Kamseupay Sinetron


“maksud dari ledekan Kamseupay itu apa ya Dik?” tanya saya pada Adik saya waktu mudik kemarin.

“itu singkatan Kak. Masa’ nggak tahu sih?” jawab adik saya sambil tersenyum 2 senti.

“makanya, karena tidak tahu Kakak tanya” 

“kepanjangannya, Kampungan Sekali Udik Payah terus disingkat Kamseupay deh”

Adik saya pun menjelaskan bahwa singkatan Kamseupay itu pun makin popular setelah rajin disebut-sebut dalam sinetron ABG yang tayang di salah satu televisi swasta. Dan sebutan itu pun menjadi kekhasan yang selalu disebutkan salah seorang pemain kepada salah satu pemain utama—perempuan. Kamseupay dilebelkan kepada orang yang terbelakang; secara penampilan, perilaku, pergaulan dan lainnya seperti apa yang menjadi kepanjangan Kamseupay. Dunia persinetronan selama ini masih berkutat dalam alur tentang; status social, kaya-miskin, bos-pembantu, jahat-aniaya dan juga kampung-kota. Setidaknya, itu pun didasari pada sinetron yang pernah saya tonton meski tidak pernah sampai tamat; pernah jadi korban sinetron. Ha!.

Kamseupaykampungan sekali. Biasanya menghadirkan alur cerita tokoh utama dari kampung; logat medhok khas kampung, pakaian serba longgar, rambut dikepang mode ala kadarnya dan membawa buah-buahan. Kemudian ditengah cerita menjadi tontonan ditengah banyak orang kota yang modern. Sang tokoh dianggap orang paling unik juga purba. Pada tahap ini barulah masuk Udik Payah; si pemeran orang kampung itu diekspose keluguannya. Mulai dari gagap lihat gedung bertingkat, nama lazimnya nama kampung, susah makan pakai garpu, pakai sandal jepit, jalan kaki, tak bisa tidur di tempat ber-AC dan segala hal yang menunjukkan mereka aneh bahkan dengan tingkah laku mereka sendiri. Orang kampung kemudian dipandang sebagai entitas yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa; selain keudikan dan kepurbaannya. Dan untuk membangkitkan rasa iba para penonton datanglah sang penolong dan lagi-lagi orang kaya—juga  tidak jarang endingnya, mereka akhirnya pacaran/menikah.

Dalam yang klise lain; masih dalam sinetron. Keberadan orang kota digambarkan sebagai orang yang maju dan terdidik. Lagi-lagi yang digambarkan lebih mengedepankan penampilan, perilaku dan pergaulan yang dianggap lebih beradab dan modern. Meski tidak jarang individualistik. Standarisasi pun mulai dimainkan dengan penampakan penampilan mahal dan mode tertentu—pasti bermerk. Tentunya, pemeran tokoh ini perempuan. Dan keseksian pun mulai memperagakan diri dengan tampilan pakaian modern alam barat-an juga minim, pergaulan pongah, periku minim peduli; serba individual-materialistik. Sialnya, cerita seperti ini cukup laris! Maka dapat kita pahami alur cerita menye-menye dan pembangunan gaya hidup terhadap para penonton di mulai.

Hal seperti ini mengingatkan saya pada buku novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya HAMKA. Tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai hikayat. Dalam salah satu bab buku itu diceritakan Zainuddin yang melihat sang kekasih Hayati memakai pakaian yang tidak seperti biasanya sebagai lazimnya orang kampung. Hayati memakai pakaian kebaya yang menampakkan lekuk dan bagian tubuhnya—dan kebetulan cukup modis bagi orang kota. Zainuddin pun menulis surat pada kekasihnya Hayati.
“Apa yang saya lihat kemarin? Mengapa telah berubah pakaianmu, telah berubah gayamu? Mana baju kurungmu? Bukankah Adinda orang dusun!. Saya bukan mencela pakaian orang kini. Yang saya cela ialah cara yang telah berlebih-lebihan, dibungkus perbuatan “terlalu” dengan nama “mode”. Kemarin adinda pakai baju yang sejarang-jarangnya. Hampir separoh dada Adinda kelihatan. Sempit pula gunting lengannya. Dan pakaian itu yang dibawa ketengah-tengah ramai. 
Kakanda percaya, bahwa yang demikian bukan kehendak Hayati yang sejati. Hayati hanya berturut kepada kehendak perempuan zaman kini. Mereka mengatakan begitulah kemajuan. Padahal kemajuan jauh dari itu. Apakah tujuan kemajuan kepada perubahan pakaian sampai begitu, hayati?”
Saya tidak bermaksud menyudutkan kaum perempuan dalam contoh kasus lebel Kamseupay ini; lagi-lagi ini hanya pengalaman saya yang pernah menonton sinetron. Terlebih penikmat acara sinetron lebih di dominasi kaum perempuan. Namun, bagi saya; menonton sinetron kadangkala menggambarkan jurang permisah antara dunia fantasi virtual dan realitas. Sadar ataupun tidak, pembangunan gaya hidup yang mengedepankan status social dalam sinetron jauh lebih mendominasi. Alur cerita yang menghadirkan pola dan dogmanisasi gaya hidup yang cenderung simbolik-materialistik menyebabkan alur cerita lebih sering mengaburkan nilai yang akan disampaikan melainkan penampakan umbul-umbul materi. Akhirnya, tontonan seakan bukan lagi ruang untuk memberikan tuntunan kepada penonton melainkan ladang mempermainkan emosi.
“Hayati, kehidupanku! Pakailah pakaianmu yang asli kembali. Lekatkanlah pakaian dusunmu. Maaflah Hayati, bahwa Hayati sangat cantik. Dan kecantikannya itu bukan dibantu pakaian. Tetapi ciptaan sejak dia dilahirkan. 
Jangan marah Hayati. Kau hanya buat saya sayang. Bukan buat orang lain. Biarlah orang lain mengatakan kau perempuan dusun, tak kenal kemajuan pakaian zaman kini. Kau Hayati.. kau hanya untukku seorang”
Dan eksploitasi terhadap martabat orang kampung dalam sinetron mestinya dikurangi sebagai upaya mendorong kerjasama dan kesadaran soial. Orang kampung tidak selamanya Kamseupay dan orang kota hello Kamseupay. Padahal jika melihat banyaknya peminat sinetron permasalahan seperti pembangunan nilai kemanusiaan, sikap toleransi, anti korupsi, anti kekerasan, kemiskinan, kebodohan dan semua keruwetan yang melanda negeri ini dapat disampaikan dengan cara yang lebih kreatif. Pastinya, pendapat kejar rating yang selama ini dilebelkan pada dunia persinetronan dalam menghadirkan banyak manfaat.

“sinetron Kamseupay sudah mulai tuh Kak?” ingat Adik saya.

Duh!


Link gambar (disini)

0 comments: