Aku menemui Raka waktu dia sedang
merayap di toko di daerah jalan Sudirman. Cuaca siang ini cukup mendung. Semendung
moodku hari ini. Selera makanku
tiba-tiba terasa pergi tanpa ku usir. Tenggorokanku juga malah mirip padang
sahara. Rasanya, jejeran orang yang berbaris rapi di lampu merah malah mirip
daging cincangan yang tertusuk sunduk sate. Siang yang penuh halusinasi—hari ini
bulan Ramadhan.
“Diarymu, ketinggalan jelek!”
sapaku sama Raka dari belakang. Tepat saat ia sedang khusuk membuka buku Bumi
Manusia Pramoedya Ananta Toer.
“Oh, Iyakah”
“Ih. Nyebelin banget nih orang”
“Buat kamu ajalah itu” ujar Raka
seakan tidak peduli dengan catatan hariannya.
“Ini kan catatan pribadi. Apa kamu
tidak merasa kehilangan” keluhku
“Adakah yang lebih berharga dari
kehilangan diri sendiri. Ataukah kehilangan gagasan. Aku percaya kamu bisa mengembalikan
itu. Maaf ya merepotkan”
“Iya”
“Kalo kamu berminat untuk
membacanya. Aku pinjam ini. Toh, hanya ini harta yang aku punya” tawar Raka
yang membuatku semakin kebingungan. Terlebih, kebiasan sebagian orang tidak mau
catatan pribadinya tidak pernah sudi dibaca orang lain—termasuk aku sendiri. Rumusnya
hanya satu; Malu!
Raka membelikanku buku Pramoedya
Ananta Toer yang tadi pegangnya. Ia menceritakan isinya, sebab ia sudah
membacanya sejak beberapa tahun yang lalu. Aku pun heran mengapa Raka memberi
buku ini sedangkan ia sudah menceritakan bagian isinya. Lama-lama ini orang
makin sedheng!
6
Orang-orang makin sibuk beribadah. Hanya karena takut mendapat sangsi sosial bukan atas dasar kedalaman keyakinan dan iman. Kadang-kadang anggapan “orang tidak beriman” lebih menyakitkan ketimbang mengetuk pintu langit dengan takwa. Fenomena sudah lazim di bulan puasa. Adakah yang keliru dengan keimanan kita?
Aku makin tersesat dalam catatan
Raka. Aku hanya berdiam diri dalam kamarku yang hanya berukuran 4x6 meter. Sekali
lagi aku semakin tidak mengerti mengapa Raka begitu mempercayaiku. Apakah dengan
menulis seseorang akan mengenal diri dan alam sekitarnya. Mengenal segala
rentetan sejarah yang pernah dilalui. Barangkali, maksud tersirat mengapa Tuhan
menurun ayat pertama “membaca” merupakan cara bagaimana mengenal diri sendiri
dan alam sekitar.
7
Jogja kota yang unik. Ragam budaya seakan menumpah di daerah istimewa yang mempunyai 5 kabupaten dan kota ini. Deretan Becak dan Andong masih dapat disaksikan hampir disudut kota. Serbuan para pelajar dari seluruh nusantara. Belum lagi masalah kuliner yang hampir berjalan hampir 24 jam. Agh! Aku berada dalam indonesia mini.
8
Pagi ini jam 05.30. Sial! Aku mirip orang gila. Aku sedang memakai pakaian OSPEK. Baju putih berdasi, celana batik yang bawahnya dimasuk ke dalam kaos kaki mirip zebra cross, pakai topi yang terbaut dari bola plastik yang dibelah yang atasnya diberi kuncup rapia yang iris, co card dari kadus bekas dengan renda bunga dan tas cangklong tepung bekas tepung beras “sekar sari” dan pakai kacamata hitam lebam. Yang ada yang didalam tas cangklong ; air mineral 600 ml, permen 4 buah, roti 1 bungkus, dot bayi, alat tulis bekas bekas. Semuanya harus bernota.
Sesampainya di kampus teryata aku malah kena semprot para senior. Alasan mereka karena aku datang telat. Aih, sekarang masih jam 6.10 bung! Aku menginyem dengan aturan yang sebenarnya aku bisa menolak. Tapi apa boleh buat. Kadang-kadang seseorang harus menuruti kaum penguasa. Meski kadang ia seorang bandit.
9
Apakah guna sekolah-sekolah didirikan kalau toh tak mengajarkan mana hak mana tidak. Mana benar mena tidak. Pramoedya sekedar orang tua yang tajam dalam menanamkan gagasan. Melainkan juga kuat dalam menulis bahkan 10 jarinya mempu menari diatas mesin tik. Aku tersesat dalam buku karyanya. Kata-kataku kering.
Raka mengenalkanku pada sosok
yang mampu melahirkan karya ditengah perjuangan dan pembuangan. Bumi Manusia seakan menjadi cambuk ditengah penindasan yang nyata. Perlahan aku mengerti
tentang sosok Pramodya Ananta Toer dan beberapa karyanya.
Makasih jelek!
0 comments:
Posting Komentar