Catatan Mudik



Mudik dalam beberapa hal memang menimbulkan permasalahan tersendiri. Mulai bengkaknya angka kecelakaan, kemacetan, budaya konsumsi yang meningkat dan lainnya—bagitu pula dengan kebagiaannya. Semua rentetan itu nampaknya juga menghampiri saya beberapa hari kemarin yang juga melakukan tradisi mudik. Siapa yang bisa memberikan nilai ataupun angka tentang kebahagiaan tentang perjumpaan bersama keluarga atas budaya mudik yang ada disetiap orang?. Entahlah!

Tiap kali mudik ke kampung halaman yang saya rasakan selalu tentang senang dan rasa tidak nyaman. Rasa senang karena lebaran kali ini tidak ada silang pendapat. Dua Ormas berlebaran bersama-sama meski beda awal puasa. Kurang nyamannya dominasi celoteh iklan yang kurang mendidik masih saja belum ada perubahan; bahkan cenderung bertambah khususnya rokok dan seluler. Barangkali, karena fase pembangunan di pulau garam ini baru saja di mulai.

Tragedi penyerangan terhadap warga Syiah di sampang kembali terulang setelah Desember 2011. Tepat pada lebaran ketupat 26 Agustus 2012. 2 orang tewas dan beberapa rumah dibakar massa. Lagi-lagi ini soal selisih paham Syiah-Sunni. Sensicivitas agama di Madura memang gampang terselut. Barangkali, karena doktrin alur penghormatan Bapak-Bapuk (orang tua), Guruh (guru/Kyai) dan Ratoh (pemimpin/pemerintah). Tragedi ini menjadi konsumsi media untuk kesekian hari; begitu juga dengan politisi. Karenanya, saya diajak teman-teman kampung untuk membuat semacam perkumpulan anak-anak kampung; Pemuda Kampung Diaspora—begitulah risalah namanya. Alasannya sederhana karena orang kampung kami hoby merantau; dan mudik saat lebaran. Mencoba bergerak membangun kampung dari sekecil-kecilnya perbuatan meski kami berasal daerah rantau, gagasan, profesi dan organisasi yang berbeda. Tapi, atas nama kampung kami pun harus berhimpun. Kenali Kampungmu, Bangun Kampungmu!. Tentunya, bukan dengan kekerasan.

Arus balik Madura-Jogja 31 Agustus 2012

Suasana perjalanan Madura-Surabaya masih seperti arus mudik. Hanya sedikit senggang penumpang. Sampai akhirnya kekesalan masing-masing orang untuk bus jurusan Surabaya-Jogja pun memuncak. Biasanya, bus patas Eka selalu sudah terparkir di deretan awal bus segala jurusan terminal Surabaya. Dan sekarang tiba-tiba raib. Semua calon penumpang pun tumpah berserakan. Ada yang duduk di ruang tunggu, berdiri disebelah parkir bus, makan disudut terminal, menikmati jualan pedagang asongan, melamun di depan pos Polisi; bahkan ada juga yang harus berebut kursi di garasi bus dengan menumpang ojek 15.000. Saya tiba di Surabaya jam 22.45 dan langsung disambut pemandangan antri kesal tersebut. Di ujung penantian itu pun saya baru mendapatkan bus jam 02.30 dini harinya.

Sumber dari antrian kesal itu berasal dari kecelakaan di daerah Nganjuk antara kontainer dan bus yang bertabrakan. Sehingga keduanya membujur di badan jalan. Efeknya, arus kendaraan dari kedua arah jalan (Surabaya-Jogja dan Jogja-Surabaya) menjadi macet total hingga beberapa kilometer.

Lazimnya,  hukum sebab-akibat. Saya dan penumpang yang lain harus terusir dari bus Eka ketika bus sampai di terminal Tirtonadi Solo dikarenakan jam operasional bus berakhir. Angkos sisa pun dikembalikan para tiap penumpang. Penumpang pun kembali mengular akibat penumpang bus sebelumnya juga bernasib sama; diusir. Jalan satu-satunya yang harus membawa para penumpang tujuan Jogja yakni menumpang bus antar kota—Joga-Solo.

Saya baru sampai jogja jam 5 sore. Molor 12 jam dari jadual yang biasanya. HP saya yang tewas ketika masih di Surabaya pun ternyata menyebabkan kepanikan yang belebihan di kampung halaman—tidak ada kabar sampai tujuan. Puluhan SMS pun menyambar menanyakan keberadaan dan laporan telepon keluarga. Dan saya pun mengabari keluaga.

Saya menyebut perhatian keluarga tersebut; kepanikan yang berlebihan. Salah satu keluarga saya pun harus pergi salah satu seorang “Dukun” yang ada di kampung kami hanya untuk menanyakan keberadaan saya. “tidak usah khawatir masih dalam perjalanan” kata sang Dukun. Konon menurut desas desus yang beredar sejak saya masih kecil sang Dukun memiliki anak Jin yang bernama Junaidi. Si anak Jin dulunya tiba-tiba hilang pada saat dilahirkan dan dianggap diperanak oleh Jin—dan hanya si Ibu yang bisa melihat. Orang sakit dan kehilangan biasanya menjadi spesialisasi sang Dukun. Saya pun senyum-senyum mendengar ulah keluarga saya itu.

Bepergian bukan hanya soal seberapa cepat kita sampai tempat tujuan. Tetapi, kabar diri untuk mereka yang ditinggalkan ataupun yang menuggu menjadi alat pengusap dada; khawatir. Merekalah tempat kita untuk berbagi segala hal termasuk kekhawatiran dan rasa was-was. Maka, tidak terasa cukup melelahkan untuk sekedar mengetik kabar “Alhamdulillah, sudah sampai dengan selamat”.

Saya pun harus bertema kasih atas kekhawatiran keluarga saya; meminjam perkataan Izumaki Naruto “kalianlah tempat untuk pulang”

Link gambar (disini)

0 comments: