percaya padaku ini bukan nafsukuperasaan yang utuh dari dalam hatikupercaya padaku ini bukan akalkukeinginan yang tulus tuk dapatkan hatimu
“Ibumu masuk rumah sakit, kamu diminta untuk menjenguknya” bujuk
laki-laki tua yang berambut putih itu. Dia begitu sering menemuiku untuk
menjenguk rumahnya. Ia menyebut dirinya sebagai kakekku. Sayang, aku tidak
pernah mengenalnya—jangan-jangan dia hanya mengaku-ngaku saja.
“untuk apa perempuan itu masih mengharapkanku. Bukankah ia tidak
menganggapku anak” bantahku. Kesabaranku terasa mengering atas seseorang yang
menyebut diri sebagai—ibuku. Aku muak!
Kedatangan laki-laki tua itu, sudah yang kesekian kalinya menemuiku. Tahukah,
mengapa aku begitu membenci perempuan yang mengaku sebagai ibu itu. Aku ini
anak jadah—anak yang lahir diluar
nikah. Setelah aku lahir, aku dibuang di tong sampah 26 tahun silam. Bapak
biologisku pun kabur entah kemana. Ia
tak mau mempertanggung jawabkan apa yang ia perbuat. Apalagi menerima
keberadaanku.
Untung saja Tuhan masih berbelas kasih kepadaku. Ia mengutus pengemis yang
kemudian memungutku. Pengemis itu menitipkanku disebuah panti asuhan Harapan
Bunda. Tempat dimana ia membagi sebagian hasil memulungnya dengan membelikan
susu para anak yang terbuang; seperti aku ini. Disanalah aku dibesarkan tanpa
mengetahui siapa itu keluargaku. Aku mendengar cerita kecilku dari kakek tua
yang ada disebelahku ini. Mereka merasa
bersalah karena tidak menerima keberadaanku. 24 tahun mereka mencari
keberadaanku. Sampai akhirnya mereka pun mencium keberadanku di panti asuhan
ini—dan dengan seenaknya aku ingin dibawa pulang.
Ah, gampang sekali logika mereka. Menyebut keluarga—tapi
aku dicampakkan begitu saja. Aku butuh waktu untuk melawan egoku dan rasa marah
yang meledak setelah aku pendam selama bertahu-tahun. Kurang lebih 2 minggu
usai mengobrol panjang dengan pengemis yang memungutku. Aku pun memutuskan
untuk menemui ibu yang melahirkanku—orang yang juga membuangku. Ini hanya
karena alasan si pengemis tua itu “tiap
keluarga pasti menemukan jalan pulang. Kebencianmu atau nafsu amarahmu tidak akan
pernah sirna sebelum kamu tahu bahwa keluarga merupakan surga dimana kamu untuk
pulang. Binatang juga punya jalan pulang seperti manusia. Tapi binatang tidak
punya akal untuk menafsirkan cinta. Dan manusia memiliki keduanya; akal dan
naluri menafsirkan cinta”
Sore menjelang senja. Saat burung gereja tak berani berkelaran diatas
altar. Aku berani membuka pintu rumah sakit Medika nomor 47. Jantungku berdetak
makin kecang. Seperti ada ikatan yang lama terlepas dan ingin bersatu kembali.
ini cinta, bukan yang lainnya
ini cinta, bukan yang lainnya
Aku terpaku dibelakang pintu. Kakiku terasa kaku. Sedang dihadapanku
ada perempuan yang terbaring lemas. Dihidungnya terpasang alat bantu
pernafasan. Lengan kirinya tertancap selang infuse. Perempuan itu—ibu yang melahirkan dan sekaligus
orang yang membuangku ke tong sampah. Dan sekarang dia terkapar di ranjang pesakitannya.
“kesini anakku. Peluk Ibu” ucap perempuan itu sama-samar.
Aku masih saja beranjak dari balik pintu. Bathinku kembali kerkecamuk.
Antara rasa benci dan kasihan. Perempuan itu makin sering memanggilku. Menghentakkan
kedua tangannya. Menggoyangkan kedua kakinya. Air matanya pun tumpah begitu
deras. Barangkali, kalau ia dalam keadaan sehat sudah menyambarku. Ia seperti
ingin memelukku.
“sini anakku. Ini Ibu-mu” ronta perempuan itu. Aku masih saja terpaku.
tatap jelas mataku, jangan ragukan itu
lihat dalam mataku ooh kaulah lamunan itu
Dengan perasaan yang berkecamuk. Aku pun paksakan kakiku untuk
melangkah ke samping ranjang perempuan yang sudah mulai beruban itu. Ada nanar,
harapan dan lautan cinta dari bola mata perempuan dihadapanku ini. Pipinya yang
mulai berkriput itu pun terairi oleh banjir air matanya. Aku menatap matanya
dalam-dalam. Dan..
“Ibu…”
ini cinta, bukan yang lainnya
ini cinta, bukan yang lainnya
Tanpa aba-aba aku pun memeluk perempuan itu. Aku tidak bisa membohongi
perasanku yang paling dalam bahwa selama ini yang aku butuhkan adalah pengakuan
dan kasih sayang seorang ibu—bukan apa-apa. Inilah pertama kalinya aku
memanggil kata—Ibu.
Kebencian; nafsu amarahku pun terusir. Luncur bersama cium pada telapak
tangan dan kaki Ibu yang melahirkanku. Aku tidak mau melihat masa lalu yang
diperbuatnya. Aku tidak mau membalas keadaan rasa benci dimasa lampau dengan benci
dimasa depan. Aku ingin membalas rasa benci itu dengan cinta. Setidaknya, Ibuku
sadar bahwa ia masih mau menerima keberadaanku—sebagai anaknya.
2 minggu setelah pertemuanku dengan Ibuku. Ia pun menghempaskan nafas
terakhir. Tuhan mengambilnya setelah aku mulai menabur benih pengabdian
padanya. Membalas waktu kami yang terbuang. Tapi aku tahu Tuhan selalu
mempunyai rencana terbaik untuk hambanya.
Sedikit pun aku tidak pernah berharap ada orang mengalami seperti yang
aku alami. Apalagi mendengar perempuan hamil diluar nikah, ibu membuang anaknya
atau bapak memperkosa anaknya. Keluarga
merupakan surga dimana kamu untuk pulang.
percaya padaku ini bukan nafsuku
perasaaan yang utuh dari dalam hatiku
0 comments:
Posting Komentar