Puing


assalamu’alaikum” salam seorang dari balik pintu ruang praktek koasku. Aku membalas salam sambil mempersilahkan masuk. Perempuan itu cantik, putih, berambut poni dan tingginya sekitar 165 meter. Aku pun mempersilahkan duduk perempuan itu di kursi depan meja kerjaku—sama seperti dengan pasien lainnya.

“maaf, keluhannya apa mbak” kataku mendahului pembicaraan. Perempuan itu hanya tersenyum kecil. Seakan ada yang mau dia sampaikan padaku

nggak kok dokter. Aku hanya ingin ketemu dengan anda. Anda dokter Alea Santana kan?” jawab perempuan itu.

“Iya, Saya Alea Santana” Aku pun mengheran terhadap maksud kedatangan perempuan ini.

“aku Malika Anwar. Adik dari Kak Arya yang dulu pernah menjadi pacar Alea” ujar perempuan itu yang ternyata Malika yang dulu pernah menulis surat padaku terkait keberadaan Arya; mantan pacarku yang sudah meninggal.

Selama ini aku memang tidak pernah bertemu muka dengan Malika. Terlebih, dia tinggal di Surabaya. Arya pernah menceritakan padaku kalau dia mempunyai adik perempuan yang sangat ia cintai. Dan sekarang perempuan itu tampak dihadapanku. Alam pikiranku pun kembali pada beberapa tahun lalu. Sebuah masa dimana aku sudah mengunci untuk tidak mengungkitnya kembali—masa lalu ku bersama Arya.

Aku mengobrol sekitar 10 menit dengan Malika. Waktuku terbatas, aku dalam jam kerja.

“nanti sore kita ketemu di daerah pecinan aja ya. Sekalian jalan-jalan di Surabaya” tawar Malika padaku

“oke, boleh” jawabku. Tak lama kemudian Malika pun pamit. Aku juga melanjutkan pekerjaan mengabdiku sebagai tugas kemanusiaan lewat pentingnya menjaga kesehatan. Pimpinan di RS ini cukup menghargai mereka yang sedang koas. Hal itu ditandai dengan pemberian ruangan tersendiri disebelah dokter tetap. Aku berada di klinik anak.

Ada banyak hal yang aku peroleh dari klinik anak. Khususnya, saat bersinggungan dengan anak yang kemudian divonis terkena kanker darah beberapa hari lalu. Sang anak yang berusia 6 tahun itu. memeluk erat-erat ibunya yang mendampinginya sambil menangis. Tepat waktu aku menyambangi bangsal anak itu dirawat

“Ma, adik nggak apa-apa kok sakit. Yang penting Mama jangan sedih dan menangis terus” ujar anak itu. Aku pun juga meneteskan air mata melihat keharuan mereka berdua. Sang ibu tidak menyangka sang anak mampu mengatasi penyakitnya sendirian tanpa harus banyak mengeluh. Meski tiap minggu sang anak harus segera cuci darah. Si anak begitu sabar menjalani kehidupannya yang bisa saja sewaktu-waktu merenggut nyawanya—dan lagi-lagi aku teringat dengan Arya.

Sore harinya, aku menemui Malika yang sudah menungguku di daerah Pecinan di Kota Surabaya. Daerah yang selama ini terkenal dengan kehidupan kongkow malam para keturunan China Tionghoa. Malika pun mengajakku untuk pergi ke pinggiran kota Surabaya. Padahal awalnya aku berfikir kalau Malika mau mengajakku untuk makan di Pecinan malam ini.

“sudah ikut aja” ujar Malika sambil memacu mobilnya.

Sekitar 15 menit perjalanan. Sampailah kami disebuah rumah yang penuh dengan rerimbunan tanaman. Menandakan para penghuni rumah ini bermental go green. Malika mengajakku masuk ke dalam rumah dan ternyata ini merupakan rumahnya; juga rumah Arya. Dinding rumah itu terpaku berbagai lukisan dari bermacam corak, foto keluarga, rentetan piala penghargaan. Namun, yang membuatku tercengang disana juga terpampang sketsa wajahku—sketsa yang dulu pernah aku berikan pada Arya.

“wah, Alea sudah datang to..” sapa seorang laki-laki tua dari belakangku. Disampingnya ada seorang perempuan yang hanya selisih beberapa tahun dari usia laki-laki itu

“kami orang tua Malika” tambah perempuan itu. Aku pun bersalaman dengan mereka. Kemudian mereka mangarakku ke ruang tengah.

Malika mengetahui keberadaanku lewat jejaring social. Maklum saja, aku cukup sering posting keberadaanku disana. Seluruh anggota keluarga dalam rumah ini mengucapkan banyak terima kasih padaku karena aku telah bersedia menemani Arya dalam menemukan pandangan hidupnya. Mereka pun menceritakan saat-saat dimana Arya menjalani sakit. Meski akhirnya mereka harus kehilangan anggota keluarga yang sangat mereka cintai. Bahkan untuk mengenang keberadaannya, segala hal yang berkaitan dengan Arya mereka simpan; termasuk sketsa gambarku. Bagi mereka, Arya selalu ada disekeliling mereka—dan selalu bangga dengan Arya.

Kehangatan keluarga ini seakan membawaku menemukan keluarga baru di kota terbesar kedua di negeri ini. Mereka juga mengajakku untuk makan malam bersama. Aku seperti orang yang sudah lama mengenal keluarga ini. Barangkali, memang tidak pernah salah kalau silaturrahim akan menambah usia dan keluarga. Malika mengantarku pulang saat waktu mengajak tengah malam.

“kami adalah keluargamu. Tolong jangan pernah putuskan hubungan kekeluargaan kita. Bagi kami, Alea wujud lain dari Kak Arya. Setelah Kak Arya meninggal di rumah kami hanya bertiga saja. Jadi sekarang kami tidak ingin kehilangan anggota keluarga yang kedua kalinya” pesan Malika waktu mobil memasuki tol Kota Surabaya.

Hari-hari berikutnya, aku lebih sering menyambangi keluarga baruku itu. Disana aku mulai menceritakan banyak hal yang aku hadapi selama ini. Dan tidak jarang mereka memberikan saran. Aku juga menceritakan pada mereka tentang teman jelekku di Jogja—Raka.

Kota Surabaya mengutuhkan puing lama kisahku; cinta yang menemukan keluarga baru. Aku sangat bersyukur akan hal itu.

Terima Kasih Tuhan..

Link gambar (klik)

...

0 comments: