1
Perjalanan kita sore itu, disudut
Kota Yogyakarta. Mempertemukan aku dan kamu kepada seorang tua dengan kapasitas
intelektual yang mapan, wajah yang teduh, humoris—juga semangat yang
menyala-nyala. Barangkali, bukan alasan kita menganggap dia sebagai orang tua
yang renta. Melainkan, karena kita malu tak bisa terbuat lebih dengan kebesaran
tenaga. Orang tua progresif, aku
mengaguminya! Ketuk katamu disudut tengalinyaku yang meradar.
2
Semua orang memang selalu punya
pilihan untuk melihat persoalan. Kemudian menemukan jawaban atas teka teki yang
mengendap di alam pikiran. Selalu
berbuatlah apa saja yang bisa membuatmu berfikir keras. Kesan pertama kita
dalam diskusi panjang dengan orang tua progresif; idolamu.
3
Gimana, kamu mau makan disini? Nanti aku traktir sepuasnya.
Tegurmu, aku masih menunduk
dengan melihat polah gaya makan orang barat disudut etalase. Inilah, cara
makan, warung makan dan makanan impor dan modern. Ada pula yang menyatakan
makanan sampah; kata mereka. Ketundukanku, bukan untuk mematuhi apa yang
menjadi ajakanmu sore itu. Tetapi aku lebih menghargai makanan orang udik yang
mulai diusir dari perkambangan zaman. Biarlah, aku tidak menjadi orang modern
dan menikmati ke-udik-anku. Karena, standar kebahagiaan dan rasa kenyang bukanlah diukur dari kemodernan makanan. Melainkan, rasa kita dalam bersyukur—ajaran
global menjadi standart atas hak kita sendiri; terjajahlah!
3
Digarisbawahi, waktu tetap berjalan
4
Kita harus menjaga perasaan orang lain, sebelum memikirkan perasaan
kita sendiri—pesan pendekmu malam itu. Dunia Nampak memelukmu dengan kesabaran
dan pertanyaan.
5
Kita hidup dimasa yang akan
datang bukan masa lalu. Kenangan kita tentang masa lalu yang kelam. Anggaplah, masa
lalu sebagai persinggahan dalam perjalanan atas pertanyaan yang barangkali kita
sama-sama tidak megerti. Dan masa yang akan datang hanya sebuah misteri yang
sama-sama kita tidak mengetahui apa yang hendak akan terjadi. Setidaknya, kita
merasa gusar bagaimana untuk memahami sketsa kehidupan masa depan yang tidak
sedikit pun sama-samar.
6
Kamu menulis ya. Tulislah apa saja. Termasuk tentangku. Pintamu,
dimana jarum jam sudah menunjukkan angka jam 2 dini hari. Kita sama-sama butuh
menulis untuk saling mengerti tentang diri dan orang lain, tentang cinta dan
perngorbanan, tentang hidup dan kematian—semuanya. Dengan menulis seseorang
akan mengenal dirinya sendiri, gagasan; juga sejarahnya.
7
Inilah kali pertama aku mulai
genit dengan pusi, syair dan novel. Kehadiranmu seakan menjadi obor dalam
pikiran untuk sekedar menulis sebait kata manis nan gombal; kadang-kadang kamu merasa geli #memukul bahu.
8
Terima kasih atas atas kebaikanmu selama ini, mungkin sedikit yang aku
berikan padamu. Tapi, yakinlah Tuhan-mu akan membalas lebih atas apa yang telah
kamu lakukan untukku. Surat yang terakhir dengan bungkusan risalah 1006
halaman. Risalah berbungkus cover merah, semirah hati kita berdua. Karena, kita
sama-sama dilahirkan dari Rahim yang merah—jejak perjalanan kita berdua.
9
Disalah satu agen Bus dekat pasar
gamping. Kamu pun memutuskan diri untuk meninggalkan semua hal yang sudah kita
lewati bersama. Hidup bukan selalu soal
jarak dan waktu. Saat hatimu sudah memilih untuk menemukan tempat bermuara. Ikutilah,
kelak aku akan kembali untukmu meski bukan dengan keadaan yang sekarang. Wajahmu
yang sayup, meninggalkan debu dan asap knalpot. Lambaian tanganmu menjadi
pertemuan terakhir kita, sampai saat ini.
diujung lelah/tak ada harap
memudar/peri malam pulang/tanpa tangis mengiring/meski sesak didada/tidak ada
yang tahu/ini demi masa depan/peri malam memilih jalan/ tiada kuasa
melarang/Tuhan mudahkan jalannya/ikhtiar telah ku beri/Tuhan/jagalah dia/sampai
waktu itu tiba/berikanlah yang terbaik/kota ini menjadi saksi/aku akan terus
menulis/segalanya..
Ratusan kilometer kita habiskan
untuk menguji. Kita pun sama-sama tidak lagi membicarakan tentang cinta
melainkankan tentang menghormati, tidak lagi menarasikan tentang perhatian
melainkan kepedulian, tidak lagi soal ego pribadi melainkan kebersamaan—bukan tentang
kita tapi tentang mereka.
10
Semua hal besar membutuhkan pengorbanan besar #catatan terakhir
11
Suasana bulan Juni selalu sibuk;
udara panas-dingin, cemas-harap kaum pelajar, abrasi demam sepak bola,
supremasi manusia beken—juga kegalauan.
Gimana kabarmu?. Mendengar suara sore ini seakan meledakkan bumi. Nada
suaramu masih renyah; serenyah ayam krispi. Aku dan kamu terpisah oleh jarak
ratusan kilometer—long distance. Waktu
terus berjalan ke depan bukan ke belakang. Dan lonceng pemberianmu yang dulu
masih saja mellow menegakkan jarum; menegakkan ritme—kita masih sama-sama belajar.
12
Rentang kisah perjalanan 12 Juni
2009-12 Juni 2012.
1 comments:
memotivasi dengan menceritakan sesuatu. itu bagus dengan ide nya pun jadi tambah bagus
Posting Komentar