Dolly



Adik sepupuku masih enggan untuk segera pulang. Padahal kopi susu yang telah kami pesan sedari tadi telah mengering bersamaan dengan perginya Bella. Secangkir kopi di lokasisasi Dolly dan Bella seperti dua sisi yang saling menjelaskan satu sama lain. Dari keduanya terdapat kekuatan tarik menarik—wadah dan keinginan.

Sejam kemudian, sepupuku yang bengal itu, mengajakku untuk mengelilingi kawasan Dolly dengan berjalan kaki. Deretan anak perempuan seksi—dan lebih mirip hanya berpakaian dalam itu, tengah asyik mengobrol satu sama lain dalam etalase kaca, yang di cat seperempat badan. Mereka menunggu pesanan para pelanggan yang bisa memilihnya dari luar etalase—seperti kita hendak membeli pakaian sebuah toko: bisa melihat terlebih dahulu, diseleksi dan jika sesuai selera alias cocok kita bisa membayar kemudian memakainya. Ah! barangkali beginilah eksploitasi nafsu itu dimuarakan dalam transaksi komoditas jual-beli.

Aku benar-benar tidak tahu, yang mana saja yang bekerja di tempat ini—dalam keadaan terpaksa, dijual, akibat kebutuhan atau bahkan seleranya sendiri. Begitu pula dengan para pelanggan yang notabene kaum lelaki: yang hanya mau bermain, bertransaksi, cari hiburan, cari nafkah—atau hanya sekedar ingin tahu, seperti yang aku alami. Percayalah! Menghapus praktek bisnis satir nafsu tertua anak manusia ini, tidaklah begitu mudah hanya dengan cara kebijakan “pukul-bubar”. Ada banyak manusia yang menggantungkan penghasilannya dari tempat ini. Hanya rasa heran yang menggelantungi pikiranku.

Adik sepupuku menunjukkan rumah borbir yang berasal dari daerah yang berbeda. Maksudnya, para penghuninya berasal dari daerah yang berbeda. Sebab tiap rumah bordir memiliki kelebihannya sendiri dalam menggaet para pelanggan.

“Biasanya yang dicari yang muda-muda” ucap sepupuku

“Maksudnya?”

“Yang masih perawan atau yang masih barulah. Para Mami (Germo) biasanya memberi tarif tinggi kalau ada barang baru”

Loh, kok dibilang barang?” protesku

“Mau dibilang apa lagi. Sudah biasa PSK disini dibilang barang kalau ada adanya mau pesan”

“Kamu pesan juga juga ya?”

Ah! Kalau aku belum pernah, ngapain aku berani nunjukin itu sama kamu. Itu hanya masa lalu. Masih nakal-nakalnya aku disini”

Deg! Pantas saja adik sepupu yang hanya berjarak tidak jauh usianya itu denganku ternyata: punya sisi lain dengan tempat ini. Ia pun makin sesumbar menceritakan semua pengalamannya, yang sempat beberapa kali bertransaksi di kawasan Jarak ini. Kehidupannya sebagai pekerja di lembaga jasa keuangan—yang tidak jauh dari lokalisasi ini, membuatnya tak bisa menghindari interaksi dengan para Mami dan penghuni rumah bordir.

Beranjak pagi, aku pun diajak meninggalkan kawasan Dolly. Dan malah mengajakku ke salah satu karaoke dangdut tak jauh dari terminal Purabaya. Aku pun diperkenalkan pada salah pekerja yang sudah tidak lagi bekerja di Dolly, karena usianya yang tak lagi muda. Usia baginya kadang menentukan jumlah pelanggan. Ah! Makin pusing kepalaku dengan pengalaman kelam saudara sepupuku ini. Kami tidak lama disana—sebab aku sudah mengantuk, apalagi sebentar lagi menjelang subuh.

“Kehidupan di kota besar itu banyak tantangannya. Baik di Jakarta, Surabaya atau di Jogja. Bukan hanya perilakunya yang berubah. Tapi, juga pikirannya yang berubah. Aku sudah pernah melakukan keduanya itu” keluh saudara sepupuku itu waktu kami dalam perjalanan pulang diatas motor. Nada bicaranya tersirat ia sudah hendak insyaf.

“Terus, gimana sekarang”

“Aku sudah taubat, kapok! Tutup saja Dolly itu, kalau memang ada solusi sama orang-orang yang disitu” ucap sepupuku.

“Kenapa taubat? Bukannya senang-senang itu sudah jadi kesukaanmu dari dulu. Hehe”

“Asemm.. Tidak semua kesenangan sesaat itu membahagiakan. Karena, pada hari berikutnya kita akan terbayangi jalan pintas untuk kebahagiaan sesaat itu. Aku tidak mau anakku nanti, menuruni perangai burukku itu. Tunanganku yang membuatku berubah begini. Pokoknya, aku mau taubat. Titik!” pungkas saudara sepupuku ini. Aku tidak menanyakan apa yang menjadi alasannya. Yang aku tahu sebentar lagi ia akan menikah beberapa bulan lagi.

3 tahun berlalu.. Saat ini, sudah ada kabar dari Pemkot Surabaya yang ingin menjadikan Dolly sebagai ruang terbuka sehat. Dolly sudah positif ingin dibubarkan. Entahlah, bagaimana cara kerja kebijakan untuk menyelamatkan para pekerja dan penyangga bisnis protitusi terbesar di Asia Tenggara itu. Tapi, semoga kebijakan itu, benar-benar solusi yang tepat. Dan bukan menyebarkan para pekerja bordir pada daerah penunjang disekitarnya..

Sumber gambar (klik)

0 comments: