Perayaan



Seperti angin yang berlalu. Menghembus butiran debu liar ditiap relung selaksa alam. Tak pernah menyesali seberapa banyak debu yang diterbangkan. Seperti ingatanku hari ini yang lupa bahwa inilah hari terpenting dalam hubungan kita; terhembus oleh reaksi aktivitas.

mas, sudah 8 bulan ya. Ketahuilah sayang, bahwa sampai detik ini aku tetap merenda mimpi suci kita dalam naungan Ilahi” beitulah pesan pendekmu pagi tadi. Aku pun tersadar, aku lupa dengan perayaan  kita—Ya! perayaan yang tiap tanggal ini kita selalu menyelibkan selamat dan harap tentang masa depan; maaf atas kealpaan ingatanku.

Kenangan kita yang sudah berlalu. Biarlah itu menjadi bagian yang kita telah perbuat. Apakah menjadi sejarah ataukah hanya kenangan yang terbuangan dalam kubangan perasaan. Kita mengawali semua itu dengan cara yang biasa. Dengan hubungan yang biasa pula. Maka, tetap ijinkan aku tetap mencintaimu dengan cara yang terbiasa pula—terbiasa, dengan semua apa yang telah kita lalui agar senantiasa kelak menjadi hal tidak lagi biasa.

Masihkan kita merasa perlu mengadakan perayaan tentang seberapa lama kita berhubungan. Perayaan yang sebenarnya tidak begitu suci untuk kita meriahkan. Padahal disisi lain ada hal yang harus kita perbuat ditengah kegetiran hidup para umat manusia yang tidak lagi menghargai sucinya hubungan; seorang ayah menggagahi anaknya, perselingkuhan dibatas mata pasangan, orang tua membuang anaknya—dan perempuan sebagai pesuap. Tidak bisa lagi menghargai sucinya hubungan. Bisakah kita berbuat baik atas bagian eksploitasi itu; sebatas apa yang kita bisa lakukan.

Atau masihkan kita berhubungan. Tanpa lagi meributkan ritus perayaan.

Tetapi, bagimu perayaan itu begitu penting—alarm atas refleksi hubungan. Barulah, aku mengetahui bahwa kamu mengajariku untuk jadi lebih feminim. 

Link (gambar)

0 comments: