Kepastian


“Apa dia serius sama aku?” tanya besar bathinya.

Ih! Nyebelin banget sih. Kenapa tidak dari dulu bilang gitu. Kan masih bisa saling kangen-kangenan” pikirannya juga semakin menjalar. Tak mau kalah dengan gejolak batinnya.

Tidak pernah terlintas dalam benaknya. Kalau telepon pagi tadi adalah awal, ia mengawali apa yang disebut dengan hubungan—percintaan. Siapa yang mengira, kalau ia yang tidak pernah kenal dekat, dengan lelaki pendiam. Yang hanya ia kenal dari tiap pertemuan. Secara tiba-tiba laki-laki pendiam itu—bilang “Will you merry me?”. Tentu saja ia kaget, seperti petir dimalam gelap.

Tapi, lagi-lagi. Semua itu menjadi sirna. Saat ia mengingat apa yang dibilang lelaki pendiam itu diujung pembicaraan telepon di pagi yang mendung itu—Adakah yang lebih penting dari sebuah hubungan percintaan selain pernikahan?

Ia sadar bahwa sebagai seorang perempuan. Tidak salah, ia menuntut—orang yang akan menjadi pendampingnya kelak: sedikit lebih romantic, dalam menyatakan kehendak baiknya itu. Barangkali, Film India dan Korea—yang selama ini ditontonnya, mengkonstruksi—segala sesuatu dalam percintaan haruslah romantis. Seperti sebait puisi cinta dan setangkai bunga. Tanpa, mempedulikan gelolak bathin—seorang lelaki pendiam, harus berani dan gugup: untuk menyatakan cinta dan niat baik meminangnya itu.

Sebagai bagian manusia pendiam—yang selalu diburu dalam dunia penuh simbol materi ini. Tidak lain, sebuah kemapanan dan kemandirian.  Kedua hal itu, bisa jadi pra-syarat untuk memulai hubungan—tak terkecuali, perasaan cintanya. Maka, tidak heran. Kedua pra-syarat itu melumat banyak waktu yang dimiliki—untuk mengejar keinginan-keinginan yang belum tercapai.

Adakah yang lebih penting dari sebuah hubungan percintaan selain pernikahan?

Adalah mantra keduanya, menemukan jalan tengah. Bahwa, sebagai perempuan: ia butuh kepastian. Dan sebagai lelaki pendiam: ia butuh kemapanan.

“Aku mencintaimu. Tanpa perlu ku sebut alasannya: sebagai sebuah cinta. Sebagaimana aku tidak bisa menjelaskan tentang seorang romantis” ucap laki-laki pendiam itu—saat keduanya terpakir disebuah kaffe kecil. Ditemani segelas lemon tea dan secangkir cappocino. Dua rasa yang berbeda. Tapi, satu suasana—bathin.

Barangkali, pertemuan mereka yang selalu kabur. Dari beragam ekspose media. Menghantarkan mantra keduannya, pada sebuah keputusan: menikah bukan soal siap dan tidak siap. Tapi, berani dan tidak berani. Fase dimana—puncak kemapanan, pencarian, penantian dan kepastian itu bertemu.



Adakah yang lebih penting dari sebuah hubungan percintaan selain pernikahan?

Link (Gambar)

2 comments:

Anonim mengatakan...

hahaha... sepertinya dalam hal ini ente kalah sama saya cakmahrus... {Subliyanto}

Anonim mengatakan...

Dalam ibadah, yang paling baik, Yang paling cepat. hehe :))