Idealisme (2)



—Untuk kawan lama.

Malam itu, disebuah angkringan dan warung kopi di daerah Wijilan kita saling bertemu. Aku kaget mendapatimu disini, begitu pula denganmu yang kaget aku hampiri. Kita seakan menjadi dua orang pasangan yang lama terpisah kemudian baru bertemu. Terasa cukup ringkih. Seakan ada kasta dan jarak yang terbangun tanpa kerja para hulu balang.

Penampilanmu sedikit lebih nyentrik. Bajumu licin bersetrika. Sepatumu menghilat, menciptakan alunan cahaya di pekatnya malam yang mendung. Kita sama-sama berbincang dalam keringkihan dan kekakuan itu. kita sama-sama memaksakan diri untuk sekedar membicarakan hal yang kadang tidak begitu penting—tepatnya, sekedar basa basi. Tetapi, aku tersentak saat pembicaraanmu mulai tidak mengenakkan.

“ini proyek besar, jangan main-main. Saya kesini karena si bos yang meminta. Ini pertarungan politik tingkat elit” kurang lebih begitulah ucapanmu. Aku mulai mengikuti arah pembicaraanmu yang mulai menaikkan tensi tiap kali aku menyuntikkan virus ‘kepentingan politik’. Kamu pun dengan menggebu-gebu melakukan pembelaan dan sangkaan. Seakan-akan kamu mengerti betul isi kantong kepentingan politik banyak orang.

Akhirnya, aku baru menyadari bahwa kita sudah tidak bertemum hampir 8 bulan ini. Kamu di Jakarta, aku di Jogja. Waktu yang kesekian bulan itu pula yang menyebabkan bobot perutmu semakin membuncit. Aku tidak lagi mendapatimu menanyakan hal-hal revolusioner dan atau bahkan menjelaskan pernyataan idealism yang pernah aku sampaikan kepadamu, saat dulu ada yang pernah bertanya itu padaku. Jangankan untuk bertanya, menyelipkan kata-kata revolusioner rasanya tidak sudi kamu mengucapkannya—terkecuali akun emailmu.

Inikah produk orang yang tidak bisa bertahan ditengah hiruk pikuk kehidupan Jakarta. Kota yang penuh dengan kepentingan dan beragam godaan. Ku pikir tidak ada yang salah dengan Jakarta. Ia hanya ruang ataupun patung yang menghadirkan beragam espektasi sebagian banyak orang—atau lebih dikenal dengan sebutan ‘mengadu nasib’. Dan perlu kamu catat keberadaanmu di Jakarta itu bukan untuk mengadu nasib itu, melainkan menjalankan fungsi structural yang kamu rebut dari sekian banyak orang yang berkompetisi. Untuk jabatan yang kamu tambatkan itu, dengan suka rela kamu campakkan tanggung jawabmu disini; tempat dimana kamu ingin dilahirkan sebagai seorang pemikir.

Sekarang, saat dimana kamu terlindas oleh kegagapan budaya megapolitan. Gayamu bagai artis udik yang memamerkan ketenaran pantat kekuasaannya. Sedikit pun tak terbesit dalam benakku untuk sekedar berkata ‘fantastis!’. Sebab semua itu hal lumrah bagi mereka yang mengalami kegagapan budaya megapolitan dan kepentingan politik.

Masih ingatkah kamu kepada Ali Syariati, seseorang yang sering kali kita kutip perkataan dan karyanya bahwa surga tidak akan bisa dibangun sepanjang bertentangan dengan hati masyarakat.  Ah, aku pikir pasti kamu masih mengingatnya.

Surga harapan akan perubahan secara radikal yang kita ingin bangun, lambat lambat laun memudar dari cahaya keningmu. Sebab sekarang kamu sudah terjebak dalam kubangan kekuasaan yang secara nyata-nyata telah membumi hanguskan harapan yang ingin dibangun oleh masyarakat. Dulu pada saat orasi: kamu hujat koruptor, sekarang kamu menjadi penelan uang amanah. Dulu kamu bilang partai politik agen asing, sekarang kamu menjadi budak partai. Dulu kamu bilang pejabat tipu rakyat, sekarang  kamu penjilat pantat para pejabat itu. Dulu kamu bilang ruang amanat yang kita sama emban ini ada banyak bandit, sekarang kamu kamu penyamun—apakah memang beda dahulu dan sekarang? Dimanakah ajimat ‘idealisme’ yang kita dengungkan itu?

Dengan nada sumir kamu sudutkan aku dengan sebutan ‘sok idealis’ juga udik. Kamu bilang aku tidak pintar bermain proyek dan hanya main ditingkat lokal. Baiklah, biarkan aku hidup dengan ke-sok-idealisan nan udik itu. Setidaknya, aku masih bisa mempertahankan dan menjaga apa yang kita pernah kita ucapkan. Maka, biarkan aku dalam kebodohan dalam anggapanmu itu, sebab bagiku semuanya itu hanya biasa-biasa saja. Karenya, aku tidak terlalu binal dengan praktek perebutan kekuasaan. Dan memilih berbuat hal yang bisa membuktikan kata-kata.

Aku tidak mengerti apa yang menjadi dalil dan tafsir idealism. Karena yang aku pahami idealism hanyalah kontak bathin saat diri sudah mulai menentang kata hati. Sesukamu-lah kamu menganggapku apa apa. Namun, yang jelas aku sudah melihat perbedaan dalam dirimu—saat perkataan sudah mulai membangun jarak dengan perbuatan. Itu saja pemahamanku atas pertemuan malam itu.

Kawanku yang hebat, kawanku tinggi kuasanya, kawanku yang mulai memupuk kekayaan dengan kuasa dan ketidakujuran—dan kawanku yang mulai layu keyakinannya. Marilah kita sama-sama merenung. Kawan!

Link (gambar)

0 comments: