Bulan Puasa, 17 Agustus 1945
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Suara itu begitu bergemuruh pada
pagi menjelang siang hari itu. Setiap orang mengangkat senjata mereka dan
menyerbu udara dengan semprotan peluru. Ada pula yang berkumpul di warung kopi
untuk mendengarkan pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan oleh sang Oratur
ulung; Presiden Soekarno—bahkan ada pula yang sengaja tidak pergi kesawah untuk
bertani. Meski tidak banyak orang yang punya sawah.
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Suara itu selalu terdengar hingga
beberapa hari setelah pembacaan teks hari itu. Bus yang bertulis “DEBU REVOLUSI” masih saja hulu lalang. Debu
saja sudah seperti bus bagaimana dengan revolusinya. Tidak bisa tergambarkan
kebahagiaan hari itu. Bahkan tangisan bahagia tidak cukup memberikan gambaran. Pengorbanan
harta dan jiwa selama beberapa generasi dapat terjawabkan dengan hanya dengan
satu kata; Merdeka!
Bulan Puasa, 17 Agustus 2012
67 Tahun kemudian,
Di bulan dan hari yang sama. Sama-sama
bulan agustus dan hari jum’at. Bersamaan pula dengan bulan puasa. Tidak ada
lagi gaungan kata-kata merdeka itu. Karena bangsa ini sudah merdeka. Kami memperingatinya
dengan ragam upacara, perlombaan, adu bersih berbagai kegiatan lainnya. Bahkan untuk
merayakan ritual kemerdekaan ini pihak istana menyediakan dana 7.8 miliar.
Kami mencintai kemerdekaan bangsa
ini. Mencintai para pahlawan bangsa ini . Mencintai seluruh rakyat bangsa ini.
Meski kadang-kadang kami bertanya; benarkah kami sudah merdeka? Atau sudah sesuaikah cara kami mengisi kemerdekaan sesuai
dengan harapan para pejuang dan fundingfather bangsa ini?. Karena
kemiskinan, kebodohan, kesenjangan social dan konflik horizontal masih saja
merajalela. Bahkan kekayaan bumi bangsa ini masih saja dihisap oleh para
komprador asing. Kami masih saja terjajah dengan pola penjajahan yang baru; bukan
dengan agresi militer melainkan dengan ragam-ragam perjanjian. Haruskah
kemerdekaan bangsa ini diisi dengan ritus kegiatan yang malah menjauhkan dari
isensi kemerdekaan.
ini salahku,
menepak janji setia diujung senja
aku lelap ditengah tiupan
hawa nafsu yang kian binal
Oh,
Bangsa ku masih diperkosa para komprador
paku bumi tersobek jadi sungai racun
hutan rimbun tercukur jadi gurun
sawah tergilas jadi beton pencakar langit
air kering jadi kaleng
pasar tergusur jadi otlet
kebaya modis jadi bikini
Oh,tidak terhitung bagaimana bangsaku
digagahi ganas para tuan komprador
diligir lewat secarik kertas perjanjian
dan seperti biasanya
aku hanya berdiam diri
menikmati tontongan saru itu
hingga bangsaku bunting
siapa gerangan bapaknya?
0 comments:
Posting Komentar