Melihat Tawuran Lewat GTO



Beberapa hari ini publik sedang dicengangkan dengan pemberitaan tentang tawuran dikalangan anak sekolah. Kasus terbaru adalah tawuran antara SMAN 70 dan SMAN 6 Jakarta 24/9/2012 yang menewaskan Alawy YP salah satu siwa SMA 6 yang tidak ikut terlibat dalam ritual tawuran. Selang dua hari kemudian 26/9/2012 terjadi tawuran pelajar kembali di Manggarai hingga menewaskan Deni Yanuar dengan cara dibacok. Kasus tawuran ini pun mendapat perhatian Mendikbud Mohammad Nuh dan beberapa anggota DPR. Barangkali, karena sudah menjadi sorotan publickakibat gencarnya pemberitaan diberbagai media massa.

Tawuran, bullying ataupun pembentukan/kekerasan antar gank anak sekolah sebenarnya sudah berlangsung lama dan juga sudah terjadi diberbagai daerah. Jika meminjam ungkapan Mendikbud kasus tawuran merupakan gejala kompleksitas sosial. Hal tersebut dapat diindikasi dari terlibatnya oknum diluar sekolah (alumni), kurangnya control keluarga, salahnya pergaulan, kurangnya kegiatan positif dan lainnya. Sehingga kejadian tawuran seakan menjadi budaya dan terorganisir secara sistematis.

Diluar konteks persoalan tawuran sistemik tersebut. Maka budaya kekerasan di kalangan anak sekolah. Meneringatkan saya pada komik manga Great Teacher Onizuka (GTO) yang kemudian di filmkan dan dibintangi oleh Takashi Sorimachi. Tokoh Eikichi Onizuka merupakan seorang guru yang mempunyai kekhasan dalam mendidik murid—meski awal untuk menjadi guru hanya karena persoalan guru cantik yang dincarnya.

Onizuka merupakan mantan pemimpin besar gang motor. Sehingga dia menjadi guru yang tidak bisa dikontrol oleh aturan. Bahkan keluar dari etika sekolah yang selama ini di oleh junjung para guru. Onizuka menjadi wali kelas 2 C yang anak-anaknya terkenal susah diatur, badung bahkan mengerjai Onizuka agar cepat keluar dan berhenti menjadi guru. Dengan kata lain guru dan murid menjadi actor yang tidak bisa lagi atur oleh aturan sekolah.

Namun, hal yang dilakukan oleh Onizuka. Ia menyelesaikan semua persoalan muridnya satu persatu. Bahkan ada seorang murid yang sok jagoan pernah diancam diatuhkan dari atas gedung dengan hanya dipegang kakinya saja. Ada pula murid nakalnya yang mau dikubur hidup-hidup ataupun Onizuka menyelesaikan masalah percintaan para muridnya. Akhir cerita, Onizuka menjadi guru yang sangat disegani oleh para murid di sekolah tersebut—manga GTO ini terbagi atas 25 seri buku atau 12 episode.

Hal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dari manga GTO. Ialah untuk mengatasi kekerasan dikalangan anak sekolah; termasuk tawuran. Tidak hanya saja dengan cara penindakan hukum pada saat jatuhnya korban tawuran melainkan keterlibatan guru yang mempunyai kekhasan tersendiri. Karena pengalaman saya yang pernah terlibat dalam dunia tawuran. Proses tawuran juga merupakan doktrin para senior, tercorengnya nama sekolah jika diserang sekolah lain, eksistensi diri—dan tentunya, perasaan bangga yang luar biasa ketika sekolah cukup disejani oleh sekolah lain. Sedangkan, aparat kadang-kadang malah menambah aktor yang dibenci karena ketika para siswa tawuran ditangkap selain mengatarkan kepihak sekolah, absen dan laporan wajib, surat kepada orang tua juga digunduli para siswa. Penggundulan ini yang kadang menjadi hal tidak bisa diterima pelajar yang (ber)tawur.

Keberadaan guru yang selama ini kadang masih dianggap sebagai pengajar mestinya sedikit mengarak diri pada pola mendidik. Guru di sekolah yang terkenal budaya tawuran sudah saatnya menghadirkan guru yang tidak saja kreatif dalam mengajar melainkan juga dalam membaca pribadi para siswa. Kalau pun sudah kronis tipikal guru Eikichi Onizuka bisa saja menjadi tools untuk menyadarkan para siswa. Meski hal ini akan mendapatkan perdebatan panjang—tapi bukankah, lain lubuk lain pula ikannya.

Barangkali, budaya tawuran dikalangan pelajar tidak hanya menyebabkan teror dikalangan sekolah terkait melainkan juga dikalangan masyarakat. Maka kalau pun tidak mau mengikuti ala GTO karena masih sangat mangagungi budaya aturan formal sekolah. Pola penggantian lebel sekolah/badge pada seragam untuk siswa juga menjadi alternatif untuk mengurangi tawuran peserti yang dilakukan oleh Herry Zudiyanto Walikota Kota Yogyakarta yang mengganti lebel sekolah dengan “Pelajar Kota Yogyakarta”—tepatnya, pola dapat mengecoh para siswa yang mau menyerang anak sekolah lain atau tawuran.

Tawuran pasti berlalu. Semoga!

Link gambar (klik)

0 comments: