Kejadian siang tadi membuat saya kembali menelan asa. Naskah novel saya
tidak lolos dalam lomba novel, saya telat mengumpulkannya. Padahal tahun lalu, naskah novel saya yang lain malah hilang disalah satu penerbit di Jogja. Tentunya,
saya sebagai penulis pemula yang baru ingin menekuni tulis menulis sejak setahun
lalu; merasakan lelah juga kecewa.
Setelah 10 menit merenung usai Maghrib tadi, terasa cukup naïf bahwa
saya harus menyerah hanya karena 1 naskah itu terparkir menyusul kedua saudaranya, 1 hilang di penerbit
dan lagi dalam proses pembuatan novel dwilogi yang penulisannya menggunakan
pendekatan budaya. Saya malu pada seorang teman yang naskahnya harus di”tolak” dibeberapa
penerbit, ia tetap terus menulis hingga akhirnya pada suatu hari naskahnya
lolos dan diterbitkan kemudian best
seller. Begitu pula dengan naskahnya yang ditolak-tolak itu juga
diapresiasi oleh pembaca setianya. Dalam kesempatan yang lain, adalah dosen
saya yang saking ingin sekali menerbittkan buku; terlepas apa itu motifnya. Ia hanya
mencetak puluhan eksemplar saja. Ia menggunakan pola self publishing yang sedang ngetrend dibeberapa penerbit. Tiba-tiba
saya tertarik self publishing. Ah! Saya
tergoda.
Kejadian ini cukup membuat diri untuk berfikir bahwa menjadi penulis
bukanlah persoalan yang bisa menjadi aktivitas samping(an). Bukan pula
keinginan untuk mendapatkan banyak royalti. Menulis tidak lain cara kita
menyimpan manuskrip kehidupan yang dijalani. Karena kelak hanya manuskrip
itulah yang akan menjadi saksi bahwa kita bukanlah
seonggok daging melata di muka bumi tanpa berbuat apa-apa. Fahd Djibran menyebut
menulis itu merupakan kesadaran sejarah.
Dari Fahd-lah saya mendapat
pelajaran untuk menulis. Disebuah kesempatan ajakannya makan malam di Jogja, saya
diingatkan olehnya kurang lebih seperti ini “…Aku sudah mulai menulis dari delapan tahun lalu, kamu kapan berani
memulai, Cak”. Saya benar-benar terkunci stang waktu itu—saran yang sejak
saat itu; saya mengatakan benar!
Sedari dulu, saya berfikir. Jika saya menulis hanya untuk mendapatkan royalti
dan polaritas. Pada saat itu pula tulisan saya menjadi tulisan yang paling
buruk dan bernilai proyek pesanan. Jadinya, saya hanya berani berceloteh di blog ini saja, tanpa harus melakukan
keberanian untuk segera menulis dalam bentuk buku—tepatnya lebih serius menulis.
Dan disaat saya mencoba untuk menulis secara lebih serius, hasilnya
penolakan seperti hari ini. belum pula artikel yang tidak termuat di media. So, saya tidak akan tobat untuk menulis.
Bukankah ide/gagasan yang paling baik itu adalah ketika ia dituliskan. Soal baik
dan buruk pada akhirnya tulisan itu menemukan pembacanya sendiri—seperti keris
yang menemukan si tuan Empu-nya.
—kuncinya; saya masih perlu banyak belajar dan berani menulis. Itu saja!
Link (gambar)
0 comments:
Posting Komentar