Sang surya telah bersinar
Syahadat dua melingkar
Warna yang hijau berseri
Membuatku rela hati
….
Lirik lagu “Sang Surya” atau hymne
Muhammadiyah. Kadang membuat orang terdecak kagum, untuk menyanyikannya. Hymne
yang selalu, menggema dalam tiap rangkaian acara Muhammadiyah. Tidak jarang,
saya dan teman-teman: kerap merinding menyanyikannya. Bukan karena ada rasa takut.
Tapi, seperti ada dorongan misteri. Yang membawa jiwa untuk mengangkat bulu
halus. Mempendarkan daun telinga ketas. Dan memburamkan kaca bola mata: haru!.
Hal menarik, sesungguhya. Bukan terletak
pada deret bait hymne itu sendiri. Tapi, pada pengkhayatan, diri dalam membawa
jiwa perjuangan Muhammadiyah. Barangkali, akan menjadi bunyi yang biasa. Bagi
mereka yang biasa mendengar—atau mereka yang baru pertama kali mendengar. Tak
membawa jiwanya: untuk mendalami yang sebenarnya. Bait hymne lagu “Sang Surya”
ibarat mantra. Yang melahirkan sejuta khayal misteri. Tentang sebuah keadaan
diri, jiwa dan perjuangan. Yang sudah diperbuat oleh tiap orang: untuk
mentasbihkan diri. Sebagai bagian dari anggota atau kader—Muhammadiyah.
Saya hanya ingin membawa hymne Muhammadiyah:
Sang Surya. Kepada dua jalur, yang menurut saya. Penting untuk dibicarakan.
Mengapa? Karena, dalam sebait lagu. Tiap orang jiwanya terbang—kedalam ragam
dunia dan gerakannya sendiri.
Jalur pertama. Beberapa hari yang lalu—tepatnya,
hari Minggu. Saya mampir ke Alun-Alun Majenang Cilacap. Disana ada sekumpulan
lansia. Yang sedang mengadakan senam “Sang Surya”. Irama dan gerakannya seperti
gerakan yoga—maupun Tai Chi. Yang banyak ditayangkan di televisi, maupun di
film-film. Dalam tiap untaian gerakan. Jiwa dan mata yang terpejam. Dituntun
oleh bunyi hymne Muhammadiyah tanpa vocal suara nyanyian. Uniknya, pelaksanaan
senam tersebut. Baru dimulai setelah diadakan pengajian: yang pematerinya,
diambil dari tokoh maupun ormas—NU dan Muhammadiyah. Dengan kata lain, Sang
Surya. Tidak selamanya terjatuh pada ruang formal yang menjemukan. Dan minim
khayat perjuangan.
Jalur kedua. Saat ini, saya sedang tahap
akhir menyelesaikan novel—yang mengambil lahar belakang, Muhammadiyah di
kampung halaman saya—Madura. Ya!
Muhammadiyah di Madura. Sebab, dalam beberapa pertemuan keberadaan Muhammadiyah
di Madura. Masih dipandang fenomina baru—padahal sebenarnya, Muhammadiyah sudah
masuk ke Madura tahun 1927. Lewat tokoh fenomenal Madura: seperti, Raden Musaid
Werdisastro, Raden Mohammad Saleh
Werdisastro dan Abdul Kadir Muhammad. Bisa dibilang menjadi peletak
dasar dakwah islam Muhammadiyah di Pulau Madura. Selain itu, fenomina-sosial,
dalam beragam gejala yang berdinamika. Menjadi menarik untuk diperbincangkan.
Untuk jalur kedua ini—novel tersebut: saya
beri judul sementara “Dibalik Sinar Sang Surya”. Saya pun
berharap novel tersebut, bisa terbit bersamaan dengan Milad Muhammadiyah. Yang
sebulan lagi akan tiba. Dan saya berharap bisa ada masukan. Dari para teman blogger yang masih sempat membaca
catatan saya ini.
Memang, tak ada yang paling baik dari
perbuatan dan gerakan. Sebab, dari keduanya mengandung dua sisi. Yang saling
mengalami dinamika dan romantisme sendiri. Yakni, patut dan tidak patut. Bukan
sekedar salah-benar. Semua tergantung pada posisi, dimana kita berada. Menilai
dan memberi kesimpulan. Berdinamika dalam Muhammadiyah: selalu memiliki, jalan
dan pilihannya sendiri.
Selamat,
berproses dengan Syahadat dua melingkar..
Link (Gambar)
0 comments:
Posting Komentar