Ntah apa
yang terjadi. Secara tiba-tiba Reki, salah satu diantara kawanan tersangka
kerusuhan Pugo’s Caffe ini begitu kelimpungan. Ia mengalami perasaan yang
kurang nyaman sedari pagi. Bahkan makan malam pun tak mampu mengobati perasaan
tak menentu ditempurung kepalanya. Ia gelisah. Tak seperti biasanya ia
merasakan suasana seperti ini.
“kamu
kenapa Rek” tanya salah satu kawannya yang terkena kasus yang sama dengannya.
Mereka semua berjumlah 4 orang.
“gak
apa-apa. Aku hanya merasakan hal yang kurang nyaman aja, sejak dari
pemindahakan kita dari Polda” jawabnya sambil mengusap kening.
“ah, kamu
ini terlalu berlebihan. Apa kamu masih kepikiran soal kasus yang di Caffe itu?”
tanya temannya yang lain.
“Nggak. Itu
kan sudah menjadi konsekuensi”
“ya sudah
kalau bukan soal itu. Serahkan semuanya pada proses hukum. Biarkan pengacara
kita yang megurusnya” Ketiga temannya pun mencandai Reki. Keakraban mereka
bukan hanya karena mereka satu daerah, melainkan karena persamaan nasib. Mereka
pun saling mengajak untuk segera beristirahat.
Perasaan
kurang nyaman Reki pun kian berlanjut. Ia tak bisa memaksa mata untuk segera
lelap cepat. Ia hanya membolak balikkan kepala diatas bantal yang terbuat
tumpukan baju. Perasaan aneh yang melandanya kali ini tidak biasanya ia
hinggapi. Bahkan Reki tak bisa menjelaskan pada dirinya sendiri apa yang ia
alami—sungguh, kebingungan diri yang semakin tidak bisa diketahui. Perasaan
yang aneh bagi dirinya sebagai seorang jagoan.
Perlahan,
Reki pun mulai bisa mengontrol perasaan dalam dirinya. Ia pun mencoba lelap. Membiarkan
kulitnya dihisap ubin sel tahanan yang beralas karpet kurus.
23/03/2013
01.00
Sentak seisi
sel Lapas Cebongan tersentak. Mereka kaget karena ada bentakan seseorang disudut
pintu masuk Lapas. Seperti sedang ada keributan. Seisi sel dalam Lapas tidak
mengetuinya, sebab hanya suara kepatu berlari teriakan yang mereka dengar.
Suasana pun mencekam.
Depan
gerbang Lapas salah seorang petugas dipukul oleh salah seorang kelompok orang
bertopeng. Bahkan ada yang diseret. Tak ada yang mengetahui kelompok orang
bertopeng itu datang dari mana. Mereka juga memakai rompi, lengkap dengan
senjata laras panjang. Penampilan mereka mirip para polisi yang ingin menyergap
penjahat dalam film The Raid. Namun,
kali ini terjadi dalam kisah nyata. Kumpulan orang bersenjata yang berjumlah
belasan orang itu semakin beringas.
“cepat
tunjukkan dimana posisi tahanan kasus Pugo’s Caffe” bentak salah seorang kelompok
orang bersenjata itu, dengan menodongkan moncong senjatanya. Namun, karena
tidak langsung memberitahu sang sipir Lapas pun dijotos dengan gagang senjata
AK 47 itu.
Paakkk!!
Semua sipir
Lapas yang tidak sebanding itu pun menyerah tanpa perlawanan yang berarti. Dan
dengan tanpa banyak pembicaraan. Orang bersenjata itu menyeret sipir ke salah
satu sel. Sipir yang terseret tersebut terpaksa harus memberi tahu, dimana
lokasi orang yang mereka cari. Hanya dengan kode tangan dari salah seorang
diantara mereka, para kelompok orang bersenjata itu pun langsung menyebar.
Mereka seperti sudah menemukan pekerjaan sendiri-sendiri. Ada yang mengambil
CCTV, membuka pintu dan berjaga.
Sesampainya
di lokasi sel lapas, dimana Reki dan teman-temannya di tempatkan. Tiga diantara
diantara kelompok bersenjata itu masuk kedalam sel dengan menodongkan senjata
pada seluruh tahanan di sel bernama Anggrek itu.
“siapa
diantara kalian yang terlibat di kisruh Pugo’s Caffe” bentak salah satu
diantara kelompok bersenja. Suasana makin sepi dan mencekam. Hampir tidak ada
yang mau menjawab.
Setelah
beberapa saat kemudian. Reki dan kawan-kawannya pun mengaku, bahwa mereka yang
terlibat dalam kekisruhan Pugo’s Caffe tersebut. Sentak mereka pun dipisahkan
dari tahanan yang lain. Dalam tahanan tersebut dibagi tiga kelompok, sebelah
kanan, tengah dan kiri. Reki dan kawan-kawannya ditaruh di ditengah sel. Mereka
dalam posisi duduk sambil menunduk. Meski ia terbiasa berhadapan dengan suasana
seperti ini, namun saat ini ia dalam keadaan yang tidak seimbang. Ini didalam
penjara bukan di area bebas sehingga ia bisa melakukan perlawanan. Apalagi mereka
tidak memiliki senjata.
Tak lama
setelah itu. Salah satu diantara kelompok bersenjata itu. langsung bererada
dihadapan Reki dan kawannya. Tanpa kata, orang bertopeng itu pun menghujankan
tembakan ke arah Reki dan kawannya dengan jarak dekat. Tak ada perlawanan atau
bahkan bisa menyelamatkan diri. Bunyi tembakan benar-benar memecah hening
kesunyian yang sedari tadi mencekam. Dan tembakan tersebut terbagi atas tiga
rentetan. Tak terhitung sudah berapa peluru yang dimuntahkan dari senjata
buatan Rusia itu.
Seketika
itu pula Reki dan kawannya meregang nyawa. Banyaknya hujaman tembakan
benar-benar merontokkan daging dan organ vital mareka. Persis disaksikan oleh
kedua mata para tahanan sel yang lain yang satu area. Barangkali, perasaan
kurang nyaman Reki menandakan bahwa akan terjadi hal ini. Kejadian yang tidak jauh
beda dengan brondongan senjata di film Rambo ataupun The Raid. Bahkan kejadian
ini seperti merupakan pembantaian yang sudah direncanakan sedari awal dan
matang oleh kaum terlatih.
15 berlalu..
Menyadari
misi kelompok bertopeng ini selesai. Mereka pun menyuruh dan mengancam para
tahanan untuk bertepuk tangan. Ancaman yang cukup tidak berprikemanusiaan.
Seakan mereka menyakan kemenangan misi yang berjalan lancar. Setelah itu pun
mereka meninggalkan tragedi ini dengan sesuka mereka.
Dan seperti
film biasanya pula. Polisi datang setelah kejadian selesai, persis apa yang ada
dalam film india. Kala tragedi sudah menghilangkan nyawa. Tak ayal kejadian ini
pun membuat trauma bagi para tahanan yang lain. Dan asumsi liar banyak pihak.
**
Belakangan,
barulah terungkap bahwa tragedi pembantaian ini bermotif balas dendam dari oknum
pasukan elit. Hal tersebut dilakukan karena korban pembantaian terlibat
penusukan terhadap salah satu anggota pasukan elit di Pugo’s Caffe. Sang
petinggi pasukan elit ini pun menyampaikan bahwa kejadian ini merupakan sikap
korsa yang ada di tubuh pasukan elit, bukan balas dendam. Sebab oknum pelaku
penyerbuan mengaku sebagai pelaku pembantaian tersebut. Kemudian, dari sinilah
timbul persepsi bahwa para oknum pasukan elit yang membantai itu sebagai “kesatria”.
Karena telah mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat.
Apapun
alasannya sikap “kesatria” bukan hanya dimaknai sebagai bentuk pengakuan diri
sebagai pelaku. Melainkan tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Terlebih lokasi
pembantaian yang mereka perbuat berada di institusi lembaga hukum. Beginilah
uniknya negeri ini, hingga hari ini di salah satu koran lokal Jogja memuat
bahwa lebih baik; menggunakan hukum diri ketimbang hukum negara—sebab lebih didasari
pada ketidakadilan hukum pada saat hasil pengadilan.
Tidak hanya
itu saja. Saat ini, persepsi masyarakat di Jogja terbelah menjadi dua bagian. Pertama, mereka yang mengecam kejadian
Lapas Cebongan yang ditandai dengan pengadilan terbuka agar para pelaku 11
orang yang dari pasukan elit, tidak diadili secara internal yang menyababkan
kebimbangan hukum. Dalam kelompok ini terdiri mereka aktivis HAM tapi juga
melawan premanisme. Kedua, mereka yang
menentang premanisme. Mereka berasumsi bahwa di Jogja telah terkepung para
preman yang mengakibatkan merajalelanya aksi kekerasan. Hal yang mereka lakukan
adalah mendukung sikap “kesatria” para oknum pasukan elit yang melakukan
pembantaian untuk berani jujur mengakui sebagai pelaku pembantaian di Lapas. Bahkan
mereka melakukan aksi 1.000 koin terhadap istri pasukan elit yang terbunuh di
Pugo’s Caffe. Meski dua kepala institusi pasukan elit mengalami pemindahan
tugas—hal lazim yang terjadi di dua institusi ini.
Pada
akhirnya, kita sama-sama harus melawan lupa atas kejadian Lapas Cebongan agar
suatu saat nanti tidak ada kejadian yang terulang—terlebih dilakukan oleh
pasukan elit. Yang seharusnya menjadi cermin bagi masyarakat sebagai pasukan
yang berani membela kepentingan negara, hukum dan masyarakat. Bukan atas
kepentingan kelompok dan institusinya.
Mari melawan lupa!
Link (gambar)
0 comments:
Posting Komentar