Bencana



Zivara, 

Nyaris setengah hari ini, 18 Januari 2014, berita di TV One—menyoroti habis-habisan mengenai banjir Jakarta tanpa henti. Seakan memberikan potret suram bahwa Jakarta akan segera tenggelam. Hingga malam ini, sudah ada 14 titik rawan banjir ditayangkan dan ditanyakan secara berulang-ulang. Hingga mengalahkan pemberitaan untuk banjir bandang di Manado yang sudah menelan 20 orang (data BNPB), ribuan pengungsi letusan gunung Sinabung dan beberapa daerah lain yang mengalami bencana yang sama. Bahkan berita kasus korupsi yang beberapa hari—belakangan menjadi headline berita: tiba-tiba raib, entah kemana.

Aku tidak mengatakan ada apa—dibalik semua pemberitaan ini. Sebab hal itu juga dilakukan oleh stasiun televisi lain: meski, tidak segetol TV One. Aku hanya mencurigainya, itu saja. Tidak lebih. Seakan banjir yang mengepung Jakarta menjadi bencana nasional, yang harus di khawatirkan semua umat manusia negeri ini. Kemana para koruptor, orang kaya, para birokrat, politisi, para pebisnis kaya, lembaga donor—yang semua itu berada di Jakarta? Harusnya, tanpa media berita harus membacakan “para pengungsi sangat membutuhkan bantuan selimut, air bersih, makanan.. dan sebagainya..” mereka sudah bisa bertindak.

Iya! Jakarta jadi barometer untuk daerah lain. Tapi, Indonesia itu "bukan" Jakarta, Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Artinya, semua penanganan bencana haruslah merata di semua daerah negeri ini: tanpa perlu ada tendensi kedaerahan: kota metropolik atau udik. Tak hanya penanganan bencana—tapi, juga aspek lain seperti infrastruktur, akses ekonomi, pengembangan teknologi dan sebagainya.

Sungguh, aku sebagai bagian dari masyarakat: yang tidak tinggal di ibu kota Jakarta pasti bertanya-tanya, dengan kondiri ini?

Zivara. Barangkali, ada benarnya juga. Bencana masih belum mau beranjak dari negeri ini. Mulai dari bencana alam, bencana

tindakan, bencana pikiran—hingga bencana kepercayaan. Semua akan menemukan derivasinya sendiri: penuh dengan beragam bentuk, yang kadangkala menjadi sulit untuk dimengerti. Apalagi, dalam hitungan bulan kedepan seakan keempat bencana tersebut berkumpul menjadi satu—yakni, bencana politik pemilu.

Ya! aku lebih suka menyebut pemilu lima tahunan itu sebagai bencana. Demokrasi prosedural yang selama ini dikeluhkan banyak orang juga menelan biaya yang tidak sedikit. Tak hanya oleh mereka yang ingin bertarung merebutkan kekuasaan. Tapi, bagi para penyelenggara negara yang harus megalokasikan dana triliunan rupiah itu. Tinggalkan saja semua itu. Sebab yang akan tampak dari bencana alam, tindakan, pikiran dan kepercayaan itu—bisa kita saksikan disekeliling kita dimana partai politik sama-sama saling mencari simpati, dengan topeng palsunya masing-masing: tidak terkecuali mempolitisasi kehadiran bencana. Itulah bencana politik yang barangkali juga tidak bisa kita hindari..

Ibarat kehidupan, bencana akan selalu hadir dimana pun dan kapanpun waktunya—tanpa disangka. Alam seakan ingin memarahi kita: para penghuninya, yang sudah mulai tidak ramah dengannnya. Disamping beban dusta atas karunia penguasa alam semesta. Tepatnya, semua ini bisa dibilang hukum sebab-akibat: atas segala tindakan yang telah kita lakukan. Dan pesan untuk segera berbenah diri..

0 comments: