Senyuman 55 Tahun


Ah! Raka membuatku kesal dia malah menjelaskan semua pertanyaanku dengan penuh analogi. Aku tidak mengerti mengapa manusia satu ini begitu suka—analogi. Banyangkan saja. Untuk mendiskripsikan keberadaan Al Qur’an dia malah menganalogikan Al Qur’an seperti pisau dapur. Aneh kan!

Menurutnya, Al Qur’an tajam dalam memberikan petunjuk untuk umat manusia. Menyacah setiap persoalan dalam berbagai menu keshalehan. Cacahannya cukup detail dan banyak; mereka yang beriman akan berada disisi Allah dan mereka yang tidak beriman akan kekal didalam neraka. Pisau dapur harus digunakan setiap hari sebab apabila tidak digunakan, ia akan berkarat; sama dengan Al Qur’an kalau tidak dibaca tidak bisa diamalkan. Pisau dapur akan menjadi murah dilapak pasar, tapi mahal direstoran berbintang; Al Qur’an akan kering akan amal, kalau hanya dibaca tidak salami kandungannya. Dan pisau dapur akan dibuang jika sudah tumpul; Al Qur’an hanya tumpukan mushaf jika tidak dibaca-dipahami-diamalkan-dan direnungkan.

Aku dan Raka membicangkan tentang Tuhan dan kitab suci sampai kepalaku terasa nyut-nyutan. Sedangkan jarum jam sudah menunjukkan angka jam 01.34. Aku rasa diskusi untuk malam ini sudah cukup. Aku pun membereskan barang-barangku yang berserakan ditengah tumpukan buku-buku Raka—aku pulang; insomniaku juga sudah mulai lowbate

“buku apaan nih” gumamku, waktu aku melihat ada diary dalam ranselku. Kebiasaanku selesai shalat subuh membaca meski hanya 30 menit. Aku pun mengambilnya, dan ternyata dairy itu catatan Raka si anak jelek.
Penasaranku pun tiba-tiba mendemo dalam tempurung kepalaku. Aku pun membuka diary tebal yang berwarna merah itu terbagi dalam beberapa halaman. 

 1
Aku melihat tulisan tebal
Senyuman 55 Tahun
Aku pun melanjutkan pada halaman berikutnya,

 2.
Udara pagi ini cukup sejuk. Matahari juga masih belum menampakkan diri. Ia masih mengintip dengan lintasan cahaya samar. Sisa embun semalam masih saja memeluk erat daun bunga sepatu. Suasa terminal Umbulharjo masih tidak terlalu sibuk dengan calon penumpang. Dan sebagian pengamen terminal ini masih sibuk dengan alam bawah sadarnya yang tanpa batas. Tiba-tiba dia tersenyum sendiri. Aku geli melihatnya.
Aku pun hentakkan kakiku ke Masjid sebelah terminal. Bukannya aku mau shalat melainkan hanya untuk melepaskan lelahku. Terlebih shalat subuh di masjid itu sudah kelar. Hanya beberapa orang saja aku lihat disana. Aku merebahkan sejenak badanku di emperan masjid. Sedikit pun tak berdetak hatiku untuk shalat pagi ini. Aku hanya mengantuk.
“mas, mas..” panggil seseorang, samar aku dengar dari telingaku. Aku pun membuka mataku yang sudah tinggal beberapa watt.
“bangun mas, masjid ini mau di pel. Disini bukan tempat untuk tidur” ujarnya lagi. Setengah sadar aku membuka mata. Ternyata, yang membangunkan aku adalah takmir masjid. Dan aku lihat jam sudah menuntukkan angka jam 07.30. Aku pun mencuci mukaku yang lusuh. Aku pun melanjutkan perjalananku untuk mencari kost di kota jogja ini. Aku naik bis jalur 15 dan turun di perempatan kantor pos kota.
3.
Menurut saudaraku yang pernah kuliah di kota pelajar ini. Kost yang baik untuk seorang pendatang sepertiku adalah di daerah Kauman. Aku mendapatkan kost disalah satu rumah kontrakan yang ternyata seorang muslim yang taat. Ibu Uswatun namanya.
“lingkungan disini tidak mengenal narkoba, minuman keras apalagi kumpul kebo. Ingat itu, le!” terang ibu uswatun waktu masih menandatangi kwintasi pembayaran kost dengan nada bicaranya yang khas jogja.
“iya, ibu uswatun. Saya kan hanya sendiri”
“makanya karena sendiri saya mengingatkan”
“akhir-akhir ini, ibu sangat miris melihat kehidupan anak muda yang kian jauh dari agama. Lagaknya modern tapi tidak bisa bersaing. Ajaran agama dianggap kuno tapi tidak bisa mengaji. Jaman ini memang edan, le!” keluh ibu uswatun
“namanya anak muda buk. Tingkat rasa ingin tahunya sangat besar. Kayak tidak pernah muda aja..he!” jawabku sambil bercanda.
“heh! Tole. Apa kamu bilang anak muda rasa ingin tahunya sangat besar. Justru, tingkat rasa ingin tahu mereka itu yang tak tahu arah. Menjeruskan pada jurang kehidupan yang kelam. Hampir tak ada harapan masa depan. Masa mudanya hanya dihabiskan untuk berfoya-foya dan bermain. Mau jadi apa anak muda seperti itu. Hanya jadi beban dan masalah negara saja”
“ingat, anak muda itu harus mengerti tujuan hidup kalau tidak mau masuk neraka!” ibu uswatun menyiramku dengan rentetan petuahnya. Padahal aku baru saja mengenalnya.
4
“iya ibu, saya paham. Tapi dimana kunci kamarnya” jawabku mengalihkan topik pembicaraan.
“dasar anak muda. Sudah tak mau mendengarkan nasehat dari orang tua”
Ibu uswatun memberikan kunci rumah. Beliau mengajakku untuk mengitari rumah yang kedua kalinya. Aku pun sudah hapal isi dan halaman rumah ini. Barangkali beliau hanya ingin memastikan rumah ini layak huni. Rumah ini hanya mempunyai 8 kamar, 4 kamar mandi, 1 ruang tamu dan 1 dapur. Aku tidak tahu dengan siapa akan menghuni rumah kost ini. Nampaknya yang lain sedang keluar atau molor dalam kamar.
“saya pulang dulu. Tempati baik-baik kontrakan ini. Jangan membawa teman wanita apa lagi menginap!” ancam ibu uswatun dengan nada rada tinggi. Seakan menelanku hidup-hidup.
“panggil saya cukup dengan sebutan Buk Us saja” imbuhnya dengan diiringi senyuman yang mengimut. Tak usah kau bayangkan senyuman ibu umur 55 tahun teman. Kulit pipinya yang menggantung ditarik paksa ke samping. Perlahan tarikan memaksa itu membentuk garis tak beraturan kesamping. Mirip sungai minyak yang mengering. Hanya ada kilau tanpa aliran. Bola matanya menyempit seperti ada katup yang mendorongnya kedalam.  Lihatlah baik-baik, sungguh manis—juga merinding!
5
Buk uswatun sudah pulang. Maaf, buk us:).
Malam harinya, aku mendapat kabar dari teman seblah kamarku kalau Buk Us sangat keras dalam masalah agama, baik pada keluarga atau pun lingkungan. Jika dalam beragama di buat blok, aliran atau mazhab maka Buk Us masuk golongan yang ektrem kanan. Beberapa bulan lalu tepatnya penghuni kost kamarku ini diusir hanya karena tidak shalat. Busyet! Ternyata ada juga aturan anak kost harus shalat.
Aku sudah lupa kapan terakhir aku shalat. Sepertinya saat ada pesantren Ramadhan di sekolahan.itu pun karena dalam keadaan terpaksa dan indikator kelulusan dari sekolah. Shalat Jumat yang seminggu sekali tak mampu aku kerjakan. Aku benar-benar menjadi bagian orang yang hanya beragama islam secara formal saja.
Nampaknya, saat ini aku berada dalam lingkungan pesantren. Kampung yang berada dikampung dijantung kota jogja. Maka benar saja. Setelah menjelang waktu shalat banyak orang yang berbondong-bondong ke masjid. Cukup unik sebuah masyarakat bisa agamis di tengah perkotaan.
Kepalaku pun berfikir ulang setelah aku membaca diary Raka pada halaman ke-5. Dalam kepalaku timbul pertanyaan apakah karena Raka hidup di lingkungan religius, dia pun ikut alim? Apakah analogi yang sering ia gunakan dalam menjelaskan pertanyaanku itu hanya untuk memudahkan aku dan dia untuk belajar mengenal Tuhan? Aku benar-benar tidak mengerti dengan ulah orang jelak yang satu ini :(


Link gamba (disini)
...

Cerpen kok bersambung. Bukannya cerpen itu langsung kelar sekali tenggak baca. He! Sengaja saya membuat cerpen ini dengan cara bersambung. Biar teman-teman tidak kehilangan si Alea. Tentunya, dengan cerita yang berbeda; cerita, galau, senang, susah yang dialami Alea dan alam sekitarnya. Dengan mencoba mengangkat kisah nyata yang coba disajikan dengan cara fiksi—dan saya memberi tema “PerjalananPanjang”. Itz.. tetap ini bukan Novel lho. Maksa! :)

Kalau teman-teman mau membaca  cerpen ini dari awal, ini dia link : PerjalananPanjang. Cerita paling awal ada dibagian paling bawah. Semoga bermanfaat ya :)

0 comments: