Zivara



To : notitle
subject : balasan  


Maaf, aku baru bisa membaca emailmu. Sekalipun, aku pun butuh beberapa kali membacanya agar aku bisa membalasnya. Jujur saja, membalas tulisanmu ini seperti membuatku jadi siswa yang lagi ujian. Harus membaca pertanyaan berulang-ulang untuk menjawab dengan benar. Meski terkadang ada bagian yang salah. Jadi, bukan sekedar membaca dan membalas—tapi, aku harus membawa alam pikiranku: pada memori saat-saat kebersamaan kita selama ini. Apakah kamu akan memulainya dari sana. Ntah, aku sendiri tidak tahu. Berceritalah saja, sayangku.

Mungkin ada baiknya kamu bercerita—sebab, menulis namaku saja pun kamu salah. Namaku itu “Zivara” bukan “Zifara”, bukankah emailku pun juga bertulis demikian. Ah! Lagi-lagi aku tidak bisa memarahimu yang cenderung pelupa. Barangkali, dengan bercerita: kamu bisa menyusun puzzle ingatan yang selama ini sudah berserakan di alam pikiranmu. Meski aku lebih suka kamu bercerita disampingku. 

Ah! Lagi-lagi, ini soal soal sikap romantisme tentang sebuah cerita, bukan? Sebab cerita lewat tulisan selalu menemukan getarannya diri, ritme emosianalnya sendiri dan juga nafas jauh lebih panjang. Itu sebabnya cerita bukan sekedar dongeng anak-anak yang menghibur. Ia lebih hidup, lebih nyata, lebih dekat—dan tentunya lebih romantis dimasa setelahnya. 

Barangkali, saat ini kebanyakan orang lebih banyak berdongeng ketimbang bercerita. Berfantasi dengan hal sebenarnya lebih tepat ku sebuat sebagai “ngelindur”, akibat ketidakbenaran dan dusta yang dibual. Hal itu tampak nyata lewat pembelaan diri untuk mencari pembenaran atas sikap yang salah. Tapi, cerita meski bagian dari diksi dongeng, setidaknya ia masih berbaju tutur menghamparkan mengenai terjadinya peristiwa, perbuatan dan pengalaman. Sekalipun ada yang sungguhan dan rekaan belaka. Dan sudahlah, tak penting kita ributkan terminologi itu—ajaklah, sebanyak orang bercerita tentang diri, dia dan mereka. 

… mari bercerita untuk semuanya: tentang aku, kamu, kita dan mereka. Bercerita membuat kita jauh lebih reflektif.   

Send

Cerita lainnya (Klik)

0 comments: