Perempuan


Sore itu. Aku menunggu di depan gerbang kampusmu. Aku datang lebih awal. Bukan karena ada yang ingin aku berikan, melainkan karena aku bisa bertemu denganmu. Metahari makin terarak ke ufuk barat. Tiba-tiba tanpa instruksi apa-apa suasana mendayu. Angin melambat. Debu jalanan berubah jadi kumpalan salju. Jarum jam pun ikut lirih. Kamu datang menghampiriku.

“Ini suratnya” kataku sambil memberikan suratku

“Ini juga suratku” kita saling bertukar surat

Mata kita saling bertatapan. Tangan saling menjulurkan amplop berisi surat. Kita pun saling melihat surat masing-masing. Dan sama-sama belum dibuka isi suratnya. Kamu memandangiku senyum manis madu. Aku membalas. Ah! Kamu semakin cantik. Itu bunyi pikiranku.

Suasana tiba-tiba menjadi kaku. Kita seperti tidak saling mengenal. Tidak banyak apa yang kita bicarakan sore itu, mungkin saja kita sama-sama tidak sabar untuk segera membuka isi surat kita masing-masing. Kita pun bubaran, kala matahari bergeser selama 5 menit dari posisinya semua.

Di sudut kamar, selesai shalat maghrib. Kamu merebahkan badan diatas lautan kapuk yang tak lagi muda. Hingga ia pun harus ditopang oleh susunan kayu jati berumur puluhan tahun. Kamu pun merobek amplop surat pemberianku.

Mungkin saja kamu sudah mendengar kabar akhir-akhir ini. Ada banyak partai politik semakin belingsatan mencari kaum perempuan untuk memenuhi persyaratan 30 % . Syarat bagi mereka untuk memenuhi aturan berkontes nasional setahun lagi. Mungkin saja kamu mendengar bahwa perempuan dijadikan alat penyogokan kaum pejabat. Gratifikasi seks namanya. Mungkin saja kamu mendengar kabar seseorang mempunyai banyak istri, yang darinya kemudian melahirkan keangkuhan perceraian dan penindasan. Atau mungkin pula kamu mendengar memperingatan tokoh perempuan yang cukup dengan simbol pakaian—itulah yang terjadi hari ini.
Konon dahulu, ada seorang perempuan yang berani berbicara akan perlunya persamaan. Yang ia lakukan pertama kali adalah dengan menulis surat gagasan dirinya dan kemudian dihidupkan dengan pendidikan. Bahkan ia memprotes dirinya sendiri dengan menulis surat pada sahabatnya “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan;  keningratan pikiran dan keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal soleh, orang yang bergelar Graaf atau Baron? Tidak dapat mengerti oleh pikiranku yang picik ini”. Bukan hal gampang, memang. Memproteksi diri keinginan struktur lahiriyah, yang darinya melekat embel pembenaran akan identitas kekuasaan sebuah pelekat.
Ia tidak berhenti disitu saja. Sejalur dengan konteks pertanyaanku diatas, ia juga pernah meretas apa yang menjadi kenyakinannya selama ini; yakni agama. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Ia menginginkan sebuah dunia dimana tidak ada perselisihan dan saling menyakiti. Apalagi hal tersebut jelas-jelas dilarang oleh kitab suci. Ia seakan menggugat pandangan beragama hanya diukur dengan deret istri, bukan dengan amalan sikap. Dan ia pun saat ini dijadikan simbol kebangkitan kaum perempuan; katanya.
Perempuan—sebagian masih harus memperjuangkan diri ditengah budaya yang memaksanya tak bisa leluasa bergerak sejajar. Hingga pada akhirnya, semua perayaan perjuangan kaum perempuan tinggallah perayaan bukan cara bersikap dan berfikir.
Di sudut kamar yang lain. Aku kebingungan membaca isi suratmu. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Semua itu terjadi begitu saja. Mungkin saja, aku mengalami kebingungan yang tak lazim. Padahal kamu tidak menulis surat terlalu panjang, hanya tiga kata. Kamu menulis tebal,

Perempuan, emansipasi, apa?

Dari luas halaman kertas, kamu hanya menulis tiga kata itu. Hingga seminggu kemudian, kala kita saling bertemu, aku mencoba menanyakan maksud dari suratmu. Mengingat kesepatakan awal kita saling membuat surat adalah bagaimana kita membicarakan peran perempuan dan perjuangan perempuan. Kamu hanya tersenyum.

“Hargai perjuangan perempuan dengan bersikap dan bertangggung jawab. Dan hal itu, tidak saja lewat kata dan tulisan, melainkan dengan tindakan” jawabmu. Aku terhentak tak bisa memberi jawaban apa-apa, sebab tidak ada dalil untuk aku menyanggah alasanmu.

“Jadi cintai aku dengan caramu sendiri” imbuhmu lagi sambil tersenyum. Aku tertegun

"Kok dia tahu aku mencintainya?" itu demontrasi isi tempurung kepalaku. 

Aku pun berucap..

"Selamat Hari Kartini" 

Kamu tersenyum lagi, senyum manis madu :)) 


Sumber (gambar)

4 comments:

Fardian Imam M mengatakan...

selamat kartinian cak..sudah dengar kbar siswi SMK di sleman diperkosa, dibunuh, trus dibakar apa belum cak?

Anonim mengatakan...

Saya tidak merayakan Kartinian, hanya menghargai dia sebagai perempuan yang berani berbuat. Ironis sekali itu mas Imam, tak bisa dibiarkan. Tentunya, yang memperkosa bukan perempuan kan? Itulah barangkali begitu perlu sangat menghargai perempuan sehingga tidak terjadi kasus itu.

Editor mengatakan...

Emansipasi wanitaaaaa........... Jangan kebablasan (Nyanyi ala bang Rhoma) :D

Anonim mengatakan...

Kalau sudah emansipasi, apa lagi yang dimasalahkannya bro? Kalau masih ada batasan, kayaknya bukan emansipasi tapi toleransi :))