Waktu terus berlalu meninggalkan detik yang terus berguguran. Sejenak
pun waktu tidak membiarkan kita menoleh kebelakang. Untuk sekedar memperbaiki
atau merubah apa yang sudah kita lakukan. Dari semua yang kita lakukan apabila
baik kita akan tersenyum. Kalau pun buruk kita hanya menyesal—Waktu memang
tidak punya belas kasihan; termasuk pada kita berdua kekasihku.
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, esok dan seterusnya. I love you honey. Ajari aku untuk selalu lebih baik.
Pesanmu di inbox Facebook ku pagi ini. Aku cukup tersanjung sayangku.
Meski rasanya, tidak perlu kamu mengatakan itu semua; karena ku juga mencintaimu.
Aku cukup tertarik dengan pesan terakhirmu Ajari
aku untuk selalu lebih baik. Hingga seisi tempurung kepalaku terasa gempa
dahsyat. Karena jawabannya; bagaimana
caraku bisa mengajarimu menjadi lebih baik.
Sayangku. Untuk menjelaskan semua itu. Ijinkalah aku menceritakan
kisah seorang pedagang Soto dan sebotol kecap. Saban hari Si Abang soto
berjualan di warungnya. Konon, resep soto yang dimilikinya sudah menginjak
generasi yang ke-4. Dengan kata lain soto yang dijualnya sudah mempunyai tempat
tersendiri bagi para penikmat soto karena sudah berdiri puluhan tahun. “Soto ini beda dengan soto yang lain”
begitulah biasanya ungkapan orang yang pernah makan soto di warung itu.
Suatu hari, ada kejadian diluar nalar si Abang Soto. Pabrik kecap yang
selama ini mensuply kebutuhan kecap
di warungnya kolaps—tutup!. dikarenakan
sudah tidak mampu bersaing dengan produk pabrik kecap modern. Selama ini
pembuatan kecap di pabrik kecap tersebut menggunakan alat sepuh yang tidak bisa lagi bertahan karena dimakan usia. Kemudian ditambah
lagi beban harga kedelai yang kian melonjak. Sentak, si Abang Soto kebingungan
sebab tutup mendadaknya pabrik kecap tersebut tidak bisa ia antisipasi
sebelumnya.
Satu-satunya cara menyediakan kebutuhan kecap warung sotonya. Si Abang
Soto mengganti kecap sotonya dengan merk nomor satu. Namun, terjaminnya mutu
baik tidak bisa menjamin rasa terhadap sedap sotonya. Pelanggan pun protes
karena soto yang mereka nikmati sudah mengalami perubahan rasa—si Abang Soto
pun tetap berspekulasi dan bereksperimen dengan berbagai merk kecap; sampai dia
menemukan rasa yang sesuai dengan rasa soto yang selama ini menjadi kebanggaan
dari para pendahulunya. Meski sebagian pelanggannya mengabur.
Sayangku, cerita diatas ingin mengajak kita untuk berfikir untuk lebih
mandalam. Si Abang Soto kehilangan banyak waktu hanya untuk mencari kecap
diantara sekian merk kecap bermutu baik yang sesuai dengan keinginannya.
Seperti yang sudah kita ketahui “tidak
ada kecap nomor dua”. Maka semua kecap yang dia pakai merupakan kecap nomor
satu. Jika saja si Abang Soto mampu menjalin kerjasama dengan pabrik kecap
dalam pembuatan kecap. Kemudian dia menambah warung dibeberapa daerah dengan
cara waralaba. Maka, tidak menutup warung sotonya semakin tersohor dan pabrik
kecap langganannya tetap menyala.
Soto dan kecap; dua hal yang saling membutuhkan satu sama lain—tidak
bisa secara terpisah. Begitu pula dengan kita Sayangku. Bagaimana caraku mengajarimu untuk lebih baik. Padahal kita sendiri berada dalam satu ikatan
untuk tujuan hidup bersama. Tujuan untuk menjadi lebih baik merupakan kebutuhan
kita bersama—bukan hanya milik sendiri-sendiri. Maka, kalau pun aku mengajarimu
tanpa keterlibatanku untuk belajar. Itu hanya akan menggiring kita pada
persoalan keegoan tentang hakikat diri sendiri; bukan kebersamaan.
Lebih baik; tepatnya, mencari kebaikan. Merupakan sebuah
upaya yang melibatkan berbagai unsur diantaranya niat, diri sendiri, orang
lain, alam, bentuk perbuatan, penilaian dan ibadah. Semua rangkaian itu tetap
melekat dalam berbagai dimensi. Baik itu dimensi spiritual ataupun sosial. Lantas,
apa yang kita cari dari perjalanan hidup
selain kebaikan?
Sayangku, mari kita berusaha lebih baik; bukan hanya untuk aku dan
kamu melainkan untuk kita dan mereka. Kebaikan dalam dirimu tidak bisa aku
intervensi sebab jika hal itu terjadi bukan menjadi kebaikan melainkan dogma
dan ketergantungan atas diri orang lain. Dan kebaikan yang kita lakukan
semestinya juga bermanfaat bagi mereka yang ada disekeliling kita; tanpa harus
kita menghitung bagaimana dan berapa jumlah angka yang sudah kita perbuat.
Khairun ‘nas anfa’uhum lin ‘nas
(sebaik-baik manusia, mereka yang bermanfaat bagi manusia yang lain)
Link gambar (disini)
0 comments:
Posting Komentar