—Untuk kawan lama.
Malam itu, disebuah angkringan
dan warung kopi di daerah Wijilan kita saling bertemu. Aku kaget mendapatimu disini,
begitu pula denganmu yang kaget aku hampiri. Kita seakan menjadi dua orang
pasangan yang lama terpisah kemudian baru bertemu. Terasa cukup ringkih. Seakan
ada kasta dan jarak yang terbangun tanpa kerja para hulu balang.
Penampilanmu sedikit lebih
nyentrik. Bajumu licin bersetrika. Sepatumu menghilat, menciptakan alunan
cahaya di pekatnya malam yang mendung. Kita sama-sama berbincang dalam
keringkihan dan kekakuan itu. kita sama-sama memaksakan diri untuk sekedar
membicarakan hal yang kadang tidak begitu penting—tepatnya, sekedar basa basi. Tetapi,
aku tersentak saat pembicaraanmu mulai tidak mengenakkan.
“ini proyek besar, jangan
main-main. Saya kesini karena si bos yang meminta. Ini pertarungan politik
tingkat elit” kurang lebih begitulah ucapanmu. Aku mulai mengikuti arah
pembicaraanmu yang mulai menaikkan tensi tiap kali aku menyuntikkan virus ‘kepentingan
politik’. Kamu pun dengan menggebu-gebu melakukan pembelaan dan sangkaan. Seakan-akan
kamu mengerti betul isi kantong kepentingan politik banyak orang.
Akhirnya, aku baru menyadari
bahwa kita sudah tidak bertemum hampir 8 bulan ini. Kamu di Jakarta, aku di
Jogja. Waktu yang kesekian bulan itu pula yang menyebabkan bobot perutmu
semakin membuncit. Aku tidak lagi mendapatimu menanyakan hal-hal revolusioner
dan atau bahkan menjelaskan pernyataan idealism yang pernah aku sampaikan
kepadamu, saat dulu ada yang pernah bertanya itu padaku. Jangankan untuk
bertanya, menyelipkan kata-kata revolusioner rasanya tidak sudi kamu
mengucapkannya—terkecuali akun emailmu.
Inikah produk orang yang tidak
bisa bertahan ditengah hiruk pikuk kehidupan Jakarta. Kota yang penuh dengan
kepentingan dan beragam godaan. Ku pikir tidak ada yang salah dengan Jakarta. Ia
hanya ruang ataupun patung yang menghadirkan beragam espektasi sebagian banyak
orang—atau lebih dikenal dengan sebutan ‘mengadu nasib’. Dan perlu kamu catat
keberadaanmu di Jakarta itu bukan untuk mengadu nasib itu, melainkan
menjalankan fungsi structural yang kamu rebut dari sekian banyak orang yang
berkompetisi. Untuk jabatan yang kamu tambatkan itu, dengan suka rela kamu campakkan
tanggung jawabmu disini; tempat dimana kamu ingin dilahirkan sebagai seorang
pemikir.
Sekarang, saat dimana kamu
terlindas oleh kegagapan budaya megapolitan. Gayamu bagai artis udik yang
memamerkan ketenaran pantat kekuasaannya. Sedikit pun tak terbesit dalam
benakku untuk sekedar berkata ‘fantastis!’. Sebab semua itu hal lumrah bagi
mereka yang mengalami kegagapan budaya megapolitan dan kepentingan politik.
Masih ingatkah kamu kepada Ali
Syariati, seseorang yang sering kali kita kutip perkataan dan karyanya bahwa
surga tidak akan bisa dibangun sepanjang bertentangan dengan hati masyarakat. Ah,
aku pikir pasti kamu masih mengingatnya.
Surga harapan akan perubahan
secara radikal yang kita ingin bangun, lambat lambat laun memudar dari cahaya
keningmu. Sebab sekarang kamu sudah terjebak dalam kubangan kekuasaan yang
secara nyata-nyata telah membumi hanguskan harapan yang ingin dibangun oleh
masyarakat. Dulu pada saat orasi: kamu hujat koruptor, sekarang kamu menjadi penelan
uang amanah. Dulu kamu bilang partai politik agen asing, sekarang kamu menjadi
budak partai. Dulu kamu bilang pejabat tipu rakyat, sekarang kamu penjilat pantat para pejabat itu. Dulu
kamu bilang ruang amanat yang kita sama emban ini ada banyak bandit, sekarang
kamu kamu penyamun—apakah memang beda dahulu dan sekarang? Dimanakah ajimat ‘idealisme’
yang kita dengungkan itu?
Dengan nada sumir kamu
sudutkan aku dengan sebutan ‘sok idealis’ juga udik. Kamu bilang aku tidak
pintar bermain proyek dan hanya main ditingkat lokal. Baiklah, biarkan aku
hidup dengan ke-sok-idealisan nan udik itu. Setidaknya, aku masih bisa
mempertahankan dan menjaga apa yang kita pernah kita ucapkan. Maka, biarkan aku
dalam kebodohan dalam anggapanmu itu, sebab bagiku semuanya itu hanya
biasa-biasa saja. Karenya, aku tidak terlalu binal dengan praktek perebutan kekuasaan.
Dan memilih berbuat hal yang bisa membuktikan kata-kata.
Aku tidak mengerti apa yang
menjadi dalil dan tafsir idealism. Karena yang aku pahami idealism hanyalah
kontak bathin saat diri sudah mulai menentang kata hati. Sesukamu-lah kamu menganggapku apa apa. Namun,
yang jelas aku sudah melihat perbedaan dalam dirimu—saat perkataan sudah mulai
membangun jarak dengan perbuatan. Itu saja pemahamanku atas pertemuan malam
itu.
Kawanku yang hebat, kawanku
tinggi kuasanya, kawanku yang mulai memupuk kekayaan dengan kuasa dan
ketidakujuran—dan kawanku yang mulai layu keyakinannya. Marilah kita sama-sama merenung. Kawan!
Link (gambar)
0 comments:
Posting Komentar