Belakangan, kian marak politisi menulis buku bergenre autobiografi. Salah satunya, Anas Urbaningrus "Tumbal Politik Cikeas", Budiman Sudjatmiko "Anak-Anak Revolusi", SBY "Selalu Ada Pilihan", Sutan Bhatoegana "Ngeri-Ngeri Sedap Menggoyang Senayan" dan lainnya. Saya kira, diluar motif penulisannya: hal seperti ini jauh menarik dan produktif ketimbang berkelahi silang pendapat di media yang kadang membingungkan. Namun, yang paling penting adalah mendorong sebanyak mungkin para penulis—dalam bentuk genre apa pun, tanpa harus memikirkan menjadi "politisi" dan "terkenal" untuk menulis. Apalagi, minat baca dan budaya menulis di negeri ini masih cukup minim, dan tertinggal dari negara yang barangkali tidak membaca surat Al Alaq.
Membaca masih belum menjadi kebutuhan mendasar bagi saya dan kita—dinegeri ini. Sebab kebutuhan atas penampilan masih menjadi hal utama. Terlebih, bacaan instans melalui internet dalam mengerjakan tugas kuliah, sekolah ataupun kebutuhan riset—masih jadi rujukan mendasar untuk jadi refensi. Bukan lagi buku atau jurnal yang lebih bersifat ilmiah. Tapi, setidaknya dilain hari—kita lebih bijak dalam memberi ruang bagi mereka yang menulis.
Bagi mereka yang menjadi penulis: Yah! biar pada akhirnya, pasar pula menentukan harga karya itu bisa menghidupi para kuli tintanya atau tidak. Tapi, saya percaya tidak semua penulis hanya mementingkan royalti dari apa yang ditulisnya: sebab, setiap tulisan selalu punya nyawa untuk menemukan pembacanya sendiri.
Selamat baca buku ;))
0 comments:
Posting Komentar