matahari bisa saja tertawa
langit berlari
bumi sakit kepala
ntahlah,
tenyata aku mencintaimu
SMS Raka yang ia kirim tadi
malam. Aku kaget membacanya. Apakah memang benar Rala menyukaiku. Aku membalas
SMSnya untuk menanyakan maksud pesan pendek yang ia kirim. Raka pun mengajakku
untuk bertemu nanti sore di taman kota. Aku pun menyetujuinya.
Ditengah kota Jogja. Tepatnya
disebelah barat lampu merah 0 KM. Aku duduk memandangi suasana orang yang hulu lalang
depanku. Jalan A. Yani dari arah Malioboro yang satu arah ini, terlihat
perpaduan unik antara transportasi modern dan transportasi sisa jaman
penjajahan. Di jalan ini tidak susah kita mencari Andong dan Becak. Begitu pula
tidak susah melihat mobil mewah. Terlebih pada akhir pekan. Orang dari beragam
etnis, budaya, agama dan negara tumpah di kota ini. Begitu juga ragam
kulinernya yang serba unik. Maka tidak salah jika ada penelitian bahwa Jogja
memberikan tingkat harapan hidup yang lebih tinggi dibanding kota lainnya.
Ditengah sibuknya suasana kota. Ratusan
burung terbang bergerombol diatas kepala seperti atraksi pesawat tempur pada
hari lahir TNI. Mereka wara-wiri
mengelilingi daerah Gedung Agung yang penuh pepohonan. Seakan mengacuhkanku
yang baru beberapa hari ini tiba di kota Jogja. Aku menunggu kedatangan Raka;
teman jelekku. Selang beberapa menit aku makan jagung; jajanan khas kaki lima.
Raka datang menghampiriku. Sekarang dia sedikit lebih gondong.
“penampilan baru nih? Aku
meledeknya. Ia pun hanya tersenyum
“sengaja aku tidak mencukur rambutku.
Biar kamu tahu kalau rambutku pun menunggu kedatanganmu” jawab Raka narzis. Aku
pun menendang pelan betisnya.
“aduh, sakit tahu. Mentang-mentang baru pulang dari Surabaya mau
ngajak tarung ini” keluh Raka berlebihan. Kami pun saling bercerita tentang
aktivitas kami selama tidak bertemu. Tanpa aba-aba ia pun mangajakku ke suatu tempat.
Katanya, tempat itu spesial untukku. Aku pun ngiyem dengan apa yang menjadi permintaan Raka.
Jalan Parangtritis diinjak tanpa
maaf oleh roda sepeda motor Raka. Ia memacu motornya dengan cukup cepat. Hingga
aku pun harus berpegangan pada badannya. Barangkali, Raka ingin mengajakku ke
pantai Parangtritis. Dan benar saja, setelah kurang lebih 45 menit perjalan
kami tiba disana.
“aku mau mengajakmu menikmati sunset” ucap Raka setelah memarkir motor
disalah satu tempat parkir di pantai Parangtritis. Raka seakan mengerti apa
yang menjadi kesukaanku dari dulu—menikmati sunset
saat aku ingin menemukan jawaban atas kekhawatiran akan sesuatu. Dan kali
ini aku ingin mengetahui maksud Raka lewat SMSnya tadi malam.
Matahari seakan dipaksa pulang
keharibaannya. Jam sudah menunjukkan angka jam 5 sore. Aku dan Raka menelusuri
tumpukan pasir yang kalis; diadon air laut. Kemudian deburan ombak memecah
kesunyian pantai sore itu. Aku mencoba untuk bermain dengan air laut. Dan lazimnya
kebanyakan orang maju-mundur akibat tidak mau basah kuyup. Raka hanya duduk di
tumpukan pasir yang tumpah luas itu. kadang-kadang ia tersenyum padaku—barangkali,
tingkahku mirip anak usia tiga tahun.
Setelah aku merasa cukup bermain
maju-mundur menantang ombak. Aku menghampiri Raka. Lagi-lagi ia tersenyum aneh
melihatku. Entahlah, aku tidak tahu apa yang ada benaknya. Aku juga membalas
senyum orang jelek ini. Dengan menghela nafas panjang aku pun menanyakan maksud
SMS Raka tadi malam.
“apa aku tidak boleh mencintaimu,
Alea?” jawab Raka sambil menatap kedua bola mataku. Aku melihat ada ketulusan
dan harapan besar akan perasaannya. Aku bingung menjawab pertanyaan Raka.
“Alea. Barangkali, perasaan lebih
dari sekedar pertemanan ini karena intensitas pertemuan kita. Aku tidak bisa membohongi
perasaanku sendiri. Bahwa aku mencintaimu”
“aku tidak memaksamu untuk
memberi jawaban sekarang. Kamu bisa menjawab perasanku ini sejauh yang kamu
mau. Apa pun itu bentuknya. Setidaknya, aku jujur pada diri dan perasaanku
sendiri” ujar Raka. Aku hanya menunduk patuh dengan kenyataan bahwa Raka mulai
mencintaiku melebihi batas pertemanan kita selama ini. terlebih perkataannya
hampir sama dengan apa yang disampaikan Arya dalam suratnya beberapa tahun
lalu.
Apa yang dilakukan Raka, hampir
sama dengan apa yang dilakukan sebagian besar orang selama ini. Berteman,
membangun percaya dan jatuh cinta—berharap hubungan lebih dari pertemanan. Cinta
hadir karena keterbiasaan berjumpa; begitulah ungkapan pepatah. Tapi, Raka menyakinkanku
bahwa tidak ada yang akan berubah dengan jawabanku. Ia berjanji tetap menjadi Raka
yang selama ini menemaniku—baik aku menerima perasaannya atau pun tidak.
“Aku dan kamu akan tetap berada
dalam perjalanan panjang. Dan pertemanan kita jauh lebih tinggi dari perasaanku
ini Alea. Percayalah!” Raka kembali menyakinku. Ia tak mau dianggap sebagai
bagian orang aku ungkapkan tadi. Aku pun mempercayainya.
Lazuardi biru membentang luas diufuk
barat. Cakrawala menembus awan pekat yang terarak. Membentuk ragam sudut
dipercampuran aneka warna alami. Khas produksi alam. Tidak ada yang mampu
mencegah pulangnya matahari—selain Tuhan. Sunset
menemani kami berdua yang sedang terpaku ditengah persimpangan hati yang
tidak terjawab. Aku dan Raka menjadi bagian manusia yang ringkih atas gempanya perasaan.
Namun riang dalam laku. Matahari sudah pulang. Begitu pula aku dan Raka yang
memutuskan pulang selesai shalat maghrib. Ia mengantarkanku ke kost. Setibanya,
di depan gerbang. Ia Kembali mengagetkanku.
“Ini buat kamu Alea” ujar Raka
sambil menyodorkan bungkusan besar yang ia taruh disela motor. Cukup berat.
“ini apa?”
“udah terima aja. Kamu bisa
mengembalikannya sesukamu. Itu tentang kita” aku pun menerimanya. Ia pun tancap
gas motornya. Ia hilang dimakan ujung gang daerah bulaksumur.
Raka si orang jelek. Benar-benar
membuatku senam jantung sore ini. Dua kali kejutan; tentang perasaannya dan
bungkusan. Ternyata, isi bungkusan itu merupakan catatan Raka selama bersamaku.
Ia mencatat detail apa yang kami jalani selama ini. Termasuk kegelisahan dan
refleksinya tentang persoalan kebangsaan
belakangan ini yang kian bergejolak. Aku tidak menyangka Raka segila diluar
perkiraanku. Catatan bercover merah itu bernomor terakhir 1.007 halaman. Catatan
ini melengkapi catatan yang sudah ia berikan padaku sebelumnya. Entah, sampai
kapan aku bisa menyelesaikan membaca 2 jilid catatan orang jelek dan gila ini. Aku
pun membuka halaman terakhir jilid pertama
548
Ada kalanya calon pemimpin dilevel manapun harus belajar romantis. Romantis bukan soal rayuan melainkan untuk terbiasa dengan seni. Memimpin adalah seni. Sedang seni yang indah itu hanya bisa lahir dari kedalaman berfilsafat. Dalam atau dangkal cara berfilsafat seseorang setidaknya ia akan menjadi seorang yang romantis. Karena, romantis itu bagian dari kebijaksanaan.
Aku tidak tahu. Mengapa suasana politik hari ini semakin gerah. Kesana-kemari repot dengan persoalan isu. Celakanya, isu itu pun kian berganti sesuai dengan suasana ribut kekuasaan. Ada isu lama ada pula isu baru. Dan televisi begitu lihai dalam mengemas isu itu hingga tidak jarang melenggang diacara gosip pagi, siang dan sore hari.
Halaman terakhir jilid kedua
1.007
Ini spekulasiku. Bukan kode James Bond. Dan spekulasiku ini jauh lebih besar dar hanya sekedar melawan intrik laki-laki yang tidak pernah mati dalam serial filmnya itu. Aku bukan agen CIA, bukan pula agen Mossad dan Rusia. Aku agen dari perasaanku sendiri. Ah! Jatuh itu memang bukan soal hukum. Tapi juga soal etika. Dan spekulasiku ini adalah etika mencintai.
James. Gadis buruanku itu luar biasa. Begitu bebal kalau hanya lewat tembakan. Dianggap biasa-biasa saja. Darimu aku belajar membidik sasaran dan taktik menyerang. Karenanya, kodeku lebih tinggi darimu. Dan perasaanku itu bukan hanya sekedar tembak-tembakan tapi soal pembuktian. Kamulah gadis buruanku. Yang membaca catatanku ini. Ku pahat nama dan hatimu dalam-dalam di kitab sejarah panjang perjalanan cinta, manusia, alam dan Tuhan.
Sekian dan tidak bersambung!
Aku memang butuh waktu untuk
membaca catatan ini sampai tuntas. Aku memutuskan merebahkan diri diatas lautan
busa. Pikiranku pun melayang mencari ilham atas jawaban pertanyaan yang harus
aku putuskan. Sementara ini aku tidak tahu harus menjawab apa. Persoalan perasaan
bukan hal gampang untuk aku mulai, sejak dikeluarkannya keputusan tuhan lewat
pengalamanku yang lalu bersama Arya. aku butuh waktu.
Bukan karena kebetulan pula. Acara
TV pun menayangkan film James Bond malam ini.
Rangkaian malam yang aneh!
...
0 comments:
Posting Komentar