Sabtu pagi, 19 Oktober 2013 jam 07.00
Jalan Nologaten beranjak mulai sibuk. Seakan tidak mau kalah sibuk dengan
suasana malam yang sesak dengan anak muda—yang hendak kongkow di deretan caffe disepanjang jalan ini. Saya pun sudah
terparkir di depan rumah warna cokelat berlantai dua. Rumah yang bertetanggaan
dengan Makam Nologaten.
Usai saya mengucap salam dan dijawab dari
dalam ruang tamu. Keluarlah seorang laki-laki tinggi, sedikit kurus,
berkacamata tebal dan masih bersarung. Usianya juga tidak bisa dibilang masih
muda karena rambutnya mulai disesaki uban. Dialah Prof. Dr. H. Amir Mu’allim,
MIS. Sosok yang dalam benak saya selalu bilang— facenya mirip Ali Syariati.
“Mari, silahkan masuk” ajak Prof. Amir
“Iya, Prof. Makasih” saya pun ngiyem
mengikuti ajakan si tuan rumah.
Seakan sudah mengetahui maksud kedatangan
saya. Prof. Amir memperlihatkan contoh Desertasi yang baru dijelajahinya sejak
selesai shalat subuh. Lewat Desertasi tersebut, diperlihatkanlah kepada saya
tentang beberapa cara teknik penulisan ilmiah, format meneliti, cara menerapkan
teori dalam penelitian—hingga cara berfikir. Dan sesekali Prof. Amir menceritakan
tentang hasil perjalanan seminarnya dari Malaysia dua hari lalu. Menyadari saya
bukan hendak ingin konsultasi Desertasi. Saya pun dengan sigap menyodorkan
proposal Tesis saya yang baru direvisi setelah ujian proposal seminggu yang
lalu.
Prof. Amir pun membaca proposal tesis
saya. Mirip seperti dokter yang sedang memeriksa pasien, dibalak balik ditiap
halaman sambil memberikan coretan kecil sebagai catatan. Dan selang seperempat
jam kemudian, Prof. Amir memberikan resep.
“Selesaikan semuanya, Mas. Biar banyak
sekalian revisinya” resep Prof. Amir.
“Iya, Prof.” jawab saya, yang cukup kaget
dengan resep Prof. Amir. Namun, setidaknya ini adalah alarm agar saya lebih
cepat menyelesaikan pekerjaan yang sudah mangkrak selama tiga bulan ini—hanya untuk
menunggu sidang proposal.
Resep itu pun saya gunakan untuk
menyelesaikan Tesis saya tentang “Filantropi
Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat di DIY”. Judul yang lebih banyak
dipengaruhi oleh pertanyaan Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, MA., Ph.D. mengenai spealisasi
keilmuan apa yang hendak didalami untuk basis “kompetensi”sebagai seorang
akademisi. Dan waktu itu saya menjawab “filantropi Islam” disebabkan
keterlibatan saya di salah satu lembaga kedermawanan Islam di Yogyakarta.
Sepanjang penyusunan kerangka teori. Jujur
saja saya sedikit banyak mengalami kesulitan dalam menemukan jawaban tentang
istilah “filantropi”, yang secara terminologi tidak dikenal di awal Islam,
dikarenakan berasal dari bahasa Yunani. Meski, ada beberapa akademisi yang
memberikan benang merah termenologi “padanan” kedalam konsep shadaqah. Dan aplikatif kelembagaannya
termanifestasi pada lembaga zakat, infak dan
shadaqah. Tentu saja, adanya
perbedaan pandangan terminologis ini juga tidak bisa dihindari: sebagai
konsekuensi metodologi yang dipakai—normatif atau positif. Nah, dalam kaitan aplikasinya, perbedaan termonologis tersebut
senantiasa jauh lebih akrab: dan bersandingan satu sama lain.
“Kadang bahasa menyebabkan paradigma dan
gerakan yang berbeda. Sama halnya ketika menyebut orang menyebut liberal: akan
menyebabkan paradigma yang berbeda dalam banyak pihak” saran Prof. Amir terkait
konsultasi tentang kesulitan saya tersebut. Selain, masalah teori. Persoalan
yang sering dihadapi peneliti adalah persoalan data—yang kadang membutuhkan
waktu yang tidak sebentar.
“Maaf nih, Prof. Kalau boleh tahu
spealisasinya Prof. Amir dalam bidang apa ya, Prof.” tanya saya iseng pada
Prof. Amir dibimbingan saya yang kedua. Meski, saya menyadari beliau banyak
paham tentang ushul fiqh dan hukum
Islam.
“Saya maunya dibidang apa saja. Rasulullah
itu kan ilmunya diberbagai bidang.
Jadi semakin banyak yang kita tahu, semakin banyak yang kita perbuat. Oh, Iya.
Sebaiknya, teori itu dalam penulisan ilmiah, jangan sampai lebih banyak
ketimbang hasil penelitian dan analisanya. Sebab inti dari penelitian itu bukan
teori yang dipakai, tapi hasil penelitiannya” ujar Prof. Amir
“Penulisan ilmiah itu ibarat orang hamil.
Yang besar itu bukan dikepalanya: teorinya. Tapi, diperutnya yang nantinya bisa
memberikan hasil. Teori itu penting selagi dibutuhkan dalam penelitian yang
hendak saudara lakukan. Jadi perbanyak analisanya” imbuh Prof Amir.
Saya pun mengikuti saran filosofis Prof.
Amir hingga Tesis saya selesai. Dalam bimbingan yang ketiga tanggal 10 Desember
2013 Prof. Amir tidak terlalu memberi catatan. Dan cenderung memberikan catatan
pada ornament di bagian pengantar. Apalagi, hari ini pendaftaran terakhir
Tesis. Saya pun berpacu dengan waktu.
Dan..
20 Desember 2013, saya pun dan Taufik.
Yang hanya dua orang diangkatan kami yang ikut pendadaran Tesis
Desember—sama-sama dapat nilai “ A- “.
Nilai yang barangkali lebih banyak diterima diangkatan kami. Terima kasih
banyak Prof Amir atas bimbingan Tesis dan pandangan filosofisnya. Sayang
sekali, di pendadaran kemarin tidak sempat diambil gambarnya. Mungkin dilain
waktu ;))
***
Ah! Barangkali ada benarnya—perebutan gelar “manusia beken” itu, selalu
menyisakan perpisahan. Dan perpisahan selalu punya memori, sikap dan
perasaannya sendiri. Tak akan ada lagi diskusi panjang mazhab keagamaan, saling
pinjam buku, online dalam kelas—atau
ramai-ramai menyedu kopi di pengajaran.
Untuk : Taufik, Febri, Danu, Sofyan,
Fatih, Fahmi, Tri, Canchu, Kamal, Pak Imam, Pak Riyanto, Pak Erlan, Pak Sumadi,
Pak Jaeni dan tiga srikandi Mega, Ririn, Pipit. Pada titik ini kita harus
memilih jalan kita sendiri—lulus cepat atau lambat. Seperti halnya mau ekonomi
Islam atau ekonomi Pancasila. Ah, masa
iya. He!
Titip salam dan maaf, untuk saudara
seperguruan saya—Ustadz Mahmoud: kadang-kadang perkenalan intim itu harus
mengalami dialektika dan perasaannya sendiri, Ustadz. He! Jika suatu hari nanti, kita saling lupa satu sama lain cukup
ingat saja: gonjangan kelas Drs. Yusdani, MA. –atau delapan kali seduhan kopi
di pengajaran. Kedua hal itu cukup untuk mengumpulkan puzzle-puzzle ingatan kita yang berserakan.
Selamat berkarya dan sukses selalu kawan..
0 comments:
Posting Komentar