Spekulasi 1007



matahari bisa saja tertawa
langit berlari
bumi sakit kepala
ntahlah,
tenyata aku mencintaimu

SMS Raka yang ia kirim tadi malam. Aku kaget membacanya. Apakah memang benar Rala menyukaiku. Aku membalas SMSnya untuk menanyakan maksud pesan pendek yang ia kirim. Raka pun mengajakku untuk bertemu nanti sore di taman kota. Aku pun menyetujuinya.

Ditengah kota Jogja. Tepatnya disebelah barat lampu merah 0 KM. Aku duduk memandangi suasana orang yang hulu lalang depanku. Jalan A. Yani dari arah Malioboro yang satu arah ini, terlihat perpaduan unik antara transportasi modern dan transportasi sisa jaman penjajahan. Di jalan ini tidak susah kita mencari Andong dan Becak. Begitu pula tidak susah melihat mobil mewah. Terlebih pada akhir pekan. Orang dari beragam etnis, budaya, agama dan negara tumpah di kota ini. Begitu juga ragam kulinernya yang serba unik. Maka tidak salah jika ada penelitian bahwa Jogja memberikan tingkat harapan hidup yang lebih tinggi dibanding kota lainnya.

Ditengah sibuknya suasana kota. Ratusan burung terbang bergerombol diatas kepala seperti atraksi pesawat tempur pada hari lahir TNI. Mereka wara-wiri mengelilingi daerah Gedung Agung yang penuh pepohonan. Seakan mengacuhkanku yang baru beberapa hari ini tiba di kota Jogja. Aku menunggu kedatangan Raka; teman jelekku. Selang beberapa menit aku makan jagung; jajanan khas kaki lima. Raka datang menghampiriku. Sekarang dia sedikit lebih gondong.

“penampilan baru nih? Aku meledeknya. Ia pun hanya tersenyum

“sengaja aku tidak mencukur rambutku. Biar kamu tahu kalau rambutku pun menunggu kedatanganmu” jawab Raka narzis. Aku pun menendang pelan betisnya.

aduh, sakit tahu. Mentang-mentang baru pulang dari Surabaya mau ngajak tarung ini” keluh Raka berlebihan. Kami pun saling bercerita tentang aktivitas kami selama tidak bertemu. Tanpa aba-aba ia pun mangajakku ke suatu tempat. Katanya, tempat itu spesial untukku. Aku pun ngiyem dengan apa yang menjadi permintaan Raka.

Jalan Parangtritis diinjak tanpa maaf oleh roda sepeda motor Raka. Ia memacu motornya dengan cukup cepat. Hingga aku pun harus berpegangan pada badannya. Barangkali, Raka ingin mengajakku ke pantai Parangtritis. Dan benar saja, setelah kurang lebih 45 menit perjalan kami tiba disana.

“aku mau mengajakmu menikmati sunset” ucap Raka setelah memarkir motor disalah satu tempat parkir di pantai Parangtritis. Raka seakan mengerti apa yang menjadi kesukaanku dari dulu—menikmati sunset saat aku ingin menemukan jawaban atas kekhawatiran akan sesuatu. Dan kali ini aku ingin mengetahui maksud Raka lewat SMSnya tadi malam.

Matahari seakan dipaksa pulang keharibaannya. Jam sudah menunjukkan angka jam 5 sore. Aku dan Raka menelusuri tumpukan pasir yang kalis; diadon air laut. Kemudian deburan ombak memecah kesunyian pantai sore itu. Aku mencoba untuk bermain dengan air laut. Dan lazimnya kebanyakan orang maju-mundur akibat tidak mau basah kuyup. Raka hanya duduk di tumpukan pasir yang tumpah luas itu. kadang-kadang ia tersenyum padaku—barangkali, tingkahku mirip anak usia tiga tahun.

Setelah aku merasa cukup bermain maju-mundur menantang ombak. Aku menghampiri Raka. Lagi-lagi ia tersenyum aneh melihatku. Entahlah, aku tidak tahu apa yang ada benaknya. Aku juga membalas senyum orang jelek ini. Dengan menghela nafas panjang aku pun menanyakan maksud SMS Raka tadi malam.

“apa aku tidak boleh mencintaimu, Alea?” jawab Raka sambil menatap kedua bola mataku. Aku melihat ada ketulusan dan harapan besar akan perasaannya. Aku bingung menjawab pertanyaan Raka.

“Alea. Barangkali, perasaan lebih dari sekedar pertemanan ini karena intensitas pertemuan kita. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Bahwa aku mencintaimu”

“aku tidak memaksamu untuk memberi jawaban sekarang. Kamu bisa menjawab perasanku ini sejauh yang kamu mau. Apa pun itu bentuknya. Setidaknya, aku jujur pada diri dan perasaanku sendiri” ujar Raka. Aku hanya menunduk patuh dengan kenyataan bahwa Raka mulai mencintaiku melebihi batas pertemanan kita selama ini. terlebih perkataannya hampir sama dengan apa yang disampaikan Arya dalam suratnya beberapa tahun lalu.

Apa yang dilakukan Raka, hampir sama dengan apa yang dilakukan sebagian besar orang selama ini. Berteman, membangun percaya dan jatuh cinta—berharap hubungan lebih dari pertemanan. Cinta hadir karena keterbiasaan berjumpa; begitulah ungkapan pepatah. Tapi, Raka menyakinkanku bahwa tidak ada yang akan berubah dengan jawabanku. Ia berjanji tetap menjadi Raka yang selama ini menemaniku—baik aku menerima perasaannya atau pun tidak.

“Aku dan kamu akan tetap berada dalam perjalanan panjang. Dan pertemanan kita jauh lebih tinggi dari perasaanku ini Alea. Percayalah!” Raka kembali menyakinku. Ia tak mau dianggap sebagai bagian orang aku ungkapkan tadi. Aku pun mempercayainya.

Lazuardi biru membentang luas diufuk barat. Cakrawala menembus awan pekat yang terarak. Membentuk ragam sudut dipercampuran aneka warna alami. Khas produksi alam. Tidak ada yang mampu mencegah pulangnya matahari—selain Tuhan. Sunset menemani kami berdua yang sedang terpaku ditengah persimpangan hati yang tidak terjawab. Aku dan Raka menjadi bagian manusia yang ringkih atas gempanya perasaan. Namun riang dalam laku. Matahari sudah pulang. Begitu pula aku dan Raka yang memutuskan pulang selesai shalat maghrib. Ia mengantarkanku ke kost. Setibanya, di depan gerbang. Ia Kembali mengagetkanku.

“Ini buat kamu Alea” ujar Raka sambil menyodorkan bungkusan besar yang ia taruh disela motor. Cukup berat.

“ini apa?”

“udah terima aja. Kamu bisa mengembalikannya sesukamu. Itu tentang kita” aku pun menerimanya. Ia pun tancap gas motornya. Ia hilang dimakan ujung gang daerah bulaksumur.

Raka si orang jelek. Benar-benar membuatku senam jantung sore ini. Dua kali kejutan; tentang perasaannya dan bungkusan. Ternyata, isi bungkusan itu merupakan catatan Raka selama bersamaku. Ia mencatat detail apa yang kami jalani selama ini. Termasuk kegelisahan dan refleksinya tentang  persoalan kebangsaan belakangan ini yang kian bergejolak. Aku tidak menyangka Raka segila diluar perkiraanku. Catatan bercover merah itu bernomor terakhir 1.007 halaman. Catatan ini melengkapi catatan yang sudah ia berikan padaku sebelumnya. Entah, sampai kapan aku bisa menyelesaikan membaca 2 jilid catatan orang jelek dan gila ini. Aku pun membuka halaman terakhir jilid pertama

548
Ada kalanya calon pemimpin dilevel manapun harus belajar romantis. Romantis bukan soal rayuan melainkan untuk terbiasa dengan seni. Memimpin adalah seni. Sedang seni yang indah itu hanya bisa lahir dari kedalaman berfilsafat. Dalam atau dangkal cara berfilsafat seseorang setidaknya ia akan menjadi seorang yang romantis. Karena, romantis itu bagian dari kebijaksanaan. 
Aku tidak tahu. Mengapa suasana politik hari ini semakin gerah. Kesana-kemari repot dengan persoalan isu. Celakanya, isu itu pun kian berganti sesuai dengan suasana ribut kekuasaan. Ada isu lama ada pula isu baru. Dan televisi begitu lihai dalam mengemas isu itu hingga tidak jarang melenggang diacara gosip pagi, siang dan sore hari.
Halaman terakhir jilid kedua

1.007
Ini spekulasiku. Bukan kode James Bond. Dan spekulasiku ini jauh lebih besar dar hanya sekedar melawan intrik laki-laki yang tidak pernah mati dalam serial filmnya itu. Aku bukan agen CIA, bukan pula agen Mossad dan Rusia. Aku agen dari perasaanku sendiri. Ah! Jatuh itu memang bukan soal hukum. Tapi juga soal etika. Dan spekulasiku ini adalah etika mencintai. 
James. Gadis buruanku itu luar biasa. Begitu bebal kalau hanya lewat tembakan. Dianggap biasa-biasa saja. Darimu aku belajar membidik sasaran dan taktik menyerang. Karenanya, kodeku lebih tinggi darimu. Dan perasaanku itu bukan hanya sekedar tembak-tembakan tapi soal pembuktian. Kamulah gadis buruanku. Yang membaca catatanku ini. Ku pahat nama dan hatimu dalam-dalam di kitab sejarah panjang perjalanan cinta, manusia, alam dan Tuhan. 
Sekian dan tidak bersambung!
Aku memang butuh waktu untuk membaca catatan ini sampai tuntas. Aku memutuskan merebahkan diri diatas lautan busa. Pikiranku pun melayang mencari ilham atas jawaban pertanyaan yang harus aku putuskan. Sementara ini aku tidak tahu harus menjawab apa. Persoalan perasaan bukan hal gampang untuk aku mulai, sejak dikeluarkannya keputusan tuhan lewat pengalamanku yang lalu bersama Arya. aku butuh waktu.

Bukan karena kebetulan pula. Acara TV pun menayangkan film James Bond malam ini.

Rangkaian malam yang aneh!


Link gambar (KLIK
...

0 comments: