Minggu kemarin—sekitar jam 08.00, saat ruas
jalan kota Jogja tak begitu sumuk. Ia menelusuri jalan KH. Ahmad Dahlan. Kedua
tangannya menggenggam keras dua kemudi rumah berjalannya. Sesekali ia mengusap
kucuran keringat di dahi. Dan meneguk air botol yang dikantong kiri bajunya. Padahal
matahari tak jua menampakkan keangkuhan. Sedangkan dua ekor kucing saling
bercanda dipojok rumah berjalan itu—kebanyakan orang menyebut grobak. Tak ada
yang tahu semalaman ia ada dimana.
Jika malam hari biasanya, kita bertamu; ia
ada di parkiran Serangan. Ia berada disela parkiran bus antar kota. Rambutnya yang
kumal. Baju yang penuh tambalan. Badannya yang bau. Mukanya yang kusam. Rumah berjalan
yang tak jelas apa saja isinya. Disanalah ia menghabiskan waktu istirahat—bersama
kedua kucing kesayangannya.
Apabila kita mengajak berbicara, terasa
begitu sulit kita memahami apa maksud perkataannya. Barangkali, ia karena ia
sudah tidak senormal kebanyakan orang yang mengatakan diri sebagai (orang) waras.
Ya! ia mengalami keterbelakangan
sehat akal. Sebab, kadang-kadang ia berteriak sendiri tanpa alasan yang jelas,
seperti kesurupan. Dari semua tingkah anehnya itu, tidak jarang kadang ia
mengatakan bahwa; rumah yang baik adalah dimana kita merasa nyaman didalamnnya.
Cukup sulit memahami maksudnya ditengah vonis ketakwarasan akan keberadaan
dirinya.
Hampir seminggu ini—media massa begitu
menyoroti seorang perwira tinggi polisi yang memiliki 5 buah rumah hasil
pencucian uang hasil korupsi. Seorang rektor perguruan tinggi ternama di Jateng
membeli kendaraan dari hasil kongkalikong penghianatan akademiknya. Mark up pembangunan rumah di salah satu
kabupaten yang debisit APBDnya. Binalitas sebagian politisi yang kian saleh
meraup laba. Pimpongan nasib kesehatan pasien miskin. Dan semua keruwetan hidup “kalah” untuk persaingan perebutan
materi kehidupan.
Malam kian menua—apakah ini corak
kehidupan harus dihadirkan. Hampir tidak ada perbedaan mana tidak-warasan dan
waras. Bukankah, rumah yang baik adalah rumah dimana kita merasa merasa nyaman
di dalamnya. Tidak perlu banyak dengan ragam assesoris yang ditampak demi riuh
tepuk tangan puja orang lain. Rumah bukan saja tempat untuk melepas lelah. Melainkan
tempat dimana semua hal bisa diciptakan; baik atau buruk bagi kehidupan. Tanpa saling
meributkan salah-benar, kehidupan akan lebih bermakna manakala ada relasi integratif
semua unsur, agar tanggung jawab dimasing-masing area, bisa menemukan simpul
jawaban tentang hak dan tanggung jawab; penghapus dosa social yang ditanggung
(kita) semuanya.
Kadang-kadang, ketidakwarasan di sebagian
banyak orang, bukan menentukan dimana makna kehidupan itu ajarkan. Sebab
kewarasan yang menimbulkan beragam musibah; hanya akan menimbulkan keruntuhan
fondasi rumah diri, keluarga, social; juga spiritualitas.
Link ilustrasi gambar (klik)
0 comments:
Posting Komentar