#Dua Belas




1

Perjalanan kita sore itu, disudut Kota Yogyakarta. Mempertemukan aku dan kamu kepada seorang tua dengan kapasitas intelektual yang mapan, wajah yang teduh, humoris—juga semangat yang menyala-nyala. Barangkali, bukan alasan kita menganggap dia sebagai orang tua yang renta. Melainkan, karena kita malu tak bisa terbuat lebih dengan kebesaran tenaga. Orang tua progresif, aku mengaguminya! Ketuk katamu disudut tengalinyaku yang meradar.

2

Semua orang memang selalu punya pilihan untuk melihat persoalan. Kemudian menemukan jawaban atas teka teki yang mengendap di alam pikiran. Selalu berbuatlah apa saja yang bisa membuatmu berfikir keras. Kesan pertama kita dalam diskusi panjang dengan orang tua progresif; idolamu. 

3

Gimana, kamu mau makan disini? Nanti aku traktir sepuasnya.

Tegurmu, aku masih menunduk dengan melihat polah gaya makan orang barat disudut etalase. Inilah, cara makan, warung makan dan makanan impor dan modern. Ada pula yang menyatakan makanan sampah; kata mereka. Ketundukanku, bukan untuk mematuhi apa yang menjadi ajakanmu sore itu. Tetapi aku lebih menghargai makanan orang udik yang mulai diusir dari perkambangan zaman. Biarlah, aku tidak menjadi orang modern dan menikmati ke-udik-anku. Karena, standar kebahagiaan dan rasa kenyang bukanlah diukur dari kemodernan makanan. Melainkan, rasa kita dalam bersyukur—ajaran global menjadi standart atas hak kita sendiri; terjajahlah!

3

Digarisbawahi, waktu tetap berjalan

4

Kita harus menjaga perasaan orang lain, sebelum memikirkan perasaan kita sendiri—pesan pendekmu malam itu. Dunia Nampak memelukmu dengan kesabaran dan pertanyaan.

5

Kita hidup dimasa yang akan datang bukan masa lalu. Kenangan kita tentang masa lalu yang kelam. Anggaplah, masa lalu sebagai persinggahan dalam perjalanan atas pertanyaan yang barangkali kita sama-sama tidak megerti. Dan masa yang akan datang hanya sebuah misteri yang sama-sama kita tidak mengetahui apa yang hendak akan terjadi. Setidaknya, kita merasa gusar bagaimana untuk memahami sketsa kehidupan masa depan yang tidak sedikit pun sama-samar.

6

Kamu menulis ya. Tulislah apa saja. Termasuk tentangku. Pintamu, dimana jarum jam sudah menunjukkan angka jam 2 dini hari. Kita sama-sama butuh menulis untuk saling mengerti tentang diri dan orang lain, tentang cinta dan perngorbanan, tentang hidup dan kematian—semuanya. Dengan menulis seseorang akan mengenal dirinya sendiri, gagasan; juga sejarahnya.

7

Inilah kali pertama aku mulai genit dengan pusi, syair dan novel. Kehadiranmu seakan menjadi obor dalam pikiran untuk sekedar menulis sebait kata manis nan gombal; kadang-kadang kamu merasa geli #memukul bahu.

8

Terima kasih atas atas kebaikanmu selama ini, mungkin sedikit yang aku berikan padamu. Tapi, yakinlah Tuhan-mu akan membalas lebih atas apa yang telah kamu lakukan untukku. Surat yang terakhir dengan bungkusan risalah 1006 halaman. Risalah berbungkus cover merah, semirah hati kita berdua. Karena, kita sama-sama dilahirkan dari Rahim yang merah—jejak perjalanan kita berdua.

9

Disalah satu agen Bus dekat pasar gamping. Kamu pun memutuskan diri untuk meninggalkan semua hal yang sudah kita lewati bersama. Hidup bukan selalu soal jarak dan waktu. Saat hatimu sudah memilih untuk menemukan tempat bermuara. Ikutilah, kelak aku akan kembali untukmu meski bukan dengan keadaan yang sekarang. Wajahmu yang sayup, meninggalkan debu dan asap knalpot. Lambaian tanganmu menjadi pertemuan terakhir kita, sampai saat ini.

diujung lelah/tak ada harap memudar/peri malam pulang/tanpa tangis mengiring/meski sesak didada/tidak ada yang tahu/ini demi masa depan/peri malam memilih jalan/ tiada kuasa melarang/Tuhan mudahkan jalannya/ikhtiar telah ku beri/Tuhan/jagalah dia/sampai waktu itu tiba/berikanlah yang terbaik/kota ini menjadi saksi/aku akan terus menulis/segalanya..

Ratusan kilometer kita habiskan untuk menguji. Kita pun sama-sama tidak lagi membicarakan tentang cinta melainkankan tentang menghormati, tidak lagi menarasikan tentang perhatian melainkan kepedulian, tidak lagi soal ego pribadi melainkan kebersamaan—bukan tentang kita tapi tentang mereka.

10

Semua hal besar membutuhkan pengorbanan besar #catatan terakhir

11

Suasana bulan Juni selalu sibuk; udara panas-dingin, cemas-harap kaum pelajar, abrasi demam sepak bola, supremasi manusia beken—juga kegalauan.

Gimana kabarmu?. Mendengar suara sore ini seakan meledakkan bumi. Nada suaramu masih renyah; serenyah ayam krispi. Aku dan kamu terpisah oleh jarak ratusan kilometer—long distance. Waktu terus berjalan ke depan bukan ke belakang. Dan lonceng pemberianmu yang dulu masih saja mellow menegakkan jarum; menegakkan ritme—kita masih sama-sama belajar.

12

Rentang kisah perjalanan 12 Juni 2009-12 Juni 2012. 

1 comments:

agen sbobet mengatakan...

memotivasi dengan menceritakan sesuatu. itu bagus dengan ide nya pun jadi tambah bagus