—Untuk Zivara
Dari ribuan waktu yang
berguguran. Kamu tampak tegar memegang pagar. Menunggu kedatangan seseorang
yang sudah 3 tahun ini meninggalkanmu. Dia pergi meninggalkanmu tanpa menitipkan
sepucuk pesan tentang kabarnya; sedikit pun. Hingga karang-kadang ditengah
malam, kamu pun terbangun hanya untuk mengetahui kabar tentang dirinya. Kamu masih
menunggu.
Dia pasti pulang...
Kamu masih percaya bahwa orang
yang kamu tunggu tetap pulang suatu hari nanti. Malam-malammu hanya dihabiskan
dengan rasa cemas. Bahkan sebelum terlelap terbesit dalam hatimu untuk bisa
bertemu dengannya; meski hanya sesaat—hanya mimpi.
Disuatu sore itu,
“Aku sudah menjalin hubungan dengan teman kecilku. Aku serius dengan
hubungan ini. Mohon doanya semoga kami berjodoh” dia mengabarimu lewat SMS
yang merapat pada ponsel disebelah boneka yang berikannya di waktu yang lalu
Wajahmu pasi. Sesak menguasai
ruang dadamu hingga nafas pun begitu malu untuk keluar. Dari pipi merahmu
meluncur butiran air yang deras seakan tidak bisa dibendung oleh sumur pori-pori
kulitmu. Kamu menutup pintu pagar rapat-rapat dengan cara mengusir dan
membanting. Dan kasur menjadi saksi soremu yang sedih.
Dia pasti pulang...
Kata-kata itu terus menerus kamu ulangi. Seakan sudah
terekam secara fasih dalam ingatanmu. Kamu tetap kuat memegang perasaanmu. Cinta
bukan selalu soal kepemilikan. Bukan pula soal hubungan; karena cinta bagimu merupakan
jalan pulang. Barangkali, rumah merupakan ruang dimana cinta diekspresikan dan
menemukan muara—cinta merupakan tempat dimana kita menemukan jalan pulang.
3 tahun kemudian,
“Maukah kamu menjadi menjadi kekasihkku kembali” rayunya untukmu
“Kekasih yang bisa menjadikanku menemukan jalan pulang” katanya yang
kemudian mengebom perasaanmu kembali dengan masa lalu
Dia pun bercerita tentang
perjalanan cintanya yang selama ini mencari persamaan. Lewat perjalanannya itu,
dia pun tidak menemukan persamaan bersama orang yang dicintainya. Bahkan persamaan
yang dicarinya malah membuat dia semakin jauh dengan yang ia cari—kesimpulannya,
cinta baginya bukan soal persamaan.
Mencari keidealan cinta yang ada
dalam pikiran; atau bahkan yang diimpikan. Merupakan bentuk pemustahilan secara
perlahan. Apalagi, tuhan tidak bisa dikte untuk bisa mengabulkan apa yang ada
dalam pikiran. Jika keidealan yang dicintai maka, yang hadir adalah mencintai sendiri bukan orang lain. Mencintai konsepsi keidelan kita sendiri—Kita tidak bisa
memaksa keadaan; atau orang lain untuk sama dengan apa yang ada dalam pikiran
kita.
Dia pasti pulang...
Kamu pun menerima orang yang
selama ini kamu tunggu-tunggu kedatangannya; tanpa melihat masa lalunnya. Sebab
cintamu mengajaknya pulang ke rumah. Tempat dimana menemukan jalan pulang. Kalian
sama-sama menerima apa adanya—termasuk perbedaan.
0 comments:
Posting Komentar