Saya Non Muslim


Seperti tiap hari Minggu biasanya. Sekitar jam 06.00. 

Ia mulai memacu langkahnya dengan cukup cepat. Setelan bajunya masih seperti 6 tahun lalu saat pertama kali kami bertemu. Baju khas tahun 70-an. Tas jinjingnya pun ia kalungkan di lengan yang setengah ditekuk. Begitu pula sepatu hitamnya yang mulai tidak menemukan pasar. Biasanya, ia berangkat lebih pagi. Barangkali, bukan karena ia telat bangun. Melainkan ada hal lain. Karena sebelum subuh terdengar suara panci dari rumahnya yang hanya 2 kamar itu. Lonceng Gereja sudah berkumandang setengah jam selesainya shalat subuh.

Nenek tua itu—mau berangkat kebaktian di Gereja sebelah barat Polresta DIY. Yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumahnya. Kebiasaan nenek tua itu bisa kita temui setiap hari Minggu pagi di kampung Suronatan. Rumahnya, tepat dibelakang Masjid Taqwa Suronatan—hanya beberapa langkah. Ia seorang Kristiani yang taat. Tak pernah aku melihat hari pintu rumahnya terbuka saban hari Minggu pagi. Jualannya pun ia pensiunkan untuk sementara waktu sampai ia pulang kebaktian. Usia nenek sekitar 80  tahun-an. Badannya pun masih terasa sehat bugar.

Kehidupan si nenek, diusia tuanya hanya tinggal sendiri. Anak-anaknya pun sudah ikut keluarga suaminya. Rumah yang ia tempati berukuran 5x6 meter. Terbagi atas kamar tidur, dapur dan tempat berjualan sembako. Cukup sesak memang. Sedang kamar mandinya ia menumpang di masjid. Terlepas dari kehidupannya yang harus mengelus dada. Ia fasih berbahasa Jepang hingga tidak jarang ada siswi Mu’allimat belajar bahasa Jepang pada perempuan akhir senja itu.

Suatu hari—aku melihat ia di pengajian ibu-ibu RT. Bukankah seorang non muslim? Itu pertanyaan awal yang ada dalam benakku. Lambat laun aku pun bertanya pada saudaraku yang aktif dalam pengajian itu. Ia pun menceritakan bahwa si nenek hampir tidak pernah absen mengikuti pengajian mingguan ini, bahkan datang lebih awal. Ia juga menyimak orang membaca al Qur’an dan ceramah ustad. Bahkan tidak lupa ia memakai selendang (bisa dibuat kerudung) yang ia kalungkan di bahunya. Sejak saat itu pun aku merasa kurang nyaman saat ada khatib naik mimbar dan mempropaganda intoleransi terhadap mereka yang non muslim. Tanpa ada rasa tahu bahwa disekitar masjid ada juga yang non muslim.

Nenek tua itu mencontohkan dengan perbuatan bahwa perbedaan agama (keyakinan) bukan secara merta menimbulkan perbedaan kebersamaan sebagai umat beragama. Konflik antar atau intra umat beragama yang terjadi selama ini mestinya dapat diselesaikan dengan cara berbuat. Setidaknya, dasar persamaannya kita berada dalam warga negara—dan kemanusiaan secara lebih luas; sebagai bentuk ajaran universal dalam agama manapun.

Islam mampu hidup secara berdampingan dengan agama apapun. Begitu pula agama apapun harus menerima keberadaan islam. Tanpa harus menanamkan bentuk permusuhan dalam bentuk apapun.Baik mayoritas ataupun minoritas

Semoga Jogja tetap menjaga identitas dirinya sebagai City of Tolerance  

Link gambar (KLIK)

0 comments: