Hidup dan Makan




Masih ada orang yang berselisih soal hidup. Ya! hakikat ia hidup di dunia, luar takdirnya oleh kehendak sang maha kuasa. Ada yang mengatakan bahwa hidup itu untuk makan. Namun, ada pula makan itu untuk hidup. Tiap orang seakan memiliki sekian alasan mengapa mereka hidup—barangkali, tujuan hidup.

Bagi kaum agamawan mengistilahkan hal diatas, bisa saja merujuk apa yang disampaikan Hamka “kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup” ataupun ada pula yang disampaikan oleh Cak Nun “makan itu kan bukan hanya soal biologis, melainkan juga spikologis”. Dua pertanyataan ini seakan melekatkan dua persepsi, bahwa ada keterkaitan yang saling tarik menarik dimana hidup-makan mengalami turbulensi. Hidup merupakan keniscayan, sedangkan makan merupakan cara dimana keniscayaan itu dilanjutkan dan dipertanggung jawabkan.

Dari sinilah—barangkali, logika pencarian atas hidup dengan cara makan kian beragam. Ada yang mengeksploitasi sesama anak manusia untuk keuntungan cara ia melahap dan mengumpulkan bekal hidup. Adapula, hidupnya diatur oleh penguasa, baik hak hidup maupun cara mengdapatkan makan untuk hidup.
Memang terasa sulit menghubungkan antara hidup dan makan. Sebab seringkali, kita dihadapkan pada praktek yang menakutkan. Suasana yang cukup dilemma. Dimana, dalam menjalani hidup kita harus menantang suasana batin, hanya karena tergoda bagaimana mendapatkan bekal untuk makan. Perut terasa begitu, suka berkompromi dengan keadaan. Hingga tak jarang iman pun menjadi taruhannya. Dari sinilah hakikat hidup mengalami keruntuhan dan kebutaan. Mirip apa yang disampaikan nabi bahwa kefakiran (kurang makan) cenderung menyebabkan kekufuran.

Ah! Mungkin saja, apa yang ku calotehkan ini begitu menjemukan untukmu. Apalagi, hari ini merupakan hari lahirmu. Tapi biarlah, aku seperti biasanya seperti ini.

Selamat ulang tahun Putri Zivara, kekasihku.

Kita kadang harus memilih suasana dimana, hidup dan makan bisa diposisikan secara proporsional tanpa ada yang saling menyakiti dengan cara ketidakbenaran dan ketidakjujuran. Hidup sebagai keniscayaan dan makan sebagai keharusan. Keduanya bisa dijalankan secara beriringan. Dan itu yang kita kenal dengan keyakinan—iman.

Tidak perlu kita saling berebut mengambil hak orang lain. Atau bahkan mengkhianati apa yang kita yakini. Persoalan makan bukan semata-mata untuk mempertahankan hidup, melainkan pula mempertanggung jawabkan hidup. Kita harus menyadari bahwa hidup dan makan diluar kejujuran dan keimanan—hanya menjadi ritus yang menjemukan. Mirip kita tak pernah ada dalam ruang kehidupan.

Barangkali, ini saja celotehku dipertambahan usiamu. Atau 2 hari lalu, 10 bulan ikatan keringatmu hanya untuk membuatku betah menjadi lebih lebih feminim. Setidaknya, dengan apa yang dijalani selama ini, kita makin reflektif dalam menjalani hidup. Hingga tak lagi aku tertegun dengan pesan pendekmu sore ini : mencintaimu, membuatku memiliki tujuan baru dalam hidup yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Aku tersenyum, dengan kuping mengembang ;))

Link (gambar)

0 comments: