Seperti dalam pertemuan
sebelumnya—gaya tuturnya pelan dan lirih. Tidak ada ledakan emosi dan semangat
yang menggebu-gebu. Tidak ada canda tawa—suasananya hening, seperti suasana mengheningkan
cipta pada saat upacara. Materi yang disampaikannya pun masih tetap pada pertemuan
3 minggu yang lalu; slide materi pun
masih kaku. Belajar dengan Profesor memang membutuhkan kesabaran menunggu detik,
menit, jam dan hari materi inti
pembelajaran—kuliah yang penuh dengan cerita, racau pengalaman hidup;
kadang-kadang curhat soal keluarganya.
Ciri khas profesor adalah pelupa.
Ungkapan inilah yang barangkali
kita dengar setiap kali ada Profesor. Alasan berkurangnya daya ingat karena
makan usia pun juga menjadi alasan yang lain—karenanya, Profesor yang mengajar
dalam kelas hampir rata-rata berusia diatas 50 tahun; hingga kurang menarik dari
berbagai sisi—begitu kesan pertama teman
perempuan saya ketika berada dalam kelas.
Pola pengajar monoton Profesor. Memang
bukan selalu mengenai persoalan diatas melainkan ada faktor lain yang melatar belakangi.
Misalnya, tunjangan kesejahteraan (gaji) Profesor yang ada di negeri cukup
rendah dibandingkan dengan Negara tetangga; sebut saja Malaysia yang gaji
Profesor justru 4 kali lipat ketimbang di negeri ini. Kemudian hal tersebut diperparah
dengan kurangnya dukungan pemerintah terhadap dunia penelitian juga menjadi
persoalan klasik yang belum menemukan jawaban—lagi-lagi kekurangan anggaran.
Maka jangan heran apabila
Profesor—ada pula dosen; yang selalu mengulang materi kuliah. Bahkan tidak
diperbaharui pada semester yang berikutnya. Dikarenakan harus mengerjakan
pekerjaan sambilan untuk menutupi
kebutuhan dapur. Gajinya tidak cukup belanja kebutuhan sehari-hari, bayar SPP
anak, cicilan kredit dan kebutuhan lainnya—akhirnya, buku menjadi kebutuhan
nomor kesekian. Padahal buku merupakan alat penunjang utama bagi seorang
akademisi. Bahkan saking fruastasinya, ada sebagian Profesor yang menjual
sebagian kumpulan paper dan hasil proyek
penelitiannya kepada mahasiswanya. Dosen yang hanya menerbitkan 10 eksemplar buku
untuk sekedar mengejar jenjang kepangkatan/akreditasi—hal tersebut memang tidak
salah sih, cuma kurang elok. Kalau masalah
ini tidak segera diselesaikan barangkali potret dunia pendidikan kita tidak
akan berubah—tetap klasik; suram.
Ilmu pengetahuan itu dinamis; terus berkembang.
Seorang Profesor atau Dosen
membutuhkan up dating teori dan
informasi untuk menunjang kapasitas kemampuannya mengingat ilmu pengetahuan
yang terus berkembang. Terlebih perkembangan teknologi yang gila-gilaan menyebabkan arus informasi berjalan
begitu cepat dan singkat. Dan hal inilah yang barangkali dibutuhkan oleh
Profesor dan Dosan—begitu juga dengan akdemisi lainnya agar sharing informasi dari belahan dunia
lain cepat diakses. Karenanya, sering kita temui ada sebagian akademisi tidak
mengerti cara email.
Keadilan yang menyasar.
Kadang saya sering berfikir; mengapa gaji Profesor (juga Dosen) lebih
kecil ketimbang gaji para anggota Dewan di DPR?. Padahal jika dihitungan
kasar-kasaran; para angota Dewan di
DPR sudah mendapatkan fasilitas rumah dinas, ragam tunjungan anak-istri, dana
reses, fasilitas perjalanan, fasilitas rapat, mobil dinas, gaji bulanan—plus tetek bengek lainnya. Celakanya,
kadang pekerjaannya malah dikerjakan staff ahli—tentunya negara yang membayar. Disisi
lain, seorang Profesor dan Dosen seperti yang sudah disampaikan sebelumnya; belum
selesai dengan persoalan dapur dan diri akademiknya.
Meski sudah tidak ada masalah dengan persoalan dapur lagi. Mudah-mudahan si Profesor tidak
hanya cerita lagi dipertemuan kuliah yang selanjutnya—setelah beliau pulang
dari Eropa; katanya berangkat tanggal 5-20 juli..
Tulisan ini; ditulis di tengah cerita, Profesor. Hehe!
Gambar klik disini
0 comments:
Posting Komentar