barangkali “tidak” bisa terwujud oleh
seorang pemarah, gampang tersinggung, sensitif dan jarang masuk sekolah karena
malas. Kehidupan seorang polisi itu—kehidupan orang disiplin. Disiplin siap
bertugas dalam lingkungan dan situasi apa pun. Dan tentu saja itu bukan tanpa
persiapan jauh-jauh hari. Karenanya, menjadi polisi selalu masuk daftar
cita-cita anak seusiamu. Tak perlu kamu contoh jika masih polisi yang
biasa-biasa saja—atau bahkan hanya jadi tukang palak ditiap kesempatan
pelanggaran.
Jadilah, polisi
yang berwibawa, tanpa ditakuti banyak orang. Polisi yang bisa menjadi pelayan
kebaikan bagi masyarakat. Polisi berjiwa malaikat, yang memberi damai: tak
hanya pada institusi, tapi pada keluarga dan masyarakat. Barangkali, itulah
mengapa kedua orang tuamu memberi nama “Gabriel” didepan namamu. Gabriel adalah
nama seorang Nabi—atau tangan kanan Tuhan, yang menyampaikan pesan kebaikan
pada umat manusia. Apa yang ada dalam dirimu, ada sebuah harapan dan doa banyak
orang—tak terkecuali, keluarga dan gurumu.
Bisa saja,
kamu menganggap gurumu—Wulan Tri Rahayu . Yang hanya mengajar dalam hitungan
bulan itu, tidak pernah memikirkan dan tidak peduli terhadapmu. Tapi, dari apa
yang ia ceritakan kepada saya. Sungguh, ia begitu memiliki ikatan emosional
terhadapmu—dan juga pada teman sekelasmu. Dan pada lazimnya, seorang guru. Ia
selalu memiliki aktor murid, yang selalu merayap dalam pikiran dan jiwanya.
Lebih-lebih pada mereka yang gampang, gampang tersinggung, sensitif dan jarang
masuk sekolah karena malas. Kriteria yang mengarah pada sosok seorang Andi. Ya! hanya kamu yang membuat sosok Wulan
Tri Rahayu , harus mencari banyak cara untuk membangunkan alam sadarmu—bahwa
ada hal positi yang bisa kamu kerjakan untuk meraih cita-citamu: sebagai
seorang polisi.
Sebagai
seorang guru, Wulan Tri Rahayu, sangat care
terhadapmu. Baginya, Andi tetaplah seorang “Gabriel”, sosok malaikat bertabur
doa dan berani melawan kemalasan dalam dirinya—sebab dalam dirimu ada harapan
dan doa banyak orang, yang menanti kehadiran Andi sebagai anak baik dan berhati
malaikat. Jika, saya harus menembang lagu. Barangkali, lagu “Malaikat Juga Tahu” yang dicipta dan populerkan
Dewi Lestari (Dee) ini yang bisa menggambarkan harapan dari seorang guru Wulan
Tri Rahayu . Ini aku petik lengkap lirik lagunya :
Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku juga
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati
Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang
nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik
sendiri
Karena kau tak lihat terkadang
malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak
rupawan
Namun kasih ini silahkan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang
jadi juaranya
Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian
Tetapi kesempatan untukku yang
mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Kupercaya diri
Cintaku yang sejati
Namun tak kau lihat terkadang
malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak
rupawan
Namun kasih ini silahkan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang
jadi juaranya
Kau selalu meminta terus kutemani
Engkau selalu bercanda andai
wajahku diganti
Relakan ku pergi
Karena tak sanggup sendiri
Namun tak kau lihat terkadang
malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak
rupawan
Namun kasih ini silahkan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang
jadi juaranya
Andi yang
berani,
Dari segala
bentuk kelemahanmu diatas itu. Gurumu Wulan Tri Rahayu , juga menceritakan
bahwa untuk bisa sampai ke sekolah, kamu harus berjalan kaki kurang lebih
sepanjang 3 kilometer. Jarak yang tidak dekat, bagi orang seperti saya yang
sudah terbiasa disuguhkan angkutan ditiap persimpangan jalan. Selain, itu kamu
juga selalu berani untuk mengerjakan soal dihadapan kelas—meski, tidak semua
jawabanmu selalu benar. Dan berbagai rentetan kelebihan dan kemampuan yang kamu
miliki, hingga saya pun berkesimpulan—kelemahanmu diatas itu, hanya hal sepele.
Andi punya
kemampuan bisa berjuang dan keberanian. Barangkali, itu modal yang tidak mudah
diperoleh dalam masyarakat perkotaan yang serba materialistik dan instans. Kamu
hanya perlu memupuk kedua hal itu, untuk kemudian bisa kamu gunakan mengejar
masa depan dan cita-cita menjadi polisi—yang tentunya berhati malaikat.
Terkadang, melawan diri (nafsu) dalam diri itu tidaklah gampang. Sebab, selalu
yang hadir hanyalah kompromi-kompromi yang justru menjatuhkan diri pada jurang
kegagalan yang direncanakan.
Apapun yang
kita lakukan, kita sendiri yang harus pertanggung jawabkan. Apapun perubahan
yang hendak kita rencanakan, kita sendiri pula yang harus melakukannya, bukan
orang lain. Dan apapun yang kita cita-citakan, kita sendiri yang bermimpi dan mewujudkannya:
seperti kata seorang pemikir muslim ternama, Abdul Karam Sorosh “wahai anakku, janganlah kamu takut bermimpi
(cita-cita). Sebab, mimpimu kelak akan mengantarkanmu pada masa depan”. Itu
kuncinya, Andi.
Sebelum saya
mengakhiri surat ini. Gurumu, Wulan Tri Rahayu . Menaruh harapan besar
terhadapmu dan masa depanmu. Harapan yang saat ini, hanya bisa ia lakukan
dengan mengajak orang yang dikenalnya, untuk menulis surat “harapan” kepada
seorang Gabriel Polsenti Gali dari jarak ribuan kilometer. Hal tersebut, semata-mata
ia lakukan untuk perubahan sikap lebih baik, bersamangat berjuang dan terus memupuk
keberanian seorang aktor murid pengganggu alam pikiran dan jiwa—seorang guru. Wulan
Tri Rahayu, hanya ingin melihat “sosok malaikat” Gabriel Polsenti Gali sukses
dengan cita-cita yang mulia.
—Percayalah!
harapan gurumu bukan hal yang sia-sia.
Salam hangat,
Makhrus
Ahmadi
0 comments:
Posting Komentar