Di tempat kalian—siang itu,
Gerombolan manusia datang
dihadapan kalian dengan membawa beragam senjata, kayu, para tombak, batu dan
seluruh alat-alat yang mampu digenggam tangan. Memasuki rumah kalian tanpa
permisi, memukul, menjarah harta, membakar rumah; bahkan diantara mereka ada
yang membawa perempuan dari sanak keluarga kalian. Kemudian mereka menggagahi
perempuan kalian itu hingga nafas terakhir. Kalian hanya menyaksikan semua
kejadian itu ditengah kerumunan massa yang sedari tadi begitu beringas
menghujani dengan ragam penyiksanaan—kalian tidak bisa berbuat apa-apa.
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi
bahwa Muhamamad utusan Allah” hanya nada itu yang terus keluar dari bibir
kalian. Sebab dari seluruh pori-pori kulit mengalir deras darah yang lambat
laun juga akan mengalirkan nyawa kalian.
Dengan penglihatan yang sangat
sayup—kalian juga melihat teman sekampung diburu bak binatang buruan oleh segerombolan orang tadi memukuli kalian.
“Enyah kalian dari tanah kami. Pergi kalian semuanya ke neraka. Mati
kalian semuanya.” Itulah segelintir kata-kata yang keluar dari segerombolan
orang itu. kalian diusir dari tempat (tanah) yang kalian tempati, dikarenakan
kalian berasal dari negeri tetangga. Sialnya, kedua Negara itu sama-sama tidak
mengakui keberadaan kalian—meski, kalian sudah menempati tanah itu sudah itu
secara turun-temurun.
Kuasa tirani—aparat pun malah
membiarkan kebiadaban ini terhadap kalian. Diantara kalian 6.000 jiwa
meninggal, 200 desa dibakar, 300.000 mengungsi ke negeri kalian berasal—negeri
yang tidak mengakui keberadaan kalian. Bahkan “si Lady“ penerima Nobel perdamaian beberapa waktu lalu pun tidak
mampu berbuat apa-apa—atau ikut mendiamkan. Kalian menanggung penderitaan ini
sendirian—penderitaan atas keberagama Islam-an dan keetnis-an kalian…
Di tempat kami—sore itu,
Sama, seperti hari-hari
sebelumnya. Kami hanya sibuk memikirkan diri sendiri dengan beragam celoteh, racau, dan cap-cap-an—perbedaan. Budaya kami adalah budaya
gagap. Tetapi, mendengar cerita kalian—bibir kami bergetar ditengah hati yang
berkecamuk. Ada rasa marah yang meledak tiba-tiba dalam diri. Meluapkan sekuat
tenaga atas dinding kekuasan tirani militer dan etika global—yang serba bermuka dua itu.
Mana HAM yang dibangga-banggakan itu? Mana aktivis HAM? Mana sikap
Presiden? Mana.. mana..mana?..
PBB, ASEAN, Negara-negara barat,
Etika global HAM (juga para aktivisnya) dianggap sengaja melakukan pembiaran
atas tragedi genoside yang menimpat kalian. Mereka juga dianggap lumpuh atas
keinginan dan propaganda nihil yang selama ini menjadi jargon atas nama
kemanusiaan. Sedangkan kami hanya
berdiam diri karena kami lebih suka mencari kambing hitam—atas sebuah
kesalahan yang sebenarnya kami lakukan secara halus dan sengaja. Ya! Kami sibuk dengan
kebahagiaan kami sendiri.
Sebagai masyarakat gagap.
Tindakan kami pun ikut gagap—demo anarkis, bakar bendera, sweeping, protes berujung tuduhan—dan rata-rata minim solusi. Hal
ini dikarenakan kami lebih suka “berdebat”
ketimbang “bertindak”. Tradisi sebagai bangsa yang gagap semua disikapi secara
reaktif. Dan kadang bertindak secara lamban.
Disana, kalian berperang
mempertahankan keimanan—agama yang sama-sama kami yakini. Maka, disini kami
juga ikut perperang mempertahankan pendapat bagaimanan memulai puasa, waktu berdemo, berlebaran, mempertahankan madzhab, aliran benar-sesat, halal-haram,
liberal-konservatif; dan segala hal yang menjauhkan diri pada pembelaan atas
kemanusiaan dan universalitas agama—kami hanya sibuk dengan kebahagiaan kami
sendiri.
Di tempat kita—sore itu.
Tragedi genosida yang terjadi di Rohingnya di Myanmar—tidak hanya soal pembantaian terhadap kaum muslim. Melainkan tragedi
kemanusiaan modern yang mampu melintasi batas keyakinan satu agama, suku, ras,
budaya, bangsa. Sehingga persoalan ini menjadi persoalan kita bersama. Tragedi ini
bukti dimana kaum minoritas diperlakukan secara diskriminatif.
Barangkali, perlakuan
diskriminatif terhadap kaum minoritas inilah yang bisa menghubungkan kita terhadap
berbagai persoalan mendasar tentang tragedi kemanusiaan—termasuk berkeyakinan. Tragedi
Rohingnya tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada jamaah Ahmadiyah, Syiah, dan berbagai aliran keagamaan, ormas, LSM dan lainnya yang kadang dianggap
sesat di negeri ini—hal ini belum dengan yang berbeda agama. Yang rata-rata
diskriminasi itu lebih banyak diakibatkan karena pembangunan sarana ibadah.
Agama kemudian ditampakkan menjadi ruang hampa, gelap dan menakutkan. Bukan
dengan wajah cinta, dialog, masyawarah dan perdamaian.
Kepedulian terhadap muslim
Rohingnya—dan tragedi kemanusiaan lainnya. Mestinya mengajarkan kita menghargai
kehidupan (kemanusiaan), perbedaan, minoritas, berbagi, dan kedalaman hati. Mari lakukan
kebaikan dengan kekuasaan yang kita miliki, tindakan yang bisa kita lakukan,
atau berdoa dan bershalawat sebagai selemah-lemah iman. Setidaknya, kita masih bisa bertindak ketimbang tidak peduli.
Semoga dengan berdoa dan bershalawat dapat menempatkan mereka yang sama-sama berjuang di jalan Allah mendapatkan syafaat dan berkah dari Allah dan Nabi-Nya.
…
Yaa Nabi salaam ‘alayka
Yaa rasul salam ‘alayka
Yaa habiib salah ‘alayka
Shalawaatullah ‘alayka
…
0 comments:
Posting Komentar