Terima



Baru saja ku dapati kabar. Seorang datang mendatangiku. Ia bercerita soal keputusan bulat. Tentang tabuhan, iringan ayat dan sekolongan pembelaan. Hal yang berbanding terbalik denganku kala aku bercerita “Representasi”. Keputusan itu tentang pengangkatan kuasa yang pengatakanku sebagai penghianat. Aku tak merasa kaget sebab aku sudah memprediksinya dari awal. Atau bahkan kiamat seperti yang diramalkan film 121212—atau pula pula banyak postingan orang malam ini tentang tanggal hari ini. Biarlah, sejak awal aku sudah mengatakan bahwa aku akan pulang. Dan tidak perlu rasanya aku banyak ikut campur; keluargaku sudah menunggu. Orang yang datang padaku tidak sadar ia bercerita padaku, padahal ia dalam hal untuk sesuatu yang lain.

Apa yang kulakukan ini. Kurang lebih banyak diilhami dari beberapa tulisan Buya Hamka. Orang tua itu benar-benar menyihirku dengan ketenagannya. Menyiram kobar emosiku dengan keikhlasannya. Menyetrika rasa kesal dendamku narasi tulisannya—kemudian secara perlahan ia membimbingku tentang sebuah “penerimaan” hakikat hidup dan kubangan realita. Rasa-rasa aku perlu mengirimkannya surat al Fatihah dan surat Yasin. Sebagai bakti murid pada sang guru.

Disana di kampungku. Tempat dimana aku lahir sebagai anak kampung nan udik. Mereka menantiku. Mereka membutuhkanku dengan penghargaan atas gagasan; meski dengan rumah yang baru. Ya! kata mereka sebaiknya aku mengambil jalan itu dari dulu. Sebab angkatan usiaku sudah pergi bermain ke negeri seberang. Kepulanganku masih saja dengan kesunyian. Dan [lagi-lagi] kesunyian selalu akrab dengan orang terantai ; Abu Dzar, Hamka, Hatta dan lainnya yang pernah merasakan itu.

Itu saja catatanku di tanggal 12.12.12 sebelum jam 12. Sungguh biasa saja!

Link (gambar)nya. 

0 comments: