Respon Untuk Indonesia Lowyers Club (ILC)


Jika teman-teman menonton acara Indonesia Lowyers Club (ILC) yang disiarkan langsung oleh TV One tadi malam (Selasa, 10/7/2012) dengan tema Perang Rokok; Bisnis dan Kesehatan?. Forum ini cukup menarik dalam berbagai sisi. Terlebih ILC di komandoi oleh Karni Ilyas (Pimred TV One) mampu menghadirkan dua kubu yang selama ini tetap berlisih paham; soal rokok dan atau tembakau.

Kubu pertama, mereka yang menolak keberadaan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan peraturan atas penerapan UU Kesehatan yang beberapa waktu lalu sudah disahkan oleh DPR. Kelompok ini digawangi oleh mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai Komonitas/lembaga Pembela Tembakau. Mereka beranggapan keberadaan RPP hanya akan menyebabkan pemberangusan terhadap petani tembakau ataupun kretek yang merupakan bagian budaya negeri ini. Lebih jauh menurut mereka, RPP lain tak lain merupakan hidden agenda oleh para pemodal asing; khususnya pabrik rokok putih dan perusahaan farmasi global. Terlebih, isi dari RPP menurut mereka merupakan baju lain Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang sampai detik ini belum diratifikasi oleh pemerintah negeri ini.

Kubu kedua, mereka yang pro terhadap RPP. Kubu ini berasal dari beberapa kalangan diantaranya; Wamenkes (pemerintah), akademisi, dokter, aktivis pengendalian tembakau dan lainnya. Mereka beranggapan bahwa keberadaan RPP bukan secara serta-merta melarang menanam tembakau, berjualan rokok—atau bahkan merokok. RPP hanya mengatur begaimana membendung para perokok belia yang jumlahnya setiap tahun makin meningkat secara menggila. Secara tidak langsung menandakan keberadaan generasi dimasa yang akan datang merupakan sekumpulan orang penyakitan, ketagihan juga kecanduan. Bahkan bagi kubu ini RPP lebih longgar dari apa yang diharapkan.

Tidak semua orang mati karena rokok

Forum diskusi sempat menjadi perdebatan kusir. Ketika berada dalam masalah Kematian dan Rokok. Kubu pertama mengganggap tidak semua orang mati muda dan penyakitan karena rokok. Bahkan Bang Karni sempat curhat tentang patah tulang yang sempat tidak kunjung sembuh. “bapak sih masih merokok” kata sang dokter. Secara lebih jauh, almarhumah Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih yang meninggal beberapa waktu lalu akibat penyakit yang didapnya juga dibawa kedalam ring—bukan perokok meninggal karena penyakit.

Benturan logika kematian ini kemudian menempatkan kita kepada kekuasaan benda untuk membawa kepada tercerabutnya nyawa—padahal kematian hanya otoritas Tuhan. Dan rokok hanya merupakan salah satu factor; kematian karena penyakit. Dan merokok membawa penyakit dan mengganggu kesehatan; adalah hal yang  tidak bisa dibantah.

Kufur nikmat mereka yang tidak mensyukuri keberadaan rokok.

Begitulah kurang lebih ungkapan Sejarawan Ridwan Saidi di ILC tadi malam. Sejarawan yang satu ini untuk membela keberadaan rokok mengeluarkan ayat Al Qur’an. Bahkan mengajak insyaf mereka yang menentang rokok—rokok baginya, merupakan nikmat Tuhan dan hak asasi bagi yang harus dihargai keberadaannya.

Saya, secara pribadi menyayangkan ungkapan Babe Ridwan Siadi sebagai sejarawan yang tidak bisa menjaga indepensi nalar terhadap persoalan rokok. Apalagi, berpendapat sambil berdiri ditengah forum yang tiarap. Kita sama-sama lahir dari keluarga dan negeri para perokok, kultur para perokok, sama-sama perokok; meski saya sudah berhenti. Bukan hal salah bukan, kalau ada orang yang menuntut hak bebas dari asap dan iklan rokok? bukan hal yang salah pula, jika pemimpin ingin menjaga kesehatan rakyatnya; termasuk dari rokok?. Saya pengagum gagasan Babe karenanya saya berani mengkritik. Seperti halnya saya pernah mengkritik tulisan di Bang Sobary lewat tulisan Harus (tanpa) Rokok. Sebagai saran bagi Babe tidak ada salahnya membaca buku Ibu Mardiah Chamim (saya pernah mereviewnya dengan judul Hak Hidup Tanpa Rokok!). Buku yang dalam penulisannya, si penulis kehilangan 3 komputer dan 1 hardiskbagaimana pun kritik saya; saya masih mengagumi Babe.

Merokok adalah hak asasi.

Menurut Kamus Besar Indonesia (1989: 334) hak asasi adalah hak dasar atau pokok (seperti hak hidup dan hak mendapat perlindungan). Jika membaca dengan seksama tulisan yang terpampang kecil dalam bungkus rokok “merokok dapat..” menandakan bahwa ada banyak kemungkinan serangan jantung, paru-paru, impotensi dan gangguan janin. Dan hak untuk hidup tanpa asap rokok bukan kesalahan—dan orang yang tidak merokok punya hak untuk hidup sehat diruang publik. 

Disediakannya tempat merokok di ruang-ruang publik merupakan salah satu cara untuk menghargai hak para perokok. Dan perokok pasif dapat pula mendapatkan haknya menghirup udara bersih. Merokok bukan hak asasi melainkan hak. Karena, tidak semua orang merokok. Hak asasi harus dinikmati semua orang; seperti udara bersih dari polusi; termasuk asap rokok. Dan hak asasi hanya berada di ruang publik bukan hanya dimonopoli di ruang privat—sekali lagi, Merokok bukan hak asasi. Itu saja!   

Lak-laki yang tidak merokok kurang ganas. Perempuan yang tidak suka merokok, jangan-jangan tidak suka laki-laki. Dagelan—artis rocker Renni Djayusman mendukung para perokok. Lady rocker juga perlu kita melihat tayangan dibawah ini.


Saya tidak ada maksud apa-apa—karena saya juga pernah merokok. Barangkali, dengan adanya tayangan diatas mampu menggugah alam bawah sadar kita; bahwa rokok bukan hanya sekedar kebiasaan yang harus dimengerti dan juga dimaklumi—bukankah, kegagalan kita dalam hidup ketika meninggalkan generasi yang lemah.

Bang Karni; si Provokator

Tema yang diusung dalam ILC kali ini sangat bermanfaat bagi mereka yang pro ataupun pada mereka yang kontra—hanya saja kita harus memilih; hidup sehat atau merencanakan mati pelan-pelan.

Semoga anda tidak bosan memberikan perspektif yang berbeda kepada masyarakat negeri ini. Makasih Bang Karni Karni; si Provokator :)


3 comments:

'nBASIS mengatakan...

mencerahkan. sayang saya tak ikut lihat acaranya

Anonim mengatakan...

Kalau tidak salah ada siaran ulangnya; hari Sabtu/minggu malam. Saya rada lupa :)

Kamal Hayat mengatakan...

Rokok tak bisa di hentikan jika rakyat tahu kesehatan....