di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
benturan dan hempasan terpahat di keningmu
kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur lelah
namun kau tetap tabah, hmm
Makin lama pengamen di bus antar kota itu semakin bersemangat memetik
gitar. Lagu Titip RIndu Buat Ayah Abiet
G. Ade yang dibawakannya pun membawa alam sadarku menyeberangi batas waktu
sekian tahun lalu. Kenangan dan nasehat Ayah yang kadang-kadang aku sepelekan.
Dan kadang pula berujung sesal. Tak ada
daging betis itu di depan—ujarnya tiap kali ku merundung sesal. Sesal luka
terjatuh karena sibuk bermain.
Ayah, orang pertama yang mengajariku tentang bagaimana menempatkan
etika diatas perebutan kuasa. Baginya kekuasaan tidak lepas pertengkaran ambisi
dan penyempurnaan alibi. Dan keduanya sama-sama terjatuh pada lubang ego yang
tidak bisa dipilih. Karenanya, etika itu hadir sebagai pengerem dan pengendali
atas semua apa kita lakukan.
meski nafasmu kadang tersengat
memikul beban yang makin sarat
kau tetap bertahan
Saat usiaku menginjak 5 tahun. Ayah mengajakku ke pasar malam. Dibelikanlah
aku kembang gula berwarna merah. Dan juga boneka bayi. Khas pasar malam. “hanya ini yang dapat ayah kasih buat adek”
kata Ayah sambil tersenyum dan mengangkat kedua alisnya.
Aku melompat-melompat sebab kali pertamanya Ayah mengajakku ke pasar
malam. Dan membelikanku boneka. Aku yang belum tahu bagaimana cara mengucapkan
terima kasih. Hanya memeluk Ayah dengan sangat erat. Erat sekali..
engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hmm..
namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setia
Selang 1 tahun kemudian. Tepat waktu aku menginjak tahun pertama
sekolah; kelas 1 SD. Banyak orang yang mengerumuni pagar rumahku. Diantara
mereka tidak sedikit yang mengenakan peci dan baju hitam. Padahal diujung
lorong gang masuk rumah sudah terdapat bendera putih kecil yang diikatkan pada
tiang telpon. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Aku pun mempercepat langkahku. Cepat, makin cepat, sangat cepat dan
akhirnya aku berlari untuk segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di
rumahku. Hingga banyak kerumunan orang bertamu. Disampainya di daun pintu
rumah. Aku lihat kakak sedang menangis tersedu-sedu. Di depannya ada bungkusan
panjang kain putih. lagi-lagi aku tidak tahu.
“Adik…” raung Kakak waktu aku masih terpaku memegang rasa bingung.
“Ayah meninggal dik.”
Deg! Dadaku terhentak mendengar perkatan Kakak
yang terakhir. Aku pun menerobos diantara kerumunan orang yang sedang mengaji.
Aku sambar jenazah Ayah yang sudah terbungkus kain kafan. Aku goyangkan lengan
Ayah yang sudah melingkar diatas dada. Laut dari kedua bola mataku pun tumpah dengan
sendirinya.
“Ayah, bangun…” kataku yang aku ucapkan secara berulang-ulang. Aku telah
kehilangan kedua orang tuaku.
ayah, dalam hening sepi kurindu
untuk menuai padi milik kita
tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
anakmu sekarang banyak menanggung beban
Sejak Ibu meninggal dunia waktu melahirkanku. Hanya Ayahlah yang
membesarkan aku dan kakakku. Pekerjaannya pun menjadi ganda. Menjadi seorang
ayah yang mencari nafkah untuk keluarga sekaligus menjadi ibu yang menyiapkan
segala bentuk keperluan kami sehari-hari.
Dulu, aku dan Kakak pernah meminta agar Ayah menikah lagi. Dan aku
bisa mempunyai seorang Ibu yang selama ini hanya aku jumpai dan aku rasakan
lewat album foto. “Ayah, masih mampu
mengurus kalian berdua. Bagi Ayah, Ibu kalian merupakan syahadat pertama dan
terakhir buat buat Ayah” Begitulah jawaban Ayah. Maka, sejak saat itu tidak
pernah aku dan kakak menanyakan kembali tentang perlunya ibu baru; ibu tiri.
Setelah Ayah meninggal menyusul Ibu. Aku dan kakak diasuh oleh sanak famili
dari keluarga Ibu—sekarang usiaku 22 tahun dan sudah tamat sarjana. Bait
terakhir lagu Abiet G. Ade yang dinyanyikan pengamen itu anakmu sekarang banyak menanggung beban merupakan beban rindu untuk
Ibu dan Ayahku. Pengamen itu turun diperempatan lampu merah usai menagih upeti
pada setiap penumpang. Aku juga mengusap air mataku yang geras mengalir.
Tuhan, aku titip kedua orang tuaku. Tempatkan mereka ditempat terindah
disisiMu—begitu gumam hatiku.
Pliss.. Ya Tuhan—hatiku kembali bergumam.
“Amien..” ucapku tanpa aku sadari.
Link gambar (klik)
Link Video (klik)
0 comments:
Posting Komentar