Kemarin, setelah jarum jam melewati angka jam 13.00 hampir semua
lembaga survey memberikan laporan penghitungan cepat (quick cuont) Pemilukada DKI putaran kedua yang menyatakan bahwa
pasangan Jokowi-Basuki Ahok unggul suara dibangdingkan pasangan Foke-Nara.
Menurut lembaga survey LSI Pasangan Foke-Nara 46,32 % dan Jokowi-Basuki 53,68
%, quick count Metro TV pasangan
Foke-Nara 45,89 % dan Jokowi-Basuki 54,11 %. Pemilukada DKI memang cukup mempunyai magnet tersendiri khususnya dikalangan anak muda; kreatif, muda dan baru. Barangkali karena DKI merupakan ibu kota Indonesia.
“Jakarta Baru” begitulah
kurang lebih apa yang menjadi jargon kampanye Jokowi-Basuki Ahok. Kemudian diperkuat
dengan rencana Kartu Sehat dan Kartu Pendidikan yang program sebelumnya
dianggap berhasil di daerah yang pernah dipimpin pasangan kandidat ini. Dengan
adanya hasil quick count oleh
beberapa lembaga survey dapat dianggap pergeseran selisih suara yang ada di KPU
DKI tidak akan mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Terlebih lembaga survey
menggunakan margin error 3 %.
Hampir seluruh media elektronik dan cetak hinnga pagi ini masih memberikan
sajian utama berita tentang kemenangan versi quick count pasangan Jokowi-Basuki Ahok mengalahkan berita terorisme dan korupsi yang cukup populer selama ini. Meski dalam perjalanannya Jokowi-Basuki Ahok mendapat terpaan isu sara dan hal tersebut cukup nampak jelas
dalam iklan pasangan Foke-Nara yang menggunakan shalawat dalam bentuk format kampanye dibeberapa televisi; termasuk
pola dakwah Bang Haji Roma Irama dalam sebuah pengajian.
Ditengah histeria kemenangan Jokowi-Basuki ada beberapa hal yang dapat kita ambil pelajaran dalam Pemilukada
DKI kali ini. Pertama, pola kampanye
yang makin kreatif. Jokowi-Basuki Ahok menggunakan bentuk symbol “baju kotak-kotak” padahal lazimnya
Pemilukada dan bahkan Pilpres yang terjadi selama ini menggunakan pola tebar
kaos bergambar calon pasangan, selebaran, bom sepanduk juga orkes dangdut. Selain
itu, penggunakan media jejaring social Facebook,
Twitter, YouTube, Games dan Boneka juga menjadi factor lain dalam
penyampaian visi dan misi pasangan ini.
Kedua, abrasi kepercayaan terhadap partai politik. Terlepas pasangan
Jokowi-Basuki Ahok juga diusung oleh dua partai PDIP dan Gerinda. Semestinya, pasangan
Foke-Nara sebagai pasangan yang mendapat dukungan partai besar Partai Demokrat,
PPP, PKS, PAN dan beberapa partai lain mampu mendulang banyak suara. Faktanya,
dalam perjalanan Pemilukada DKI kali seakan-akan mesin partai mogok. Hal tersebut
terbukti dengan kalahnya pasangan Foke-Nara versi
quick count.
Ketiga, kekuatan sosok. Keberadaan Jokowi-Basuki
Ahok dengan beberapa gagasan program. Juga diperkuat dengan kekuatan sosok
mereka. Jokowi dengan kepribadian santun khas solo, sedikit berparas lugu,
murah senyum dan suka menyapa masyarakat menjadi kekhasan tersendiri ditengah
hiruk-pikuk penghuni kota Jakarta yang mulai berpola hidup serba “elu, Gue”. Sedangkan, rekan pasangannya
Basuki Ahok merupakan etnis Tionghoa dan calon non muslim pertama yang berani
maju dalam kontestasi politik ibu kota. Setidaknya, keberadaan Basuki Ahok
dalam merangkul para etnis Tionghoa yang rata-rata menjadi penguasa perdagangan
di Jakarta dan juga daerah lain.
Keempat, kelegowoan sikap politik. Telepon, ucapan
selamat dan pengendalian massa pendukung Foke-Nara seperti yang kita konsumsi
diberbagai media pasca laporan hasil quick
count. Memberikan kelegowoan sikap politik yang cukup baik sebab keduanya
dapat memberikan kedewasaan politik pada masyarakat meski sudah dianggap
sebagai cap “kalah-menang”. Tapi seperti
itulah proses politik. Dan pemilukada DKI kali ini tidak ada ribut-ribut yang cukup mencolok atas perbedaan hasil di masing-masing pasangan.
Terlepas dari segala kontestasi pertarungan politik di DKI. Masyarakat
membutuhkan para sosok pemimpin yang berani membuat gebrakan program perubahan.
Kejenuhan atas janji politik calon penguasa dan partai politik seakan menjadi
persoalan yang sengaja diberi catak tebal oleh masyarakat bahwa “janji” ditepati maupun “diingkari”. Dan untuk memberikan rasa
ingat bagi kita semua; khususnya mereka yang warga DKI inilah “visi dan misi” juga "program" Jokowi-Basuki Ahok pada saat kampanye.
Maka, ditengah histeria kemenangan Jokowi-Basuki Ahok versi quick count. Harus disadari bahwa hal
ini merupakan fenomena politik bukan sekedar “hore-hore” kemenangan individu belaka. Karena, hakikat keduanya
merupakan pasangan yang diusung oleh partai politik. Dan tentunya, kedepan si
partai politik juga mempunyai agenda lain diluar Pemilukada DKI. Semua ini hasil keputusan politik!
Tinggallah tugas kita; juga media menjadi pengontrol atas seluruh
keptusan politik yang terjadi. Dan selamat untuk pasangan Jokowi-Basuki Ahok. Semoga amanah dan espektasi besar warga yang akan anda pimpin
dapat menjadi tauladan para calon pemimpin bangsa ini.
Link gambar (disini)
0 comments:
Posting Komentar