Representasi



Akhirnya, tiba juga saatku untuk pulang. Barang-barang sudah selesai ku kemas. Kursi tamu telah ku kembalikan pada tempatnya semula. Tak ada tunggakan yang ku wariskan. Taka da pula keturunan untuk ku nafkahi. Aku ingin pulang, ke rumahku sendiri; seperti apa yang dilakukan Zainuddin di novel karya Hamka.

Mengingat kembali masa dimana aku harus berkelahi. Saat-saat aku harus memutuskan apa yang ku yakini. Waktu dimana segala apa yang kulakukan dianggap penghianatan. Tak ada prestasi apa-apa selama 4 tahun; semua yang ku lakukan terkubur akibat aku dianggap kaum penghianat. Ayat penghianatan itu berada dalam nomor 25. Makanya aku muak dengan nomor 25 di rumah singgahan itu. 25 adalah  pasal juga ayat “bukan keterwakilan”.

Aku dianggap lahir dari Rahim yang kotor; aku ini anak jadah. Tak ada bapak yang mau mengakuinya. Karenanya, mereka berbondong pulang pagi itu, saat mereka kalah. Kekalahan dipesangkakan padaku secara tunggal. Mereka lupa bahwa mereka juga melacurkan diri tapi tidak pula digagahi sampai klimaks kekalahan mendera. Tetapi, hanya ada satu pembelaku; mereka teman bermain dimasa kecilku—yang menerimaku tanpa imbalan apa-apa.

2 tahun berlalu. Ingatan itu masih saja menari dalam tempurung kepalaku. Lebih-lebih jelang kepulanganku. Mereka yang menghujadku masih menganggap dirinya paling benar. Dan aku juga tidak mau memaksa kebenaran hanya untuk mereka mau menerima keberadaanku. Apalagi apa yang ku lakukan (yang dianggap penghiatan itu) menurutku jalan yang benar aku menyakininya. Aku pun masih saja tegak hingga hari ini. Bahkan tidak pernah bergeser sama sekali demi kepentingan penunjang elektabilitas pengakuan.

Cuih! Akulah manusia yang tidak terwakilkan itu. Ku tarik kuping kalian yang dulu menghujad dan mengatakanku penghianat. Malaikat telah melaknataku hingga sampai detik ini aku masih saja hidup dengan kebenaran yang ku yakini. Ku iris kuping kalian dan dengarkalah baik-bail—tak pernah sedikit pun ku membakar rumahmu dengan rasa benci, mengggahi para pengikutmu, melempari keluargamu dengan sikap penyulitan, melenyapkan kemaslahatan atas nama kepentingan pribadi—atau bahkan mengencingi bendara kebanggaanmu.

Kala aku pulang hari ini. Seandainya, dimana kamu nanti mendapat tabuhan rebana penyambutan, iringan ayat keterwakilanmu dan sokongan materi pembelaan. Aku tidak merasa bahagia atau bahkan membenci. Karena betapapun itu kamu hanyalah calon penghuni baru rumah yang penuh godaan itu. Aku tetap mempersilahkanmu masuk rumah itu. melimpahkan kunci wewenang. Sekali pun kamu dengan lancang tidak pernah mengucap salam. Aku membuktikannya telah mampu menghuni rumah itu dengan tabuhan, iringan ayat dan sekolongan pembelaan kesunyian. Aku bukan kamu, kamu bukan aku. Kita bukan siapa-apa.

Aku pulang dengan melebarkan dadaku. Akulah pemenang keyakinanku. Aku rayakan sendiri. Karena, aku pulang ke rumahku sendiri bukan kepada siapa-siapa. Selamat menikmati rumah godaan yang sebagian sudutnya telah aku cat dengan keyakinanku. Sekarang buktikan apa yang bisa kamu perbuat untuk melebihi yang yang pernah aku perbuat. Malu! Dengan hajatan perayaan kedatanganmu kalo tidak bisa berbuat apa-apa.

Itu kutukanku pada rumah godaan itu.

Sumber (gambar)

0 comments: